Kepada,
Yth. Presiden Republik Indonesia
( tembusan kepada Meneteri PAN-RB, Panglima TNI dan
Kapolri )
Di JAKARTA
Assalamu
alaikum warahmatullahi wa barakatuh…
Semoga keselamatan tercurah atas orang-orang yang
mengikuti petunjuk-Nya,
Pak Presiden yang terhormat…
Perkenankan saya menyampaikan
uneg-uneg dan isi hati saya terkait gerakan bersih-besih pungutan liar dalam
pelayanan pablik yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini.
Saya menulis surat ini bukan
karena saya sok tahu ato sok pintar, tetapi sebagai bentuk kepedulian dn dukungan saya kepada setiap
upaya dan program dari pemerintah yang bertujuan baik, menciptakan masyarakat
yang adil dan sejahtera.
Pertama-tama, saya
mengapresiasi dan ikut mendoakan, atas terbentuknya Satgas Saber Pungli (Satuan
Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar), yang Anda tuangkan dalam Peraturan Presiden
Nomor 87 Tahun 2016, dan telah Anda tanda tangani, semoga ke depan Indonesia makin
baik dan bersih, sehingga rahmat dan berkah Allah SWT dibuka dari pintu langit
dan bumi.
Pak Presiden yang terhormat…
Beberapa kasus pungli yang
tertangkap tangan selalu melibatkan petugas lapangan di tingkat pelaksana
pelayanan publik, baik itu jajaran staf di Dinas Perhubungan, para brigadir di
jajaran Polisi Lalu Lintas maupun para staf di Badan Perijinan.
Bukan bermaksud menggurui
atau meng-kuliahi, menurut saya pungli adalah culture yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia. Terjadinya pungli
bukan mutlak kesalahan para petugas pelayanan publik, tetapi lebih
merupakan kesempatan dan kesepakatan. Pungli adalah transaksi yang melibatkan dua
pihak. Pengendara sepeda motor yang melanggar seringkali menawarkan “uang damai”
agar tidak perlu sidang atau membayar denda dibawah ketentuan. Para sopir truk
memberikan pelican agar muatan yang melebihi tonase dapat lolos dari jembatan
timbang. Para pembuat SIM memilih lewat jalur belakang agar tidak perlu ujian
dan mengantri.
Jadi, untuk memberantas
pungli perlu juga mereformasi mental masyarakat kita agar taat hukum dan
prosedur, siap antri dan tidak lagi menggoda petugas dengan tawaran uang damai.
Pungli juga mirip dengan suap,
seringkali karena keserakahan masyarakat dalam hal ini pengusaha. Untuk mendapatkan
quota yang lebih besar dalam impor barang seperti gula, daging dan komoditas kebutuhan
lainnya, mereka menyuap para pembuat kebijakan. Untuk memenangkan tender
proyek, para pengembang menyuap panitia lelang. Itulah kenapa pungli
adalah kesempatan dan kesepakatan, kesepakatan untuk berbuat jahat dan
melanggar peraturan. Jadi kalau para pelaku pungli dikenai sanksi, para pemberi
dari kalangan masyarakat pun harus mendapat sanksi juga.
Pak Presiden yang terhormat…
Jika kita mau jujur, pungli
ini terjadi tidak hanya melibatkan para petugas dengan masyarakat. Pungli juga
terjadi antara atasan kepada bawahannya. Pungli terjadi karena tuntutan kebutuhan
dan keterpaksaan. Gaji dan tunjangan yang tidak memadai sering menjadi alasan para
staf dan petugas di lapangan melakukan pungli. Biaya operasional yang tidak
mencukupi juga merupakan alasan lainnya.
Pada saat yang sama, tradisi
upeti dan setoran dari bawahan kepada atasan juga ikut menyumbang maraknya
budaya pungli. Mekanisme rotasi dan promosi jabatan yang tidak transparan juga
berpotensi terjadinya pungli. Sudah rahasia umum bahwa para atasan yang
menentukan kebijakan rotasi dan promosi jabatan sering melakukan pungli kepada
bawahannya dengan kompensasi kenaikan pangkat dan iming-iming jabatan
strategis.
Faktor di luar kinerja dan
kompetensi justru yang menjadi pertimbangan utama dalam merotasi dan
mempromosikan pegawai. Pegawai yang pintar melayani atasannya dan rajin
mengirim upeti biasanya lebih cepat karirnya. Belum lagi kebiasaan para pejabat
yang meminta pelayanan lebih ketika melakukan kunjungan ke daerah. Sambutan dan
fasilitas diatas standar memerlukan biaya tinggi dan anggaran lebih. Ditambah turut
serta istri pejabat dengan hoby shoping-nya,
membuat para pegawai di daerah kalang kabut menyiapkan anggaran ekstra untuk
untuk meng-entertaint.
Faktor-faktor di atas ikut
menyumbang tumbuh suburnya budaya pungli. Sehingga pungli tidak hanya dilakukan
oleh para petugas yang melakukan pelayan publik, tetapi juga oleh para atasan
kepada bawahannya. Para staf mengambil dari masyarakat untuk melayani dan
memuaskan pejabat atau atasannya.
Pak Presiden yang terhormat…
Saya teringat credo dari tokoh bangsa, Kyai Haji Agus
Salim, Leiden is Lijden (memimpin
adalah menderita), memimpin adalah melayani bukan dilayani, pemimpin adalah
pelayan. Dalam struktur kepemimpinan kita mengenal ada hirarki, mulai dari top leader/ top manager (pimpinan puncak
/tertinggi), medium manager (pimpinan
menengah), low manager (pimpinan terendah)
baru petugas dan staf yang memimpin dan melayani secara langsung kebutuhan
masyarakat.
Di instansi pemerintahan, low
manager ini mungkin para supervisor, kasi dan kasubag, medium manager adalah
para kabag sedangkan top managaer adalah kepala departemen sampai ke presiden. Di
jajaran kepolisian, juga ada hirarki dari kasi, kasubag, kasat, kapolres,
kapolda, kapolri hingga ke presiden.
Jika kita mengikuti credo KH
Agus Salim, maka seharusnya setiap jenjang kepemimpinan adalah pelayan bagi
jenjang di bawahnya. Presiden adalah pemimpin para menteri, artinya pelayan
yang wajib malayani kebutuhan menterinya. Menteri adalah pelayan dirjen dan
direktur, dirjen pelayan kabag, kasubag dan kasi. Kabag adalah pelayan para
staf dan petugas lapangan. Staf dan petugas adalah pelayan yang wajib melayani
masyarakat. Dalam institusi polri juga demikian. Kapolri adalah pelayan kepala divisi, direktur dan kapolda. Direktur dan kapolda adalah pelayan kabag /kabid dan
kapolres. Kapolres adalah pelayan para kasat dan kabag. Kasat adalah pelayan
staf dan petugas lapangan. Staf dan petugas lapangan inilah yang secara
langsung melayani masyarakat.
Prinsip memimpin adalah
melayani harus dimulai dari atas. Seorang presiden harus melayani dan mencukupi
kebutuhan anak buahnya agar anak buah dengan bahagia dan semangat melayani
masyarakat. Panglima TNI dan Kapolri juga harus mencukupi kebutuhan dan membela
kepentingan para parjurit agar mereka memberikan pelayanan prima kepada
masyarakat. Jangan dibalik…!!!
Pak Presiden yang terhormat…
Jika rerformasi birokrasi dan
revolusi mental para pejabat ini betul-betul diterapkan, maka budaya pungli dan
suap akan mudah dihilangkan. Namun jika kebutuhan dan kepentingan para bawahan
diabaikan maka yang terjadi adalah munculya rasa frustasi dan demotivasi. Para bawahan
yang menjadi petugas pelayanan akhirnya menjadi pihak yang terjepit dan
tergencet, disatu sisi harus memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat,
pada saat yang sama juga harus melayani atasannya, sementara kebutuhannya tidak
tercukupi sebagaimana mestinya.
Menurut saya, Gerakan Saber
Pungli memerlukan pra-kondisi untuk menjamin keberhasilan yang memuaskan. Yang pertama
adalah Revolusi Mental para pejabat dan rakyat. Rakyat harus mulai dipaksa
taat aturan, ikut prosedur dan menanamkan budaya antri. Mindset para para
pajabat harus diubah, bahwa kepemimpinan adalah amanah dan pelayanan, menjadi
pemimpin itu melayani bukan dilayani.
Kedua, reformasi birokrasi
secara total. Dimana sejak proses rekriutmen hingga rotasi dan mutasi harus
transparan dan bebas dari upeti dan setoran. Para pejabat tidak boleh lagi
menuntut pelayanan lebih ketika mengadakan kunjungan ke daerah, tidak ada anggota
keluarga dan para istri yang berbelanja dengan uang negara.
Ketiga, pemerintah harus
meninjau ulang gaji dan remunerasi para pegawai sehingga tercukupi kebutuhan
dengan layak. Tidak ada lagi alasan mencari uang tambahan untuk menutup
kebutuhan.
Keempat, seluruh infrastruktur
dan perangkat teknologi untuk pelayanan publik harus disiapkan dengan anggaran negara
sehingga kualitas pelayan merata di setiap lini dan instansi.
Pak Presiden yang terhormat…
Suatu program tanpa persiapan
matang hanya akan berhenti pada pencitraan. Gerakan Sapu Bersih Pungli tanpa
pra-kondisi ibarat "ambisi minus amunisi".
Bapak Panglima TNI dan Bapak
Kapolri yang terhormat…
Jangan korbankan dan
permalukan para prajurit di lapangan dengan banyaknnya kasus tangkap tangan. Mereka
dituntut bersih dan prima dalam pelayanan, namun kebutuhan dan kepentingan
mereka diabaikan. Marilah saling menunaikan kewajiban agar gerakan
bersih-bersih ini membuahkan hasil gemilang. Kita semua merindukan tatanan
masyarakat yang tertib, teratur dan beradab dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pak Presiden yang terhormat…
Demikian surat terbuka saya,
ada salah dan khilafnya, saya mohon maaf…
Jakarta, Kamis Kliwon 27
Oktober 2016 M / 26 Muharam 1438 H
Hormat saya,
Arief Luqman el Hakiem