Jumat, 29 Juni 2018

TEKNOLOGI SEDOT SUARA (Cuitan Akbar Faizal, Politisi Partai Nasdem)

JAKARTA - Politikus Nasional Demokrat Akbar Faizal membuat surat yang ditujukan ke Deputi Kantor Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho. Nyatanya, isi surat yang mengkritik Kepala Staf Kepresidenan Luhut Binsar Pandjaitan tersebut bocor ke publik. Alhasil, isi surat yang bernada menyerang iu menjadi perbincangan ramai di media social.

Surat tersebut sebenarnya berisi sindiran tentang rencana pengangkatan beberapa alumni Universitas Harvard untuk menjadi staf Luhut Panjaitan. Akbar mengakui surat itu dibuatnya. Pun dengan Luhut sudah meresponnya.

“Waktu saya ceramah di Harvard Bisnis School itu ada anak-anak Indonesia yang sekolah di sana itu melamar masuk ke mari. Salah? Enggak ada yang saya agungkan kok. Jadi bagusnya lihat konteks dulu. Jangan buru-buru ngomel gitu,” ujar Luhut.

Berikut isi lengkap surat anggota Komisi III DPR tersebut yang beredar di Twitter itu:

Yth. Pak Yanuar Nugroho, sy Akbar Faizal alumni IKIP Ujung Pandang jurusan Sastra (S1) dan Komunikasi Politik (S2) UI. Sekarang anggota DPR RI. Sy ucapkan selamat atas jabatan mentereng sbg deputinya Jenderal Luhut.

Pak Luhut dulu bagian dari tim kampanye Jokowi-JK dan jg Tim Transisi. Ada beberapa peran Pak Luhut yang cukup layak utk dicatat dalam pemenangan Jokowi meski menurutku tdk sebesar peran Megawati yg memerintahkan PDIP hingga ke akar rumput untuk memenangkan Jokowi.

Sesungguhnya Jokowi tak akan jadi Presiden jika PDIP atawa Mega td​k merekomendasikan Jokowi. Hal yang sama juga terjadi pada Surya Paloh, Muhaimin Iskandar, Wiranto dan belakangan Sutiyoso. Selanjutnya bergabung berbagai relawan seperti Projo, Bara JP, Seknas, dll.

Tak boleh dilupakan sayap2 partai pengusung seperti PIR dari Nasdem dalam komando Martin Manurung dan Relawan Cik Ditiro dalam komando kawan2 PDIP.

Pasukan PKB terutama Marwan Jafar berjibaku dengan kami di Timkamnas dalam komando Cahyo Kumolo dan Andi Wijayanto berkeliling Indonesia meneriakkan “Pilih Jokowi karena bla…bla…bla…” Tak ada anak Harvard di tim pemenangan kami. Yg agak jauh kuliahnya itu paling Eva K. Sundari yang pernah sekolah di Inggris entah di mana.

Saya tak terlalu paham pula apakah di Inggris sana dia menemukan suaminya yang orang Timor Leste dan membuatnya dimaki setiap hari oleh tim Prabowo sebagai Katholik sejati atau pengkhianat bangsa dst.
Rieke Pitaloka setahu saya kuliah di UI namun berkeliling dari kampung ke kampung sepanjang Jawa untuk meyakinkan ibu2 untuk memilih Jokowi dan berakibat dia disumpahi sebagai keturunan PKI di semua medsos.

Ada pula yg bernama Teten Masduki yg setahu saya hanya alumni IKIP Bandung namun fokus ke Jawa Barat dan meyakinkan semua seniman2 bermartabat utk mendukung Jokowi seperti Slank atau Iwan fals atau Bimbo.

Jika Anda tahu tentang “Konser 2 Jari” yang menjadi pamungkas kampanye dan membalikkan persepsi publik tentang besarnya dukungan massa terhadap Jokowi dan Prabowo di masa2 krusial saat itu, itu adalah kerjaan Teten.

Pak Luhut sendiri setahu saya (dan sesungguhnya sy sangat tahu masalahnya) banyak menghabiskan waktu di kantor pemenangan yang dibentuknya di Bravo 5 Menteng dan berdiskusi or menelepon banyak orang yg saya dengar sebagai “orang LBP” entah di mana saja.

Beberapa kali saya rapat dengan tim mereka di mana hadir para pensiunan Jendral yang –mohon maaf– masih merasa sebagai komandan pasukan dengan berbagai kewenangan.

Juga proposal beliau tentang sistem IT beliau yang cukup memarkir mobil di depan KPU dan seluruh data2 bisa tersedot. Kami di Jl. Subang 3A –itu markas utama pemenangan Jokowi Mas– terkagum2 membayangkan kehebatan teknologi Pak LBP sekaligus mengernyitkan dahi tentang proses kerja penyedotan data tadi. Sy yg pernah menjadi wartawan senyum-senyum saja sebab sedikit paham soal IT.

Senyumanku semakin melebar saat membaca jumlah dan yg dibutuhkan utk pengadaan teknologi sedot-menyedot tadi. Dalam hal massa, tercatat 2 kali LBP mengumpulkan masy Batak di Medan dan Jkt utk mendukung Jokowi-JK.

Mas Yanuar, sy merasa perlu menulis spt ini sebab saya merasa kantor Anda terlalu jauh mendeskripsikan diri akan tugas dan kualifikasi staf sebuah kantor Kastaf Presiden.

Sebenarnya sy tak perlu terlalu menanggapi soal Harvard ini. Sy jg pernah ke sana tp sbg turis. Otak saya memang tak akan mampu kuliah di sana. Lha wong sy org desa.
Bahasa Bugis sy juga jauh lbh lancar dari Bahasa Inggris saya. Namun soal Harvard ini mmebuat saya merasa “koq kalian menghina bangsamu sendiri?

Merendahkan kualitas pendidikan bangsamu yg kabarnya akan kau katrol kualitasny dgn cara memasukkan orang Harvard atau entah dari mana lagi di luar negeri sana?

Mengapa kalian semakin jauh dari ‘kesepakatan awal kita di tim dulu utk menghormati bangsamu sendiri?

Mengapa kalian makin kurang ajar saja? Saya sebenarnya pernah ingin mempersoalkan lembaga bernama Kastaf ini sebab sejujurnya “tak ada” dlm perencanaan kami di Tim Transisi dulu.

Sekadar menginfokan ke Anda Mas bhw Tim Transisi itu dibentuk Pak Jokowi untuk merancang pemerintahan yg akan dipimpinnya. Tapi saya sungguh tak nyaman mempersoalkan itu sebab akan dituding macam2. Mis, akh… krn AF kecewa tdk jadi mentri dll.

Dan msh byk lagi sebenarnya yg ingin sy pertanyakan. Termasuk surat presiden ke DPR ttg Budi Gunawan yg disusul kontroversi2 lainnya. Ke mana para pemikir Tata Negara di sekitar Pak Jkw skrg? Yg kudengar selanjutnya malah pengangkatan Refly Harun sbg Komisaris Utama Jasa Marga.

Mungkin Bu Rini anggap Refly sangat paham soal Tol karena setiap hari melalui macet persoalan yg pak jkw katakan dulu akan lbh mudah menyelesaikannya sbg presiden ketimbang sbg Gub DKI– dr rumahnya di Buaran sana. Mas Yanuar, sbg anggota DPR pendukung pemerintah dan insyaallah punya peran (meski sgt kecil) terhadap kemenangan Jkw -JK,… saya ingin kalian di istana fokus pada tugas yg lebih membumi.

Mis, jangan biarkan kami di DPR dihajar bagai sansak oleh orang2 Prabowo dalam kasus kebaikan tunjangan mobil pejabat, misalnya, hanya karena kalian tak mampu berkomunikasi dgn kami di DPR (atawa parpol pendukung. Ini jg satu soal sendiri karena terbaca dgn kuat kalau kalian ring 1 preaiden kini sukses melakukan Deparpolisasi) dan atau gagal meyakinkan publik akan seluruh keputusan2 presiden/pemerintah. Soal sesepele ini tak perlu kualitas Harvard.

Sy merasa mengenal bbrp org di istana negara tempat Anda berkantor sekarang. Entah apa mrk (masih) mengenal sy sekarang. Tp sy nggak memikirkannya. Sy hanya minta kalian di sana berhenti melakukan hal yg tak perlu spt deklarasi soal Harvard yg akan masuk Istana
Sekali lagi, sy sebenarnya tak perlu menulis panjang lebar seperti ini hanya utk menanggapi soal Harvard ini.

Tapi saya hrs lakukan sebab menurutku kalian makin jauh dari seluruh rencana awal kita. Dan sayangnya, seluruh rencana awal itu saya pahami dan terlibat di dalamnya.

Saya sekuat mungkin berusaha menghindari kalimat2 keras utk memahami apa yg kalian lakukan di sana.

Tapi sepak terjang kantor Mas Yanuar bernama Kastaf Kepresidenan itu makin jauh. Terakhir, saya sarankan agar menahan diri dalam memberikan masukan ke presiden.

Jangan racuni pikiran presiden yg polos dgn permainan yg dulu kami hindarkan beliau lakukan meski kadang gregetan lihat langkah2 tim Prahara Terkhusus dengan Pak JK, saya minta kalian berikan rasa hormat.

Tgl 9 Juli lalu, 63% penduduk Indonesia memilih Jokowi – JK dan bukan Jendral Luhut Binsar Pandjaitan apalagi Anda2 yg bergabung belakangan.

Sumber : REPUBLIKA.CO.ID

Selasa, 19 Juni 2018

7 FAKTA PDI-P DI JAWA BARAT !

"Jabar adalah Kuburan Banteng, Cagub dan Capres dari PDI-P selalu Keok di Bumi Parahyangan"

Keputusan Presiden Joko Widodo yang menunjuk Jenderal Polisi aktif, Komjen. Pol. Mochammad Iriawan, sebagai PJ Gubernur Jawa Barat terus menuai pro-kontra. Dugaan bahwa kepentingan partai dan ambisi politik menjadi latar belakang kengototan Jokowi dengan keputusannya, tentu masuk akal. Jokowi dan PDI-P berkepentingan memenangkan jagoannya di Pilgub Jabar tahun ini.

Jargon "Jawa Adalah Kuncinya" kiranya tidak berlebihan, partai yang berhasil memenangkan pemilu di Pulau Jawa, dipastikan berjaya secara nasional. Tahun ini, 2018, tiga provinsi besar di Jawa (Jabar, Jateng, Jatim) akan menggelar Pemilihan Gubernur secara serentak 27 Juni besok.

Sebagai partainya penguasa, PDI-P tentu berkepentingan untuk mempertahankan kekuasaan dengan memenangkan jagoannya. Pada Pilgub sebelumnya, 2017, PDI-P telah kehilangan kesempatan dan dipermalukan di dua provinsi di Jawa, yaitu Banten dan DKI Jakarta. Dua jagoannya, Rano Karno (Banten) dan Basuki Tjahaja Purnama (DKI Jakarta) dipecundangi lawan-lawannya, padahal keduanya adalah petahana.

Provinsi Jawa Barat terdiri atas 18 kabupaten dan 9 kota. Hasil penghitungan KPU Jawa Barat pada Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi dan Penetapan DPT Pilgub Jabar 2018 yang berlangsung di Trans Luxury Hotel, Sabtu (21/4), menetapkan jumlah pemilih yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 31.735.133 orang.

Ada 10 Fakta Unik keberadaan PDI-P di Jawa Barat, baik dalam gelaran Pilgub tahun 2018 maupun Pemilu sebelum2nya. Berikut daftarnya ;

1. Di Jawa Barat, PDI-P sebagai Penantang

Khusus di Jabar, PDI-P berposisi sebagai penantang, dengan mengusung Tubagus Hasanuddin yang berpasangan dengan Anton Charliyan. Di Jatim, PDI-P mengusung petahana, Saifullah Yusuf berpasangan dengan Puti Guntur Soekarnoputra. Di Jateng juga mengusung petahana, Ganjar Pranowo didampingi Taj Yasin dari PPP.

2. Di Jawa Barat, PDI-P Berjuang Tanpa Koalisi

Di Jateng dan Jatim, PDI-P menjalin koalisi dengan partai lain,  namun di Jabar PDI-P penuh percaya diri mengusung Tubagus Hasanuddin - Anton Charliyan tanpa berkoalisi.

3. Jawa Barat Medan Laga Terpanas dan Terberat Bagi PDI-P

Jawa Barat adalah medan panas dan paling kompetitif. Sejak  Gubernur dipilih secara langsung, Pilgub Jabar selalu diramaikan lebih dari dua pasangan calon.

Pilgub tahun ini, 2018 diikuti oleh 4 pasangan calon, yaitu Tubagus Hasanuddin - Anton Charliyan diusung PDI-P ; Deddy Mizwar - Dedi Mulyadi, diusung Partai Golongan Karya dan Partai Demokrat ; Ridwan Kamil - Uu Ruzhanul Ulum diusung PPP, PKB, NasDem, dan Hanura ; Sudrajat - Ahmad Syaikhu diusung Gerindra, PKS, dan PAN.

Pilgub 2013 terdapat 5 pasang kandidat yang bersaing, yaitu Ahmad Heryawan - Deddy Mizwar diusung PKS, PPP, dan Hanura; Dede Yusuf - Lex Laksamana diusung oleh Partai Demokrat, PAN) dan PKB; Dikdik Mulyana Arief Mansur - Cecep Nana Suryana Toyib berlaga secara independen; Irianto MS Syafiuddin - Tatang Farhanul dari Partai Golkar ; dan Rieke Diah Pitaloka - Teten Masduki diusung PDIP.

Pilgub 2008 terdapat 3 pasangan calon, yaitu Danny Setiawan - Iwan Sulandjana (DA'I) diusung oleh Partai Golkar dan Partai Demokrat ; Agum Gumelar - Nu'man Abdul Hakim (AMAN) diusung PDI-P, PPP,
PKB, PKPB, PBB, PBR dan PDS ; dan Ahmad Heryawan - Dede Yusuf (HADE) diusung PKS dan PAN.

4. Sejak Era Reformasi '98 Cagub PDI-P Selalu Keok di Jabar

Tahun 2013 Cagub PDIP, Rieke – Teten  hanya meraih 28,41 % (5.714.997 suara), dipecundangi jago dari PKS (Aher – Deddy) dengan 32,39% (6.515.313 suara).

Tahun 2008 Agum – Nu'man dari PDI-P meraih 6.217.557 suara (34,55 %) kalah dari Heryawan – Dede dari PKS dan PAN dengan 7.287.647 suara (40,50 %).

Tahun 2003 ketika masih dipilih oleh DPRD, pasangan Tayo Tarmadi-Rudy Harsa Tanaya dari PDI-P hanya meraih 39 suara, kalah dari pasangan Danny Setiawan-Nu’man Abdul Hakim yang diusung Golkar-PPP meraih 49 suara.

5. Capres PDI-P juga Selalu Kalah di Jabar

Hasil Pilpres 2014 di Jawa Barat pasangan Prabowo-Hatta unggul dengan perolehan suara 14.167.381 (59,78 %). Sementara pasangan Jokowi-JK dari PDI-P mendapat suara 9.530.315 (40,22 %).

Pilpres 2009 di Jawa Barat, SBY-Boediono meraih 14.385.202 suara (65,07 %). Disusul pasangan Mega-Prabowo dengan 5.793.987 suara (26,21 %). Sementara pasangan JK-Wiranto meraih 1.925.533 suara (8,71%).

Hasil Pilpres 2004 putaran kedua di Jawa Barat pasangan Mega - Hasyim dari PDI-P hanya meraih 7.825.251 suara (37,2 %), sedang pasangan SBY - JK memperoleh 13.186.776 suara (62,8 %).

6. PDI-P Dua Kali Menang Pemilu Legislatif Tapi Selalu Kalah di Pilgub dan Pilpres

Sejak era Reformasi 1998, PDI-P tercatat dua kali memenangi Pemilu Legislatif, yaitu tahun 1999. Kemudian tahun 2014 PDI-P meraih 4.159.404 (19,63%), Golkar 3.540.629 (16,71%), Gerindra 2.378.762 (11,22%). Pada pemilu tahun 2004 PDI-P kalah dari Partai Golkar, sedang tahun 2009 dipecundangi Partai Demokrat.

7. Jagoan PDI-P pada Pilgub Jabar 2018 Keduanya Purnawirawan Jenderal

Pasangan Cagub dan Cawagub yang diusung PDI-P di Pilgub Jawa Barat adalah purnawirawan jenderal bintang dua semua. Tubagus Hasanuddin adalah purnawirawan TNI dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Pernah menjadi ajudan Wapres Try Sutrisno (1996), ajudan Presiden BJ Habibie (1998-1999), dan Sekretaris Militer Presiden Kepresidenan Republik Indonesia (2001-2005).

Sedangkan Anton Charliyan adalah mantan Kapolda Jabar (2016-2017). Bernama lengkap Irjen Pol. Dr. Drs. H. Anton Charliyan, M.P.K.N. Anton lahir di Tasikmalaya, 29 November 1960. Jabatan terakhir di Polri sebagai Wakalemdiklat Polri dan Analis Kebijakan Utama Sespimti Lemdiklat Polri.

Disamping 7 Fakta diatas, ada 3 fakta lain yang tidak kalah menarik, yaitu seputar PJ Gubernur Jabar, Komjen. Pol. M. Iriawan dan Cawagub yang diusung PDI-P, Irjen. Pol. (Purn.) Anton Charliyan.

8. M. Iriawan dan Anton Charliyan adalah kolega di Institusi Polri dan kawan satu angkatan, sesama lulusan AKPOL (Akademi Kepolisian) Semarang tahun 1984. Hanya saja Anton Charliyan mengajukan pensiun karena mendaftar sebagai Cawagub Jabar.

9. Kedua Jenderal Polisi  tersebut sama-sama pernah menjabat sebagai Kapolda Jawa Barat. Pertama, Komjen. Pol. Drs. Mochamad Iriawan , S.H., M.M., M.H. menjadi Kapolda Jabar pada periode 6 Desember 2013 sampai 16 Juni 2015), sementara Irjen. (Purn.) Dr. Drs. H. Anton Charliyan, M.P.K.N. menjadi Kapolda Jabar dari 12 Desember 2016 sampai dengan 25 Agustus 2017).

10. Terlepas dari semua fakta dan pro-kontra yang ada, secara profesional, Komjen. Pol. M. Iriawan adalah pemimpin yang sudah teruji kemampuan dan netralitasnya dalam mengamankan gelaran Pilgub DKI Jakarta yang sangat berat juga menguras emosi.

Sebagai Kapolda Metro Jaya, Komjen. Pol. Mochammad Iriawan berhasil mengawal ibukota melakukan regenerasi kepemimpinan secara damai dan kondusif.

Jadi, dengan segala dinamika pro-kontra dan hiruk pikuk yang terjadi, kita semua tentu berharap, Pilkada serentak di Provinsi Jawa Barat, baik Pilgub maupun Pilbup / Pilwalkot berjalan lancar dan menghasilkan pemimpin yang amanah.

Salam Damai Indonesia-Ku !

Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Senin, 18 Juni 2018

TNI-POLRI DALAM PUSARAN KEKUASAAN

Polemik seputar penunjukkan anggota TNI-Polri aktif sebagai PJ (Penjabat) Kepala Daerah /Gubernur memasuki babak baru. Hari ini, Senin (18/6), Mendagri Tjahjo Kumolo melantik Komjen. Pol. Mohammad Iriawan sebagai PJ Gubernur Jawa Barat dan Irjen. Pol. Carlo Brix Tewu sebagai PJ Gubernur Sulawesi Barat. Keduanya adalah jenderal polisi aktif meski tidak menduduki jabatan struktural di Institusi Polri.

Penunjukkan anggota TNI-Polri aktif sebagai PJ Kepala Daerah sempat menuai pro-kontra pada awal tahun ini. Bahkan pada Februari lalu Presiden Joko Widodo melalui Menkopolhukam, Wiranto, sempat membatalkan rencana tersebut. Namun tiba-tiba, masih dalam suasana Idul Fitri 1439 Hijriah, Jokowi mengeluarkan Keppres penunjukan PJ Gubernur dan mewakilkan Mendagri untuk melantiknya.

Yang perlu dicatat, menurut Kapolri, Jenderal Pol. HM. Tito Karnavian, bahwa dalam hal ini polri bersifat pasif. Dia dalam posisi diminta, tidak mengajukan dan meminta agar anggotanya diangkat sebagai PJ Kepala Daerah. Pemerintah yang punya niat dan punya kewenangan, tentu dengan berbagai pertimbangan daan masukan dri banyak pihak.

Dua pakar hukum tatanegara, Dr. Refly Harun dan Dr. Margarito Kamis, sependapat bahwa secara administratif, penunjukan anggota TNI-Polri aktif sebagai PJ Kepala Daerah adalah sah dan tidak melanggar hukum. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada aspek politis yang tentu saja berbeda. Politik memiliki dimensi yang berbeda, yang lebih menitikberatkan pada moral dan etika.

Jadi, adalah hal yang wajar ketika keputusan tersebut menimbulkan pro-kontra dan menjadi perdebatan politik. Anggota Komisi II DPR yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Luthfi Andi Mutty, menjelaskan, paling tidak ada tiga undang-undang yang dilanggar.

Pertama, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Polri. Pada pasal 28 ayat 3 menyebutkan, bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Penjelasan pasal tersebut menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.

"Jika ditafsirkan secara contrario, ketentuan itu berarti seorang anggota Polri yang masih aktif dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian," katanya.

Kedua, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada pasal 210 ayat 10 mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Luthfi mempertanyakan, apa  yang dimaksud dengan jabatan pimpinan tinggi madya. Menurut dia, dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) menyebutkan, bahwa jabatan pimpinan tinggi madya merupakan salah satu jabatan dalam rumpun ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK.

Prajurit TNI dan anggota Polri, kata dia, pada dasarnya dapat menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tapi berdasarkan ketentuan pasal 104 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2015 menentukan bahwa jabatan pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif, apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.

TNI dan Polri adalah dua organisasi besar di negeri ini yang paling solid dan memiliki sarana prasarana sangat lengkap. Dalam sejarah berdirinya republik ini, keduanya senantiasa menjadi kekuatan yang cukup diperhitungkan dalam pusaran kekuasaan, untuk merebut maupun bertahan.

Pengamat politik dan militer yang juga Guru Besar Ilmu Politik pada Universitas Pertahanan, Prof. Salim Said menyebutkan bahwa sejak era Presiden Soekarno, militer selalu ditarik-tarik dalam pusaran kekuasaan. Pada masa orde lama dan demokrasi terpimpin, Bung Karno menempatkan perwira- perwira TNI AU (Angkatan Udara) pada posisi yang istimewa.

Dilanjutkan pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto yang seorang Jenderal TNI AD (Angkatan Darat) bahkan membuat konsep Dwi Fungsi ABRI, dimana sebagian besar kepala daerah (Gubernur /Bupati) adalah perwira TNI AD, dan ABRI menjadi kekuatan politik dengan adanya fraksi ABRI di lembaga legislatif (DPR/DPRD).

Nampaknya Presiden Jokowi mengulang "kesalahan" dua pendadahulunya dengan menjadikan Instiusi TNI-Polri sebagai "back up" kekuasaan. Hampir empat tahun kekuasaan Jokowi, sangat kelihatan dia begitu mengistimewakan Polri dan berusaha menarik-narik pada pusaran kekuasaan.

Kecurigaan publik yang seperti ini sangat wajar dan masuk akal, karena Jokowi adalah petugas dari partai yang sama dengan Mendagri, Tjahjo Kumolo yang sebelumnya Sekjen PDI-P. Tentu petimbangan politik dan kepentingan partai ikut mewarnai keluarnya keputusan ini.

Secara ketatanegaraan, kondisi ini sangat membahayakan dan merupakan kemunduran. Bertentangan dengan semangat reformasi dan seruan suremasi sipil (civil society). Ketika masyarakat dan mahasiswa berjuang menghapus Dwi Fungsi ABRI pada era 1998, pemerintahan Jokowi justru menghidupkan kembali dengan Dwi Fungsi Polri.

Secara jujur, sebenarnya TNI dan Polri hanya dimanfaatkan sebagai "bamper" kekuasaan oleh segelintir orang. Mantan Panglima Kopkomtib, Jenderal Soemitro, menegaskan bahwa ketika TNI maupun Polri diberi kewenangan politik dan diistimewakan sejatinya dia sedang dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. TNI-Polri sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan ditransformasikan sebagai alat kekuasaan.

Akhirnya TNI-Polri seringkali disalahgunakan oleh penguasa untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan. Untuk menggebuk dan melemahkan kekuatan politik lawan. Disinilah netralitas dan profesionalitas TNI-Polri dipertaruhkan.

Entah dimana para aktifis dan pejuang gerakan reformasi '98 saat ini berpihak. Orang-orang seperti Fadjroel Rahman, Teten Masduki, Adian Napitulu, Budiman Sudjatmiko, Faizal Assegaf, Ulin Ni'am Yusron yang saat ini berada di lingaran kekuasaan nampaknya sudah hilang kepekaan dan darah juangnya.

Mari, selamatkan Institusi TNI-Polri dari segelintir orang yang haus kekuasaan. Jangan biarkan keduanya dibajak dan diacak-acak demi ambisi pribadi dan golongan !

#SaveTNIPolri
#SaveNKRI
#KamiTidakTakut
#KamiTidakBodoh
#KamiTidakDiam

Yogyakarta, 18 Juni 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik