Senin, 28 Mei 2018

Kerja BP-7 Dinilai Berhasil

Hasil kerja Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P4 (BP-7) selama enam tahun ini dinilai Presiden Soeharto cukup berhasil dan cukup memuaskan.

BP-7 yang dibentuk dengan Keppres No 10/1979 tanggal 26 Maret 1979 bahkan diminta untuk makin memperluas dan mempercepat usaha penataran, sehingga segala lapisan masyarakat makin cepat mengetahui, mendalami serta menghayati Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.

Hal itu dinyatakan Kepala Negara di Bina Graha Senin kemarin ketika menerima pimpinan BP-7 Pusat dan para Kepala BP-7 tingkat propinsi seluruh Indonesia, yang menyelenggarakan rapat kerja mulai kemarin hingga 28 Maret di Jakarta.
Dalam pertemuan itu hadir pula Menko Polkam, Mendagri, Mensesneg, Mendikbud dan Menpen.

Kepala BP-7 Pusat, Sarwo Edhie Wibowo kepada pers menjelaskan, penilaian Presiden tentang keberhasilan penataran P4 itu antara lain memakai tolak ukur kejadian di masyarakat akhir-akhir ini, seperti kasus Tanjung priok September lalu.

Dikemukakan, andaikata rakyat umumnya belum cukup kesadaran politiknya tentang mana yang baik dan mana yang tidak dengan tolok ukur Pancasila, tidak mustahil kejadian itu mungkin akan meluas.

Sarwo Edhie menambahkan, dalam menilai apakah P4 benar-benar sudah membudaya, hal itu tidaklah dilakukan dengan cara yang terlalu akademik, namun lebih dari melihat indikator dalam kegiatan atau kehidupan bangsa Indonesia dalam bemegara dan bermasyarakat. Misalnya dan segi aparatur pemerintahan, militer, buruh, tani dan seterusnya.

Perlu Waktu

Menurut Sarwo Edhie, Presiden menguraikan kembali asal mula P4 serta usaha-usaha yang dijalankan agar Pancasila tidak diselewengkan lagi.

Diutarakan bahwa hal ini memerlukan waktu karena harus melalui pendekatan persuasif. Sebagai ilustrasi ditunjukkan cara koreksi terhadap Orde Lama sendiri tidaklah dilakukan asal cepat begitu saja.

Padahal kalau mau waktu itu dapat saja dikerahkan kekuatan untuk menjatuhkan Orde Lama. Namun bukan itulah yang dipilih, melainkan lewat cara konstitusi, persuasif.

Sebab cara inkonstitusional seperti lewat kudeta nantinya hanya akan melahirkan kontrakup, sebagaimana yang dialami banyak negara Amerika Latin.

Mengenai raker BP-7 sendiri, ia menjelaskan tujuan utamanya adalah konsolidasi organisasi dan meningkatkan kemampuan memasyarakatkan ideologi Pancasila demi pengembangan demokrasi Pancasila, serta pemantapan P4 guna memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam raker yang diadakan Depdagri itu, juga akan dibahas penyempurnaan bahan penataran P4, metode penataran dan sebagainya. Sampai saat ini sekitar enam juta orang telah memperoleh penataran P4 melalui berbagai pola penataran.

Jumlah ini belum termasuk masyarakat yang ikut dalam permainan simulasi P4, yang oleh Sarwo Edhie dikatakan jumlahnya cukup besar.

Mengenai kekurangan yang masih ada, ia mengatakan dalam penataran oleh BP-7 sesungguhnya diharapkan para petatar yang dikirim organisasi kemasyarakatan, nantinya ikut menyebarluaskan P4 atau perilakunya dalam lingkungan ormas masing-masing.

Umumnya ormas menghadapi kesulitan untuk meneruskan penataran tadi di lingkungan sendiri, terutama karena ketiadaan biaya. Masalah atau kesulitan ini pun akan mendapat perhatian dalam raker BP-7.

Tak Sekedar Tuntutan Formal

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam dalam pengarahannya pada Rapat Kerja Departemen Dalam Negeri dengan BP7 Daerah Tingkat I seluruh Indonesia di gedung Depdagri, Jalan Merdeka Utara, Jakarta, hari Senin mengatakan perlu dijaga agar pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) tidak tumbuh sekedar usaha memenuhi tuntutan formal, sekedar acara dan upacara.

Sikap hidup Pancasila lebih penting daripada omongan mengenai Pancasila, inilah yang menjadi orientasi tujuan proses penataran P4.

Dikemukakan, pembangunan bangsa tidak hanya dapat mengutamakan bidang fisik semata, walaupun prioritas pembangunan diarahkan pada pembangunan ekonomi, namun pembangunan ideologi tidak bisa diabaikan.

“Bidang apa pun yang menjadi tekanan pembangunan, tidak boleh terlepas dan berdiri sendiri,” ujar Mendagri. Pembangunan satu bidang kehidupan harus merupakan bagian dan pendukung keseluruhan rencana pembangunan nasional, sambungnya.

Pedoman Perjuangan

Mendagri menjelaskan ideologi Pancasila merupakan pedoman perjuangan bangsa Indonesia, agar kita tidak terombang-ambing.

Ideologi sebagai pedoman perjuangan memuat pandangan hidup bangsa yang dinamis dan kreatif serta menjiwai pergerakan hidup dan kehidupan bangsa, dan ini melibatkan pula suatu komitmen yang sifatnya integral dan eksistensial dari manusia Indonesia baik pribadi maupun kolektif.

Mendagri mengingatkan, penataran P4 sebagai bagian serta wahana pembangunan ideologi, harus ditujukan untuk membangun manusia secara integral dan eksistensial.

“Ditujukan tidak sekedar kepada tambahnya pengetahuan atau pengertian, tetapi meliputi juga pemahaman, pembentukan sikap, nilai, pandangan hidup, pilihan hidup, dan cara kerja,” ujar Mendagri. (RA)

Jakarta, Kompas
Sumber : KOMPAS (26/03/1985)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VIII (1985-1986), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 27-30.

Perlukah Menghidupkan Kembali BP7 ?

Kini masyarakat sudah jenuh melihat dinamika sosial politik yang kebablasan di negeri ini. Rakyat lambat namun pasti ingin kembali kepada nilai-nilai luhur bangsa. Ideologi dunia yang berkembang pada era globalisasi dirasa tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

Rakyat mulai capek disuguhi tayangan televisi yang mempertontonkan konflik sosial di akar rumput maupun konflik para elite politik yang terus ber episode. Bahkan ada sebagian masyarakat yang mulai rindu pada jaman Orde Baru dibawah era pak Harto.

Mungkin bukan pak Harto sebagai sosoknya karena telah tiada, namun nilai-nilai positif dari kepemimpinannya yang mesti diambil dan dilestarikan. Salah satunya adalah pengamalan Pancasila yang dilakukan secara sistematik di pendidikan sekolah dibawah koordinasi BP 7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Dulu, pada era Soeharto, sejak 1970, potensi-potensi konflik horizontal seperti ini sudah ada. Namun, dengan langkah-langkah strategis pemerintah menjaganya. ABRI punya program Binter (Pembinaan Teritorial), di setiap desa ada Babinsa (Bintara Pembina Desa), dan di setiap tingkat pemerintahan ada Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) yang terdiri dari Dandim/Pangdam, Kapolres/Kapolda, Bupati/ Wali Kota/Gubernur, Kepala Kejaksaan, Ketua Pengadilan, dan tokoh masyarakat lokal. Di tingkat pusat ada Kompkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang menjaga agar tidak ada konflik SARA. Pengikatnya adalah Pancasila.

Untuk mengikat bangsa ini dengan Pancasila dibuatlah BP7, sebuah lembaga tinggi negara yang tugasnya menjaga ideologi Pancasila. BP7 bertugas merancang program-program penataran P4 (semua wajib ikut) dan mencetak instruktur-instruktur yang di tingkat nasional disebut Manggala. Suka atau tidak, kedua metode yang dilaksanakan bersamaan ini: metode koersif (Kompkamtib) dan persuasif (BP7), terbukti ampuh. Masyarakat hidup tenang, pembangunan maju pesat seakan terbang.

Namun, tahun 1998, ABRI (sekarang: TNI) disuruh masuk kandang dan BP7 dibubarkan dengan TAP MPR No XVIII/MPR/1998. Jadi, metode persuasi juga dilarang. Bahkan, asas tunggal Pancasila dihapuskan sama sekali. Semua orang boleh suka-suka menganut asas apa pun sehingga orang boleh saja saling bunuh demi agama, politik, atau kepentingan tertentu karena tidak ada lain yang benar, kecuali kebenaran diriku sendiri.

Pembubaran BP7 adalah tindakan MPR yang kebablasan karena eforia kala itu yang “mewajibkan” semua yang berbau Orde Baru harus dihilangkan. Padahal oh padahal Pancasila bukan identik Orde Baru atau Suharto, bahkan Pancasila sudah dibumikan sejak jaman Bung Karno tahun 1945.

Pancasila adalah nilai luhur bangsa yang lahir dalam keseharian kita. Di Pancasila ada asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Persatuan Indonesia? Di kemanakan asas-asas itu?

Di mana asas Musyawarah Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia? Dalam keadaan tidak ada pengikat bangsa yang multimajemuk ini, tidak terjadi Bhinneka Tunggal Ika.

Hidupkan “BP7 Baru”

Bisa "Tunggal Ika" karena Pancasila mengikat dan menyatukan segala kemajemukan itu. Maka, saya pikir sudah saatnya kita hidupkan lagi BP7. Tentunya metode-metode paksaan seperti indoktrinasi P4 tidak lagi dipakai.

Sekarang fungsi BP7 adalah menyusun strategi guna mendayagunakan institusi dan pranata masyarakat (LSM, perkumpulan, agama, pemerintah, adat, swasta, dan lain-lain) untuk menegakkan Pancasila. BP7 juga bertugas untuk mengingatkan semua pihak jika ada praktik-praktik ataupun kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila.

BP7 yang baru harus menyusun program sesuai dengan nuansa jaman. Terbebas dengan indkotrinasi dan pola-pola birokrat yang cenderung menggurui atau mendikte. Program pendidikan Pancasila dilaksanakan dengan kreatif edukatif dan melibatkan partisipasi siswa.

Penerapan kemajuan teknologi juga dikembangkan dalam kerangka penyebarluasan pengamalan nilai Pancasila. BP7 yang baru apapun namanya merupakan sebuah training center yang mencetak generasi penerus berkarakter Pancasila.

Semoga pemerintahan Jokowi-JK, yang sering nyaring mengumandangkan “Lagu” Pancasila saat kampanye mewujudkan lembaga penggemblengan moral ini sebagai bagian dari Revolusi Mental.

(DP/ berbagai sumber)

Sabtu, 19 Mei 2018

Sengkarut Setrojenar Dalam Bingkai Pilgub Jawa Tengah



Pemilihan Gubernur atau Pilgub Jawa Tengah tinggal sebulan lagi. Jawa Tengah adalah satu dari tiga provinsi terbesar di Jawa yang akan menggelar pemilihan kepala daerah secara serentak, selain Jawa Barat dan Jawa Timur. Rabu, 27 Juni 2018 besok, masyarakat Jawa Tengah akan menentukan siapa yang layak memimpin lima tahun ke depan dari dua pasangan calon gubernur, Ganjar Pranowo-Taj Yasin dan Sudirman Said-Ida Fauziah. Ganjar-Yasin diusung PDIP, PPP, Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Golkar. Sedangkan, Said-Fauziah disokong Partai Gerindra, PKB, PKS, dan PAN.

Tidak seperti Pilgub DKI Jakarta yang hingar bingar, Pilgub Jateng relatif tenang dan adem ayem, bahkan cenderung kurang greget. Animo dan antusiasme masyarakat sangat minim. Hal ini bisa dipahamai karena jabatan seorang gubernur di Jawa Tengah tidak seperti Jakarta yang merupakan daerah khusus ibukota. Gubernur Jawa Tengah nampak hanya sebagai pemimpin administratif dimana kewenangan dan kekuasaannya kalah dengan para bupati dan walikota di masing-masing daerah. 


Di tengah apatisme masyarakat Jawa Tengah dengan gelaran pesta demokrasi-nya, di Kebumen justru ada kejadian yang menjadi tranding topic dan perhatian publik, yaitu sengkarut soal pengisian jabatan perangkat desa. Di beberapa desa di wilayah Kebumen, proses pengisian perangkat desa disoal dan menjadi perbincangan serius para netizen, bahkan naik sidang pengadilan TUN / Tata Usaha Negara dan ranah pidana.


Jual Beli Jabatan Perangkat Desa adalah Fenomena


Sejatinya praktek jual beli jabatan perangkat desa adalah fenomena, diketahui secara pasti oleh sebagian besar masyarakat dan dianggap lumrah. Termasuk di di Kabupaten Kebumen, kota di pesisir selatan Jawa Tengah yang hingga kini konsisten sebagai daerah berpredikat termiskin nomor dua. Masyarakat Kebumen tentu tidak kaget ketika ada berita bahwa untuk menduduki jabatan Carik / Sekretaris Desa dan yang lainnya harus mengeluarkan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Keberanian seorang warga masyarakat melayangkan somasi, melakukan gugatan perdata di PTUN / Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengungkap praktek kecurangan serta politik uang dalam proses penjaringan perangkat desa, baru disebut kasus yang menarik perhatian. Sebagaimana yang terjadi di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen. Sebagai informasi, April Mei tahu ini, Desa Setrojenar menyelenggarakan kegiatan Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa untuk jabatan Sekretaris Desa / Carik, Kepala Urusan Perencanaan, dan Kepala Dusun / Kebayan.

Adalah Arif Yuswandono, seorang anak muda pesisir pantai selatan yang dengan keberaniannya mendobrak benteng tirani yang selama ini menjadi budaya di desanya, dan desa di sekitarnya. Sebagai salah satu peserta seleksi untuk posisi Carik yang menjadi korban konspirasi feodalisme desa, seorang diri, ia menantang panitia seleksi perangkat desa, kepala desa, camat, hingga kepala Dinas Permades P3A / Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Arif melayangkan somasi kepada tiga pihak tersebut dan mengancam melakukan gugatan perdata ke PTUN dan membawa ke ranah idana jika somasinya tidak diindahkan.

Kasus Arif ini patut dikaji dan menjadi perhatian serius bagi para pegiat anti korupsi dan pemerhati perdesaan dalam kaitannya dengan Pemilihan Gubernur Jawa Tengah yang akan digelar pada Juni tahun ini. Ketika pemerintah pusat gencar memerangi kasus korupsi, dimana banyak kepala daerah yang menjadi tersangka maupun tahanan KPK karena terjerat kasus korupsi, pada saat yang sama pemangku kekuasaan di desa tetap asyik dengan budaya KKN nya. Ada dua kata kunci yang bisa menjadi benang merah antara Sengkarut Setrojenar dengan Pilgub Jateng maupun Pemilihan Presiden 2019tahun depan, yaitu DESA dan KORUPSI.

Desa Adalah Ujung Tombak Pembangunan

Saat ini, desa memiliki posisi yang sangat strategis. sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang diikuti dengan PP No. 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan PP No. 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. Peraturan Mendagri No. 113 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa memberikan arah penyempurnaan atas Peraturan Mendagri No. 37 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. Struktur pengelolaan telah diperjelas, begitupun alur pengelolaan keuangan desa klasifikasi APBDes telah dipernaharui. 

Sedangkan mengenai BUMDes dan prioritas penggunaan Dana Desa telah juga diatur melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No.4 dan No. 5 tahun 2015. Dalam UU Desa dijelaskan bahwa desa pada tahun 2015 akan mendapatkan kucuran dana sebesar 10% dari APBN. Dimana kucuran dana tersebut tidak akan melewati perantara. Dana tersebut akan langsung sampai kepada desa. Tetapi jumlah nominal yang diberikan kepada masing-masing desa berbeda tergantung dari geografis desa, jumlah penduduk dan angka kematian. Alokasi APBN yang sebesar 10% tadi, saat diterima oleh desa akan menyebabkan penerimaan desa yang meningkat.



Menurut Dirjen Pembangunan Kawasan Perdesan KPDT, Ahmad Erani Yustika, tahun 2018 ini Dana Desa mencapai Rp  60 trilun. Kurang lebih setiap desa akan menerima sekitar Rp 800 juta. Dan di tahun  2019 akan bertambah lagi jumlahnya. Dana desa di tahun 2018 bukan hanya dialokasikan untuk pembangunan fisik saja akan tetapi juga untuk memperdayakan masyarakat desa. Dana desa itu sesuai Permendes No 19 tahun 2017 prioritas pemanfaatnnya bisa digunakan untuk membangun kawasan pedesan.

Terkait Pilgub Jateng, pada tahun 2008, pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih berhasil meraih dukungan terbanyak dengan mengangkat jargon "Bali nDeso mbangun Deso" (kembali ke desa dan membangun desa). Meski menuai pro dan kontra, namun program ini berhasil membawa Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang dapat berswasembada beras pada tahun 2012. Waktu itu, saya sempat mengajukan konsep sebagai implementasi "Bali nDeso mBangun Deso" dan melakukan paparan di hadapan staf ahli gubernur Jawa Tengah dengan judul "Dari Desa Menuju Dunia".

Saya mendasarkan pada tinjauan sosiologis, geografis dan kemajuan teknologi informasi, bahwa kelak institusi desa akan menjadi sangat strategis dan fundamental. Di era digital, dimana ruang dan waktu tidak lagi relevan, entitas apapun memiliki kesempatan yang sama untuk maju dan berkembang, dikenal dunia karena potesi dan prestasinya. Sepuluh tahun kemudian, prediksi saya menemukan bukti dan kebenarannya. Dengan anggaran yang memadai, kewenangan yang besar, didukung teknologi informasi dan komunikasi, memungkinkan desa tumbuh menjadi entitas baru yang disegani. Menjadi tumpuan dan soko guru perekonomian nasional.

Kedua pasangan cagub Jateng rupanya belum menjadikan topik penguatan lembaga desa sebagai isu strategis. Jika ada pasangan cagub cawagub yang memiliki konsep komperehensif dalam mengembangkan wilayah perdesaan berbasis masyarakat setempat, tentu akan menarik dan patut dipertimbangkan. Apalagi sebagian besar wilayah provinsi Jawa Tengah adalah perdesaan dengan mata pencaharian utama pertanian. Reformasi dan Revolusi Desa adalah kata kuncinya.

Korupsi Sebagai Tantangan sekaligus Ancaman

Kata kunci kedua dalam Pilgub Jateng 2018 setelah DESA adalah KORUPSI. Dalam setiap gelaran pemilihan kepala daerah, korupsi selalu menjadi isu menarik dan sentral. Secara nasional, korupsi disepakati sebagai musuh bersama, kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Pada gelaran Pilgub Jateng 2013, Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Heru Sudjatmoko berhasil mengalahkan petahana Bibit Waluyo yang berpasangan dengan Sudijono Sastroatmodjo dan pasangan Hadi Prabowo-Don Murdono. Tagline yang diusung oleh pasangan Ganjar-Heru saat itu adalah "Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi".

Hanya saja, selama lima tahun (2013-2018) masa kepemimpinan Ganjar Pranowo di Jawa Tengah, kasus korupsi tetap marak dan berkembang. Prestasi Ganjar dalam pemberantasan korupsi di Jawa Tengah tidak bisa dibanggakan. Satu-satunya aksi sensasional yang dilakukan Ganjar dalam menekan korupsi dan pungli di jajarannya adalah ketika ia marah-marah di jembatan timbang Subah, Batang, pada Ahad malam 27 April 2014 silam.

Setelah itu tidak terdengar lagi aksi Ganjar Pranowo dalam menekan angka korupsi dan praktek pungli di jajaran pemprov Jawa Tengah. Yang terjadi justru nama Ganjar disebut-sebut ikut menerima aliran uang mega korupsi KTP elektronik yang melibatkan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto. Dalam beberapa persidangan nama Ganjar disebut oleh terdakwa, saksi maupun dalam tuntutan jaksa KPK.

Ketua Bidang Korupsi Politik dan Anggaran, Komite Penyelidik Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KP2KKN), Ronny Maryanto menyebut Jawa Tengah sebagai daerah yang masuk kategori Darurat Korupsi. Selama kurun waktu 1999-2017, terdapat 32 kepala daerah atau wakil kepala daerah di Jateng yang terjerat dalam pusaran kasus korupsi. Bahkan yang lebih memprihatinkan adalah terdapat kepala daerah yang tersangkut lebih dari satu kasus korupsi.

Seperti Walikota Magelang, Fahriyanto (2000-2010) dan Bupati Cilacap, Probo Yulastro (2002-2009), masing-masing terjerat empat dan dua kasus korupsi. Dua kasus OTT KPK baru-baru ini adalah yang menimpa Bupati Klaten, Sri Hartini dan Walikota Tegal, Siti Masitha Soeparno, di tahun 2017. Dan yang terhangat adalah kasus korupsi yang menjerat Bupati Kebumen, Mohammad Yahya Fuad di tahun 2018. Tak hanya itu, Yahya Fuad bahkan dijerat dengan kasus TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), dimana perusahaan miliknya, PT. Putra Ramadhan (Tradha) ikut ditetapkan sebagai tersangka. Pertama di Indonesia, KPK menetapkan korporasi swasta sebagai tersangka kasus korupsi dan TPPU.

Khusus di Kebumen, sudah 9 orang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi, sebagian diantaranya sudah divonis. Kesembilan orang tersebut ada pejabat pemerintahan, seperti Sekretaris Dearah, anggota DPRD, dan pengusaha swasta. Secara umum di Jawa Tengah banyak sekali pejabat daerah yang terjerat kasus korupsi. 

Menurut data ICW (Indonesia Corruption Watch) dalam kurun waktu 2006-2015 kerugian negara akibat praktik korupsi di Jawa Tengah mencapai 211,1 miliar rupiah, tertinggi di Pulau Jawa. Lantaran besarnya dan banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Jateng, provinsi ini sering masuk lima besar dalam ranking banyaknya kasus korupsi. Bahkan pada periode 2015-2016, Jateng pernah menduduki peringkat pertama sebagai provinsi yang paling banyak terjadi kasus korupsi.

Korupsi Desa dan Rekruitmen Perangkat Desa

Dengan anggaran begitu besar dan kewenangan begitu luas, lembaga desa akan menjadi ladang korupsi baru bagi para kepala desa dan perangkatnya. Total APBDes yang mencapai angka diatas satu miliar sangat rentan disalahgunakan dan diselewengkan tikus-tikus kampung. Di beberapa wilayah di Kebumen dan kabuaten lainnya sudah ada kepala desa yang masuk bui karena menyelewengkan Dana Desa, atau melakukan pungli.

Praktik jual beli jabatan dalam SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja) lembaga desa adalah budaya yang sudah mengakar dan dianggap lumrah. Puluhan hingga ratusan juta rupiah mengalir dalam proses seleksi pengangkatan perangkat desa. Untuk jabatan carik / sekretaris desa ada yang dibanderol 100 hingga 200 juta rupiah. Untuk jabatan Kaur dan Kasi dalam kisaran 10 hingga 30 juta rupiah. Hal ini bisa dipahami karena seorang perangkat desa berhak mendapat penghasilan tetap dan tunjangan lainnya,  termasuk tanah bengkok / playangan yang totalnya bisa mencapai 5 hingga 10 juta rupiah per bulan dan jabatan terebut berlangsung sejak dilantik hingga usia 60 tahun.

Fenomena ini harus menjadi PR dan perhatian serius para calon gubernur dan wakil gubernur yang akan berlaga bulan Juni tahun ini. Mereka harus serius menangani persoalan desa dan potensi korupsinya jika ingin memastkan program-programnya kelak berjalan dengan baik. Lembaga desa adaah ujung tombak dan pelaksana teknis setiap program pembangunan dan pengentasan kemiskinan, apakah program daerah, provinsi maupun program nasional.

Sistem rekruitmen perangkat desa juga menjadi masalah serius agar menghasilkan SDM pelayan desa yang kompeten dan kapabel. Lembaga desa tidak bisa lagi dikelola secara feodal dan tradisional, namun harus dikelola secara modern, akuntabel dan transparan. Sentuhan teknologi informasi dan komunikasi mengharuskan perangkat desa memiliki kapasitas yang memadai untuk mengoperasikan perangkat teknologi digital, sistem informasi dan berbagai program aplikasi.

Nah, terjadinya sengkarut dalam penjaringan dan penyaringan perangkat desa di Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, Kabupaten Kebumen menjadi semacam alarm dini bagi para kandidat gubernur dan wakil gubernur, agar lebih serius lagi merancang program reformasi birokrasi hingga ke tingkat desa.

Salam Reformasi dan Revolusi Desa
Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen

Kebumen, 20 Mei 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pemerhati Kebijakan Publik dan Pegiat Media

Rabu, 16 Mei 2018

Polres Kebumen Terima Hibah Tanah Untuk Gedung Sat Lantas

KEBUMEN — (16/5/2018) Polres Kebumen akhirnya akan segera memiliki bangunan Sat Lantas Polres Kebumen.

Melalui PLT Bupati Kebumen Yazid Mahfudz, Kapolres Kebumen AKBP Arief Bahtiar menerima sertifikat hibah tanah yang nantinya akan digunakan untuk membangun kantor Sat Lantas Polres Kebumen.

Penyerahan sertifikat tanah tersebut, disaksikan langsung oleh Kapolda Jateng Irjen Pol Condro Kirono saat melakukan kunjungan kerja di Mapolres Kebumen, Selasa (15/05/2018).

Tanah seluas 2.359 meter persegi yang terletak di belakang Mapolres Kebumen merupakan tanah bengkok Kelurahan. Melalui penyerahan sertifikat tersebut secara resmi menjadi milik Polri.

Selanjutnya Polres Kebumen juga menerima sertifikat untuk pembangunan Polsek Kuwarasan seluas 696 meter persegi.

Informasi yang berhasil dihimpun, bangunan dan tanah Sat Lantas Polres Kebumen yang berada di kelurahan Mertokondo bukan milik Polri. Selanjutnya untuk Polsek Kuwarasan, bangunan adalah milik pemerintah Desa setempat.

(Humas Res Kebumen /Maspolin /Bhayangkara Indonesia News).

Kamis, 10 Mei 2018

8 Pelanggaran Panitia Seleksi Perangkat Desa Setrojenar



Daftar Pelanggaran dan Penyimpangan dalam proses tahapan Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa Setrojenar, Buluspesantren tahun 2018
1. Merubah secara sepihak dan mendadak jadwal tahapan Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa Setrojenar, sehingga terindikasi menguntungkan sebagian bakal calon dan merugikan sebagaian bakal calon yang lain. (Mengurangi jeda waktu peserta melengkapi berkas dari 4 hari menjadi 3 hari. Ini melawan Perda Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa dan Perbup Kebumen Nomor 51 Tahun 2017 tentang Pengangkatan Perangkat Desa).
2. Merubah secara sepihak dan mendadak persyaratan serta kelengkapan pendaftaran bakal calon perangkat desa Setrojenar, sehingga terindikasi menguntungkan sebagian bakal calon dan merugikan sebagaian bakal calon yang lain. (Mewajibkan foto copy KTP dan Akta Kelahiran harus diegalisir. Mewajibkan peserta menunjukkan ijazah asli dari SD hingga pendidikan terakhir. Ini melawan Perda Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa dan Perbup Kebumen Nomor 51 Tahun 2017 tentang Pengangkatan Perangkat Desa).
3. Membuat keputusan-keputusan secara sepihak tanpa musyawarah seluruh panitia / tidak kuorum, sehingga terindikasi menguntungkan sebagian bakal calon dan merugikan sebagaian bakal calon yang lain. (Tidak ada daftar hadir musyawarah, tidak ada berita acara hasil musyawarah /notulensi).
4. Menafsirkan secara sepihak Perda dan Perbup yang menjadi dasar pelaksanaan kegiatan Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa di Kabupaten Kebumen. Terindikasi menguntungkan sebagian bakal calon dan merugikan sebagaian bakal calon yang lain.
5. Tidak ada informasi dan sosialisasi yang memadai kepada bakal calon perangkat desa terkait persyaratan kelengkapan, perubahan jadwal, tambahan persyaratan. (Bukti : tidak ada tanda terima surat kepada bakal calon perangkat yang sudah mendaftar, tidak ada komunikasi meski ada nomor telepon / HP. Terindikasi ada permainan dan kecurangan).
6. Mempermainkan dan merugikan sebagain bakal calon perangkat desa. (Bukti : tidak ada pemberitahuan jika ada persyaratan yang kurang atau salah dokumen. Mengatakan bahwa seluruh persyaratan sudah lengkap, namun ternyata masih kurang. Menyampaikan bahwa seluruh persyaratan sudah cukup, namun ternyata tidak sesuai. Terindikasi sengaja menjegal dan ada permainan dalam kepanitiaan).
7. Panitia tidak netral dan tidak profesional dalam bekerja. (Bukti : Tidak ada kesamaan persepsi sesama panitia, tidak jelas proses pengambilan keputusan, sehingga Ketua dan Wakil Ketua sangat dominan dan berjalan sendiri-sendiri).

8. Ketua panitia, atas nama Nur Hidayat diragukan status kependudukan dan domisilinya. Karena sehari harinya yang bersangkutan tidak berdomisili di Desa Setrojenar. Ini jelas pelanggaran fatal.
Atas pelanggaran dan kecurangan tersebut diatas, menyebabkan proses Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa Setrojenar tidak sesuai maksud dan tujuan, yaitu menghasilkan perangkat desa yang berkualitas, dan berintegritas. Ini berarti pemborosan keuangan desa / negara sebagai biaya kegiatan Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa dan penyalahgunaan wewenang.
Mari tegakkan kebenaran, perjuangkan keadilan...
Meski langit runtuh dan nyawa sebagai taruhannya...
Wujudkan Kebumen Bersih dan Kebumen Baru yang hebat dan bermartabat...
Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem

Rabu, 09 Mei 2018

CARIK



Setelah kasus kecurangan proses seleksi perangkat desa Setrojenar mencuat ke media, banyak Netizen yang bertanya, "Apa alasan saya mendaftarkan diri mengikuti seleksi".
Sebagian penasaran dan menyayangkan. Dengan kapasitas, reputasi, pengalaman dan latar belakang pendidikan, kenapa saya hanya ingin menjadi CARIK /Sekretaris Desa.
Baiklah, mari kita diskusi soal pernak pernik jabatan carik yang menurut saya sangat sexy dan prestisius. Jabatan carik nantinya sangat strategis dan vital dalam proses pembangunan serta pembentukan civil society.
Berbicara soal carik tidak bisa dilepaskan dari pranata sosial desa dan nagari. Desa adalah struktur sosial dan pemerintahan terkecil / terendah yang sudah eksis sejak jaman kerajaan tua Nusantara. Jauh sebelum Indonesia merdeka 1945.
Disamping carik, ada jabatan lain dalam tata pemerintahan desa yaitu lurah, kebayan, jagabaya, congkog, petengan dan ili-ili.
CARIK dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) diartikan sebagai cabik, sobek, juga lembar (se-carik kertas). Dalam bahasa Jawa carik adalah pejabat yang membantu lurah /kepala desa untuk urusan administrasi, surat menyurat, juga sebagai wakil lurah.
Dalam sebuah blog, kata CARIK berasal dari bahasa Arab 'SYAARIQ' artinya teman, partner, sekutu. Jadi CARIK adalah partner lurah dalam memimpin pemerintahan desa /kelurahan.
Dengan adanya UU Desa (No 6 tahun 2014) posisi desa dalam era pemerintahan Indonesia saat ini sangat strategis dan vital. Program pembangunan dan pengentasan kemiskinan memberikan wewenang dan anggaran yg besar kepada desa. Adanya DD (Dana Desa), ADD (Alokasi Dana Desa), Banprov, PADes (Pendapatan Asli Desa) yang totalnya mencapai miliaran rupiah, mencerminkan betapa desa sangat strategis dan prestisius.
Sebagai pejabat, CARIK juga mendapat take home pay yang lumayan menggiurkan, apalagi jika desa tersebut memiliki potensi alam yang besar. Ada siltap (Penghasilan Tetap), tanah bengkok (luasnya bervariasi), bagi hasil pajak, prosentase PADes dan pendapatan kegiatan sebagai panitia program.
Total bisa mencapai kisaran 5-10 juta rupiah per bulan bisa didapat oleh seorang CARIK. Wajar jika di beberapa tempat proses seleksi pemilihan CARIK menarik minat para sarjana dan pemuda desa yang potensial. CARIK tidak lagi identik dengan bapak tua dengan baju batik yang sesekali batuk-batuk.
Jabatan carik juga berlangsung seumur hidup (dalam beberapa peraturan pensiun pada usia 60 tahun). Ini jelas menarik bagi orang yang mencari kemapanan dan hidup damai di desa.
Dalam lingkup pemerintahan, CARIK memegang peranan vital yang memimpin seluruh administrasi dan manajemen pemerintahan desa. Apalagi jika lurah /kepala desa adalah orang baru yang tidak menguasai persoalan. Maka the real leader di desa adalah carik.
Bagaimana, anda berminat menjadi CARIK ? Bagi lulusan sarjana yang kebingungan mencari kerja, CARIK bisa jadi alternatif logis yang layak diperjuangkan.
Bagi saya, hikmah dibalik kasus ini adalah mengangkat citra CARIK menjadi lebih baik, bergengsi, sexy dan prestisius.
Maka pemangku kebijakan di Kabupaten Kebumen harus serius dan sungguh-sungguh dalam menyikapi kejadian ini. Peraturan yang dibuat juga perlu ditinjau dan direvisi sehingga kejadian seperti ini tidak terulang kembali.
Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem