Rabu, 26 Oktober 2016

IRONI SABER PUNGLI ; AMBISI MINUS AMUNISI Surat Terbuka Untuk Presiden Republik Indonesia ( Ir. H. Joko Widodo )

Kepada,
Yth. Presiden Republik Indonesia
( tembusan kepada Meneteri PAN-RB, Panglima TNI dan Kapolri )
Di JAKARTA

Assalamu alaikum warahmatullahi wa barakatuh…
Semoga keselamatan tercurah atas orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya,

Pak Presiden yang terhormat…
Perkenankan saya menyampaikan uneg-uneg dan isi hati saya terkait gerakan bersih-besih pungutan liar dalam pelayanan pablik yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini.

Saya menulis surat ini bukan karena saya sok tahu ato sok pintar, tetapi sebagai bentuk  kepedulian dn dukungan saya kepada setiap upaya dan program dari pemerintah yang bertujuan baik, menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Pertama-tama, saya mengapresiasi dan ikut mendoakan, atas terbentuknya Satgas Saber Pungli (Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar), yang Anda tuangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016, dan telah Anda tanda tangani, semoga ke depan Indonesia makin baik dan bersih, sehingga rahmat dan berkah Allah SWT dibuka dari pintu langit dan bumi.

Pak Presiden yang terhormat…
Beberapa kasus pungli yang tertangkap tangan selalu melibatkan petugas lapangan di tingkat pelaksana pelayanan publik, baik itu jajaran staf di Dinas Perhubungan, para brigadir di jajaran Polisi Lalu Lintas maupun para staf di Badan Perijinan.

Bukan bermaksud menggurui atau meng-kuliahi, menurut saya pungli adalah culture yang sudah mengakar di masyarakat Indonesia. Terjadinya pungli bukan mutlak kesalahan para petugas pelayanan publik, tetapi lebih merupakan kesempatan dan kesepakatan. Pungli adalah transaksi yang melibatkan dua pihak. Pengendara sepeda motor yang melanggar seringkali menawarkan “uang damai” agar tidak perlu sidang atau membayar denda dibawah ketentuan. Para sopir truk memberikan pelican agar muatan yang melebihi tonase dapat lolos dari jembatan timbang. Para pembuat SIM memilih lewat jalur belakang agar tidak perlu ujian dan mengantri.

Jadi, untuk memberantas pungli perlu juga mereformasi mental masyarakat kita agar taat hukum dan prosedur, siap antri dan tidak lagi menggoda petugas dengan tawaran uang damai.

Pungli juga mirip dengan suap, seringkali karena keserakahan masyarakat dalam hal ini pengusaha. Untuk mendapatkan quota yang lebih besar dalam impor barang seperti gula, daging dan komoditas kebutuhan lainnya, mereka menyuap para pembuat kebijakan. Untuk memenangkan tender proyek, para pengembang menyuap panitia lelang. Itulah kenapa pungli adalah kesempatan dan kesepakatan, kesepakatan untuk berbuat jahat dan melanggar peraturan. Jadi kalau para pelaku pungli dikenai sanksi, para pemberi dari kalangan masyarakat pun harus mendapat sanksi juga.

Pak Presiden yang terhormat…
Jika kita mau jujur, pungli ini terjadi tidak hanya melibatkan para petugas dengan masyarakat. Pungli juga terjadi antara atasan kepada bawahannya. Pungli terjadi karena tuntutan kebutuhan dan keterpaksaan. Gaji dan tunjangan yang tidak memadai sering menjadi alasan para staf dan petugas di lapangan melakukan pungli. Biaya operasional yang tidak mencukupi juga merupakan alasan lainnya.

Pada saat yang sama, tradisi upeti dan setoran dari bawahan kepada atasan juga ikut menyumbang maraknya budaya pungli. Mekanisme rotasi dan promosi jabatan yang tidak transparan juga berpotensi terjadinya pungli. Sudah rahasia umum bahwa para atasan yang menentukan kebijakan rotasi dan promosi jabatan sering melakukan pungli kepada bawahannya dengan kompensasi kenaikan pangkat dan iming-iming jabatan strategis.

Faktor di luar kinerja dan kompetensi justru yang menjadi pertimbangan utama dalam merotasi dan mempromosikan pegawai. Pegawai yang pintar melayani atasannya dan rajin mengirim upeti biasanya lebih cepat karirnya. Belum lagi kebiasaan para pejabat yang meminta pelayanan lebih ketika melakukan kunjungan ke daerah. Sambutan dan fasilitas diatas standar memerlukan biaya tinggi dan anggaran lebih. Ditambah turut serta istri pejabat dengan hoby shoping-nya, membuat para pegawai di daerah kalang kabut menyiapkan anggaran ekstra untuk untuk meng-entertaint.

Faktor-faktor di atas ikut menyumbang tumbuh suburnya budaya pungli. Sehingga pungli tidak hanya dilakukan oleh para petugas yang melakukan pelayan publik, tetapi juga oleh para atasan kepada bawahannya. Para staf mengambil dari masyarakat untuk melayani dan memuaskan pejabat atau atasannya.

Pak Presiden yang terhormat…
Saya teringat credo dari tokoh bangsa, Kyai Haji Agus Salim, Leiden is Lijden (memimpin adalah menderita), memimpin adalah melayani bukan dilayani, pemimpin adalah pelayan. Dalam struktur kepemimpinan kita mengenal ada hirarki, mulai dari top leader/ top manager (pimpinan puncak /tertinggi), medium manager (pimpinan menengah), low manager (pimpinan terendah) baru petugas dan staf yang memimpin dan melayani secara langsung kebutuhan masyarakat.

Di instansi pemerintahan, low manager ini mungkin para supervisor, kasi dan kasubag, medium manager adalah para kabag sedangkan top managaer adalah kepala departemen sampai ke presiden. Di jajaran kepolisian, juga ada hirarki dari kasi, kasubag, kasat, kapolres, kapolda, kapolri hingga ke presiden.

Jika kita mengikuti credo KH Agus Salim, maka seharusnya setiap jenjang kepemimpinan adalah pelayan bagi jenjang di bawahnya. Presiden adalah pemimpin para menteri, artinya pelayan yang wajib malayani kebutuhan menterinya. Menteri adalah pelayan dirjen dan direktur, dirjen pelayan kabag, kasubag dan kasi. Kabag adalah pelayan para staf dan petugas lapangan. Staf dan petugas adalah pelayan yang wajib melayani masyarakat. Dalam institusi polri juga demikian. Kapolri adalah pelayan kepala divisi, direktur dan kapolda. Direktur dan kapolda adalah pelayan kabag /kabid dan kapolres. Kapolres adalah pelayan para kasat dan kabag. Kasat adalah pelayan staf dan petugas lapangan. Staf dan petugas lapangan inilah yang secara langsung melayani masyarakat.

Prinsip memimpin adalah melayani harus dimulai dari atas. Seorang presiden harus melayani dan mencukupi kebutuhan anak buahnya agar anak buah dengan bahagia dan semangat melayani masyarakat. Panglima TNI dan Kapolri juga harus mencukupi kebutuhan dan membela kepentingan para parjurit agar mereka memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Jangan dibalik…!!!

Pak Presiden yang terhormat…
Jika rerformasi birokrasi dan revolusi mental para pejabat ini betul-betul diterapkan, maka budaya pungli dan suap akan mudah dihilangkan. Namun jika kebutuhan dan kepentingan para bawahan diabaikan maka yang terjadi adalah munculya rasa frustasi dan demotivasi. Para bawahan yang menjadi petugas pelayanan akhirnya menjadi pihak yang terjepit dan tergencet, disatu sisi harus memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, pada saat yang sama juga harus melayani atasannya, sementara kebutuhannya tidak tercukupi sebagaimana mestinya.

Menurut saya, Gerakan Saber Pungli memerlukan pra-kondisi untuk menjamin keberhasilan yang memuaskan. Yang pertama adalah Revolusi Mental para pejabat dan rakyat. Rakyat harus mulai dipaksa taat aturan, ikut prosedur dan menanamkan budaya antri. Mindset para para pajabat harus diubah, bahwa kepemimpinan adalah amanah dan pelayanan, menjadi pemimpin itu melayani bukan dilayani.

Kedua, reformasi birokrasi secara total. Dimana sejak proses rekriutmen hingga rotasi dan mutasi harus transparan dan bebas dari upeti dan setoran. Para pejabat tidak boleh lagi menuntut pelayanan lebih ketika mengadakan kunjungan ke daerah, tidak ada anggota keluarga dan para istri yang berbelanja dengan uang negara.

Ketiga, pemerintah harus meninjau ulang gaji dan remunerasi para pegawai sehingga tercukupi kebutuhan dengan layak. Tidak ada lagi alasan mencari uang tambahan untuk menutup kebutuhan.

Keempat, seluruh infrastruktur dan perangkat teknologi untuk pelayanan publik harus disiapkan dengan anggaran negara sehingga kualitas pelayan merata di setiap lini dan instansi.

Pak Presiden yang terhormat…
Suatu program tanpa persiapan matang hanya akan berhenti pada pencitraan. Gerakan Sapu Bersih Pungli tanpa pra-kondisi ibarat "ambisi minus amunisi".

Bapak Panglima TNI dan Bapak Kapolri yang terhormat…
Jangan korbankan dan permalukan para prajurit di lapangan dengan banyaknnya kasus tangkap tangan. Mereka dituntut bersih dan prima dalam pelayanan, namun kebutuhan dan kepentingan mereka diabaikan. Marilah saling menunaikan kewajiban agar gerakan bersih-bersih ini membuahkan hasil gemilang. Kita semua merindukan tatanan masyarakat yang tertib, teratur dan beradab dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pak Presiden yang terhormat…
Demikian surat terbuka saya, ada salah dan khilafnya, saya mohon maaf…

Jakarta, Kamis Kliwon 27 Oktober 2016 M / 26 Muharam 1438 H
Hormat saya,
Arief Luqman el Hakiem