Selasa, 30 Oktober 2018

Sumpah Pemuda dan Disrupsi Bangsa




Sumpah Pemuda adalah kisah konektivitas dan inklusivitas keragaman identitas di awal pembentukan bangsa Indonesia. Ini adalah kisah spektakuler dari perjuangan anak-anak muda dalam mengarungi jalan terjal multi-seleksi, dalam proses adaptasi terhadap tantangan kehidupan hingga tampil sebagai penyintas.

Untuk menggambarkan jalan panjang dan berliku yang dilalui manusia (muda) Indonesia, dari seorang individu menjadi warga bangsa, kita bisa meminjam deskripsi Jonathan Haidt dalam bukunya yang memukau The Righteous Mind : Why Good People are Devided by Politics and Religion (1202).

Kisah ini bermula dari anak-anak jajahan, dengan watak alamiah menyerupai simpanse yang mengutamakan kepentingan pribadi, harus berlomba untuk bisa menjadi “piyayi baru” (bangsawan fikiran) dalam sistem kompetisi masyarakat kolonial yang tidak fair. Pada etape selanjutnya, aneka diskriminasi yang dialami di sepanjang perlintasan menjadi “priyayi baru” mempersambungkan “kepekaan naluriah” (gut feeling) sesama serumpun menjadi semacam lebah yang berkerumun dalam “sarang” komunitas moral primordial (berbasis kesukuan-kedaerahan dan keagamaan). Pada tahap ini, terjadi pula proses perlombaan antara kelompok-kelompok komunal baru. Kemunculan organisasi pemuda-pelajar atas dasar solidaritas kejawaan, Jong Java, membangkitkan reaksi pembentukan organisasi-organisasi “tandingan” seperti Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun (pemuda Sunda), Pemuda Kaum Betawi, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond.

Kebangsaan-kewargaan
Dalam perkembangannya, proses seleksi dalam perlombaan antara kelompok- kelompok komunal ini mengalami proses transendensi karena adanya persamaan kepentingan dalam menghadapi kompetisi dengan musuh bersama yang lebih besar, yakni negara kolonial (“asing”) yang represif dan diskriminatif. Persepsi tentang adanya kepentingan bersama inilah yang mendorong terjadinya proses peleburan aneka komunitas primordial ke dalam suatu “sarang” komunitas moral dalam skala yang lebih luas. Maka, terbentuklah superorgnisme yang sangat gigantis, bernama “kebangsaan-kewargaan” (civic nation).

Jalan Indonesia menuju “kebangsaan-kewargaan” itu berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh kecenderungan masyarakat Eropa. Dalam pengalaman Eropa, munculnya nasionalisme dilalui lewat proses sekularisasi dengan memudarnya pengaruh agama dan ikatan primordial lainnya (Rupert Emerson, 1960). Di sini, ketika nasionalisme bangkit, agama dan komunitas kultural lainnya memainkan peran penting. Kemunculan masyarakat sipil dan politik utamanya terlahir dari komunitas agama-budaya, bukan dari komunitas pasar. Jalan menuju nasionalisme kewargaan ditempuh dengan cara pengadaban masyarakat keagamaan dan kesukuan untuk bisa memasuki komunitas moral publik secara damai dan toleran.

Oleh karena itu, di negeri ini, jangan pernah mempertentangkan “kebangsaan” dan “keagamaan”. Komunitas-komunitas keagamaan bisa menjadi tulang punggung integrasi nasional karena kemampuannya mempertautkan keragaman suku dan kelas sosial secara vertikal oleh kesamaan aliran-aliran keagamaan. Dengan satu sentuhan lagi, berupa proses “sipilisasi” (lewat konektivitas dan inklusivitas aneka ormas keagamaan) dalam mengusung moral publik, Indonesia memiliki modal sosial dan modal moral yang bisa diandalkan.

Tentang pentingnya komunitas agama sebagai modal sosial ini mendekati gambaran Robert Putnam (2000) dalam konteks kebangsaan-kewargaan Amerika Serikat. Dalam pandangannya, keterpautan pada kelompok kecil, seperti sesama anggota gereja dan perkumpulan agama yang melibatkan aneka individu dan latar sosial, merupakan modal awal bagi afeksi publik. “Agama-agama membuat orang-orang Amerika menjadi tetangga dan warga negara yang lebih baik”. Bahwa “ramuan aktif yang membuat masyarakat Amerika lebih bajik adalah keterpautan mereka dalam relasinya dengan sesama komunitas agama. Segala hal yang mengikat masyarakat secara bersama ke dalam kerapatan jaringan rasa saling percaya membuat orang-orang kurang mementingkan diri sendiri”. Dan itu merupakan modal sosial yang amat penting bagi integrasi nasional.

Dalam kisah Sumpah Pemuda, proses peleburan ragam komunitas etno-religius ke dalam kesamaan komunitas kebangsaan-kewargaan yang lebih luas dimungkinkan oleh kesanggupan para pemuda untuk melakukan konektivitas dan inklusivitas.

Kemampuan konektivitas bisa dilihat dari keragaman latar sosiogragfis dari peserta Kongres Pemuda II ini. Keragaman kesukuan dan kedaerahan selain tercemin dari kehadiran organisasi-organisasi yang telah disebutkan, turut juga 2 perwakilan dari Papua (Aitai Karubaba dan Poreu Ohee) dan beberapa orang Tionghoa sebagai peninjau (Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie) serta satu orang sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond (Kwee Thiam Hiong). Representasi golongan keagamaan diwakili oleh Jong Islamieten Bond.

Kedatangan peserta dari berbagai wilayah di Tanah Air ini sungguh mengagumkan dalam kondisi ketersediaan infrastruktur perhubungan yang masih sangat terbatas. Sarana transportasi umum yang tersedia baru kapal laut dan kereta api. Meski demikian, keterbatasan konektivitas teknis ini bisa diatasi dengan kerapatan konektivitas mental-kejiwaan. Konektivitas mental-kejiwaan dimungkinkan oleh tersedianya ruang-ruang publik modern yang memfasilitasi perjumpaan antaridentitas. Ruang-ruang publik modern ini terentang mulai dari jaringan persekolahan dan klub-klub sosial bergaya Eropa, terutama di Bandung, Batavia, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, yang memungkinkan para pemuda-pelajar dari beragam latar wilayah dan golangan bisa berinteraksi. Kedua, dalam kehadiran jaringan industri pers vernakuler yang memungkinkan diseminasi informasi, pertukaran pikiran, dan promosi agenda bersama.

Konektivitas mental-kejiwaan juga dimungkinkan oleh minat baca dan tingkat erudisi yang tinggi. Keluasan dan kedalaman bacaan memungkinkan para pemuda-pelajar bisa memahami dan menghayati persoalan yang berlangsung di tempat jauh, meski tanpa kehadirannya secara fisik, karena pengetahuan yang diperolehnya dari bahan bacaan. Dengan itu, para pemuda-pelajar bisa mengembangkan sikap empati terhadap nasib mereka yang berbeda identitas, yang memberi kemampuan mencari substansi bersama melampaui perbedaan garis identitas.

Konektivitas dan Inklusivitas
Dimensi inklusivitas dari Sumpah Pemuda tampak dari kesetaraan kesempatan bagi segenap peserta dari berlatar golongan untuk mengeskspresikan diri dan mengambil peran, dengan sama-sama terlibat dan menyepakati agenda dan keputusan bersama. Dalam perjalanannya nanti, semangat inklusivitas yang diwarisi dari jiwa Sumpah Pemuda ini, memungkinkan figur-figur utama Kongres ini memainkan peran besar dalam sejarah Republik. Sugondo Djojopuspito (Ketua Kongres), Muhammad Yamin (Sekretaris), Amir Sjarifudin (Bendahara), Johannes Leimena (Pembantu) menempati posisi-posisi penting seperti di BPUPK, KNIP, dan pos-pos kementerian negara atas dasar prinsip meritokrasi yang non-diskriminatif.

Bahkan Amir Sjarifudin, dengan latar Kristen, bisa menjadi Perdana Menteri. Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda (Kristen dan Melanesia) menjadi orang dengan menduduki jabatan menteri (wakil menteri) terpanjang dalam sejarah republik (21 tahun), bahkan beberapa kali menjadi pejabat kepala negara.

Konektivitas dan inklusivitas bukan saja penting bagi integrasi nasional tapi juga prasyarat bagi kemajuan bangsa. Hal ini bahkan berlaku bagi kemajuan di bidang olah raga. Sebuah studi yang dilakukan oleh Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomics (2018) menengarai mengapa tim sepakbola Inggris untuk masa yang panjang miskin prestasi di tingkat internasional, meski merupakan tanah leluhur sepak bola. Jawabannya bisa dinisbatkan pada miskinnya konektivitas dan inklusivitas dalam sepak bola di negeri tersebut.

Di Eropa kontinental, jarak antara satu negara dengan negara lain bisa ditempuh dalam 2 jam, yang memudahkan interkoneksi dan rangsangan saling belajar antarnegara. Kehebatan gaya sepakbola suatu negara dengan cepat dipelajari oleh negara lain dalam usaha mencari cara bermain yang lebih unggul. Dari sini muncullah pelatih-pelatih hebat seperti Arrigo Sacchi, Arsene Wenger, dan Pep Guardiola yang mampu meracik resep sepakbola secara sintesis-kreatif hingga melahirkan sepakbola yang efektif, atraktif dan sarat prestasi. Adapun Inggris, sebagai negara kepulauan yang terpisah, kurang terkoneksi dengan perkembangan sepakbola di negara-negara seberang. Untuk masa yang panjang, Ingris terus mempertahankan gaya sepakbola “hit and run” yang sudah kadaluarsa. Baru belakangan, setelah tim-tim Premier League menyewa pelatih-pelatih dari Eropa kontinental, gaya permainan tim sepak bola negeri tersebut mengalami perubahan berarti.

Selain itu, di banyak negara Eropa kontinental, tim sepakbola nasional dikembangkan secara lebih inklusif, dengan merekrut talenta-talenta terbaik dari berbagai lapisan sosial. Di Inggris, tim sepakbola nasionalnya cenderung eksklusif, diisi oleh para pemain dari latar kelas sosial yang sama, yakni “kelas buruh”. Kebanyakan pemain berhenti sekolah pada usia 16 tahun; nyaris tak ada yang pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi. Dengan demikian, potensi talenta terbaik dari kelas-kelas sosial lain tidak terengkuh. Dengan alasan yang sama, kita bisa menjelaskan bahwa salah satu faktor yang membuat bulu tangkis menjadi cabang olah raga yang paling berprestasi di Indonesia adalah karena basis inklusivitasnya yang kuat.

Untuk menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektivitas dan inklusivitas ini harus dihela oleh kesamaan basis moralitas (shared values). Dalam konteks moral publik, kesamaan itu bisa ditemukan dalam 6 nilai inti dalam matriks moral. Care (peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama), fairness (keadilan dan kepantasan), liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan), loyalty (kesetiaan pada institusi dan tradisi), authority (otoritas yang dihormati bersama), sanctity (hal-hal yang disucikan bersama).

Generasi Sumpah Pemuda memiliki titik-temu nyaris di semua butir matriks moral itu. Mereka sama-sama peduli terhadap bahaya penjajahan. Mereka sama-sama memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Mereka sama-sama mendambakan kemerdekaan dari penindasan dan represi. Mereka sama-sama punya kesetiaan pada bangsa dan tanah air. Mereka sama-sama memimpikan otoritas baru yang berbeda dari otoritas feodal dan kolonial. Mereka juga sama-sama menyucikan satu nilai yang dijunjung bersama, yakni nilai-nilai spiritualitas kegotong-royongan; bahwa persatuan harus diutamakan di atas perbedaan.

Keterpautan pada komunitas moral bersama ini dikukuhkan oleh keterpaduan simbol dan identitas kolektif kebangsaan. Dalam masyarakat mejemuk, memang diperlukan adanya rekonignisi politik dan politik rekognisi yang menjamin kesetaraan hak bagi setiap kelompok etnis, budaya dan agama. Meski demikian, kehadiran aneka kelompok komunal itu tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi keyakinan, nilai, norma, simbol dan institusi bersama. Karen Stenner (2005) mengingatkan bahwa politik dan pendidikan multikultural yang terlalu menekankan perbedaan membuat orang tambah rasis, bukan menguranginya.

Bagi generasi Sumpah Pemuda, usaha mempertautkan kebinekaan ke dalam persatuan itu dilakukan lewat pengakuan akan aspek-aspek kesamaan (similarity): kesamaan tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan. Persatuan juga ditumbuhkan dengan mengupayakan keterpaduan (synchrony), dengan jalan menumbuhkan afeksi publik lewat pengibaran bendera dan lagu kebangsaan yang sama.

Lagu Indonesia Raya yang semula disepelekan pemerintahan kolonial sebagai lagu keroncong yang tak menggugah, terus-menerus dinyanyikan di berbagai kesempatan, sehingga lambat laun menjadi pembangkit emosi kebangsaan yang sama. Semua kerangka kesamaan dan keterpaduan itu makin solid manaka kebijakan kolonial makin represif yang menumbuhkan kesamaan blok nasional. Dengan pekikan yel bersama, “merdeka atau mati”, energi persatuan berhasil merebut kemerdekaan, yang melambungkan anak-anak jajahan sebagai penyintas.

Ancaman disrupsi
Jalan panjang proses menjadi bangsa itu harus kita hayati manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Meski konektivitas fisik mengalami kemajuan dengan pembangunan infrastruktur perhubungan dan penggunaan sosial media yang sangat intens, namun konektivitas mental-kejiwaan mengalami kemunduran. Dunia persekolahan dan media yang dulu menjadi jendela keterbukaan bagi pergaulan lintas-kultural dan pertukaran pikiran, saat ini mengalami gejala pengerdilan. Pelemahan minat baca dan erudisi menyempitkan daya jelejah pemahaman, yang menumpulkan sikap empati terhadap yang berbeda. Gejala eksklusivitas meluas dengan tumbuhnya pusat-pusat pemukiman, sekolah dan dunia kerja dengan segregasi sosial yang curam.

Komunitas moral bersama mengalami retakan karena memudarnya komitmen untuk menetapkan dan memelihara moral publik. Basis moral organisasi-organisasi sosial-politik tidak begitu jelas. Dari enam nilai dalam matriks moral publik, satu-satunya yang relatif terus diagungkan adalah nilai kebebasan (liberty). Selebihnya, tidak tampak keseriusan mempedulikan apa yang mengancam keselamatan bersama. Sulit menemukan basis sosial yang gigih memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum. Terjadi peluluhan loyalitas terhadap institusi-institusi dan tradisi kebangsaan. Penghormatan terhadap otoritas hukum dan kepemimpinan merosot. Keluhuran budi untuk merawat hal-hal yang “disucikan” bersama pudar.

Narasi publik tidak mendorong konvergensi, malah menyulut divergensi. Polarisasi politik yang kian meruncing mengeraskan perbedaan yang menyulitkan perjumpaan. Harus lebih banyak usaha sepacam peristiwa Asian Games yang menumbukan similaritas dan keterpaduan dari keragaman Indonesia. Kompetisi dengan bangsa bangsa lain bukan saja bisa memacu prestasi, tapi juga bisa mentransformasikan konflik-konflik persaingan internal menuju kontestasi dengan “lawan” bersama dari luar. Persepsi tentang kepentingan bersama memang tidak hanya bisa ditumbuhkan lewat nasionalisme negatif-defensif (melawan musuh dari luar), bisa juga dihidupkan lewat nasionalisme positif-progresif (membangun agenda kemajuan, keunggulan dan persemakmuran bersama).

Selain itu, harus lebih banyak ruang-ruang perjumpaan yang memungkinkan warga bisa melintasi batas-batas identitas. Institusi-institusi demokrasi harus ditata ulang dalam kerangka memperkuat persatuan dan keadilan. Kebebasan sebagai hak negatif (bebas dari) harus ditransformasikan menjadi kebebasan sebagai hak positif (bebas untuk), agar segala keragaman dan potensi bisa diolah menjadi sumber kemajuan dan kebahagiaan hidup bersama. Peringatan Sumpah Pemuda harus bisa menangkap apinya, bukan abunya!

Yudi Latif
Pengurus Aliansi Kebangsaan

Kompas, Sabtu, 27 Oktober 2018

Senin, 29 Oktober 2018

PEKIK TAKBIR MENGINSPIRASI BUNG KARNO SATUKAN PEJUANG KEMERDEKAAN


DALAM pertempuran Surabaya, pekik takbir terdengar di dua kubu. Des Alwi, anggota Pemuda Republik Indonesia (PRI), menceritakannya kepada Sukarno yang datang ke Surabaya pada 29 Oktober 1945. 
“Terdapat pasukan Inggris yang selalu meneriakkan Allah Akbar ketika sedang bertempur. Tetapi kita tidak pernah tahu apakah mereka itu Muslim atau bukan,” kata Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.
Sukarno memerintahkan Des Alwi untuk menjelaskan kepada rakyat Surabaya bahwa Inggris membawa orang-orang Islam dari India bagian timur. “Sebagai sesama Muslim kita semua bersaudara, tidak boleh saling bunuh-membunuh dan diadu domba oleh kekuatan kolonial,” Sukarno mengingatkan. “Usahakan, ajak mereka bergabung dan membantu perjuangan kemerdekaan kita.”
Dengan ucapannya, Sukarno mengirimkan dua pesan sekaligus: memanfaatkan sentimen agama dan perjuangan melawan kolonialisme. Maka, berbagai cara dilakukan untuk membujuk tentara India, baik Muslim maupun bukan.
Di Bandung, pesan disampaikan dengan cara ditempelkan dan dililitkan pada batu kemudian dilemparkan ke arah Bandung bagian utara, tempat pasukan Inggris berada. Pesan itu berbunyi: “Penakluk Jerman dan Jepang dll pulanglah dan jangan berjuang untuk Belanda.” 
Propaganda juga disiarkan melalui radio di Bandung Selatan. “Kapten Rashid”, diyakini Inggris sebagai pembelot India Muslim, mengudara setiap malam dalam bahasa Inggris dan Hindustani.
“Siaran-siaran penerangan kita melalui studio RRI Bandung ditujukan kepada serdadu-serdadu Gurkha, Sikh, dan Muslim dengan bahasa Urdu dan Hindi pada 23 November 1945 menghasilkan 19 orang serdadu India ‘menyeberang’ ke pihak kita, lengkap dengan persenjataannya dan dua buah truk,” demikian dimuat Siliwangi dari Masa ke Masa.
Di Surakarta, dua tentara India yang membelot menyerukan rekan-rekannya dalam bahasa Urdu melalui corong radio agar meninggalkan tentara Inggris. Pembelot itu, tulis Soeloeh Merdeka, 21 November 1945, juga mengingatkan bahwa perjuangan Indonesia sejalan dengan perjuangan India.
Menurut McMillan, 60 persen pembelot adalah tentara India Muslim. Di Jawa, di mana sebagian besar desersi terjadi, pembelot Muslim dua kali lebih banyak dari pembelot Hindu.
P.R.S. Mani, perwira penerangan tentara Inggris, mencatat sekitar 600 tentara Muslim India membelot karena dibujuk. “Pihak Inggris juga mengakui bahwa beberapa di antaranya karena tidak suka memerangi bangsa Indonesia,” tulis Mani dalam Jejak Revolusi 1945.
Kebanyakan desersi terjadi pada malam hari dengan cara meninggalkan barak, kendati ada juga yang dilakukan ketika sedang operasi militer. Laporan Divisi India Ke-26 di Sumatra menunjukkan pembelotan meningkat tajam selama bulan Ramadan pada Agustus 1946.
Beberapa unit memiliki tingkat desersi lebih buruk daripada yang lain. Dua batalion yang sama, yaitu 8/8 Punjab di Sumatra dan 6/8 Punjab di Jawa, kehilangan banyak pasukan yang semuanya Muslim. Mereka membawa senjata dan amunisi 50-90 butir, pistol dan granat. Desersi terus terjadi bahkan ketika Inggris akan meninggalkan Indonesia pada November 1946.

Dari berbagai sumber.

Kamis, 25 Oktober 2018

SETELAH VONIS YAHYA FUAD, SIAPA LAGI BAKAL DIJERAT ?


Kebumen - (25/10/2018) M Yahya Fuad, Bupati Kebumen non-aktif, dijatuhi hukuman penjara 4 tahun dan dicabut hak politiknya. Vonis tersebut dijatuhkan dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang pada  Senin (22/10/2018).

Yahya terjerat kasus suap dari berbagai proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kebumen pada tahun 2016 lalu.

Berikut ini fakta lengkapnya.

1. 4 tahun penjara dan hak politik dicabut

Tersangka Bupati Kebumen (nonaktif) Mohammad Yahya Fuad tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/3). Mohammad Yahya Fuad menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka pasca ditahan KPK terkait kasus pengadaan barang dan jasa menggunakan dana APBD Kabupaten Kebumen tahun 2016. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/18.

"Menghukum oleh karena itu dengan pidana penjara 4 tahun," kata ketua majelis hakim Antonius Widijantono, pada hari Senin (22/10/2018) dalam agenda sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Bupati Kebumen nonaktif, M Yahya Fuad.

Vonis tersebut lebih ringan 1 tahun dari tuntutan jaksa KPK yang meminta hukuman 5 tahun dan denda Rp 600 juta.

Meski demikian, hakim sependapat dengan jaksa soal pencabutan hak politik untuk Yahya untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik. Pencabutan hak politik berlaku selama 3 tahun.

"Mencabut hak politik terhadap terdakwa selama 3 tahun terhitung setelah masa hukumannya selesai dijalani," tambah hakim.

Dalam perkara ini, Yahya dinyatakan terbukti melanggar ketentuan pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selama menjadi bupati, Yahya terbukti menerima suap yang totalnya mencapai Rp 12,03 miliar.

2. Yahya mengundurkan diri dari jabatan Bupati

Tersangka Bupati Kebumen (nonaktif) Mohammad Yahya Fuad (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/3). Mohammad Yahya Fuad menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka pasca ditahan KPK terkait kasus pengadaan barang dan jasa menggunakan dana APBD Kabupaten Kebumen tahun 2016. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/18.

Sebelum vonis dijatuhkan, Yahya menelepon Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan menyatakan diri mundur sebagai Bupati Kebumen. Hal tersebut dibenarkan oleh Ganjar.

"Sudah telepon saya, dia mau mengundurkan diri," kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat ditemui di kantornya, Rabu (24/1/2018).

Ganjar menyebut, permintaan pengunduran diri telah disampaikan secara lisan pada Senin (22/1/2018) kemarin. Sebelumnya, Ganjar mengaku telah mendapati informasi soal penetapan tersangka bupati Kebumen.

Pihak Pemprov Jateng pun berniat menyiapkan pelaksana tugas untuk menjalankan roda pemerintahan Kabupaten Kebumen.

"Kalau sudah mau mundur, kami siapkan penggantinya. Wakilnya nanti naik," tambahnya.

3. KPK menolak tawaran terdakwa untuk justice collaborator 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/10/2018) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menolak permohonan Bupati Kebumen non aktif M Yahya Fuad untuk menjadi justice collabolator (JC) atau pihak yang bekerja sama membantu pengungkapan kasus tersebut.

Penolakan permohonan itu disampaikan jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Rabu (3/10/2018).

"Permohonan JC kami tolak karena terdakwa dinyatakan sebagai pelaku utama," kata Joko Hermawan, jaksa KPK.

Meski ditolak, jaksa menyatakan, Yahya ikut serta membantu mengungkap tindak pidana lainnya.

"Terdakwa membantu mengungkap tindak pidana lain, tapi JC tidak dikabulkan," tandasnya.

Baca Juga: KPK Tolak Permohonan "Justice Collabolator" untuk Bupati Kebumen

4. Kasus suap yang menjerat Bupati Kebumen

Bupati Kebumen M Yahya Fuad  (kiri) didampingi Kapolres Kebumen AKBP Titi Hastuti (kanan) saat menjumpai awak media di Pendapa Pemkab Kebumen, Rabu (6/9/2017) Bupati Kebumen non aktif M Yahya Fuad menerima suap dari berbagai pihak ternyata melibatkan pihak lain, termasuk tim sukses pemenangan calon pada Pilbup 2015 lalu.

Salah satu tim sukses pemenangan M Yahya Fuad, yaitu Hojin Ansori, telah disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Senin (2/7/2018).

Bupati Yahya dalam melakukan upaya suap dilakukan dengan mengumpulkan tim pemenangannya saat pilkada, salah satunya Hojin.

Hojin pula yang bertugas menarik upeti atau uang "ijon" dari para calon rekanan pelaksana proyek di daerah tersebut.

"Terdakwa laporkan ke Yahya dan oleh Yahya diserahkan ke pihak lain sebesar sebesar Rp 2,03 miliar. Lalu Rp 400 juta diserahkan ke pihak lain," kata Jaksa KPK Fitroh Rocahyanto, Senin (2/7/2018).

Sumber : KOMPAS.com (Nazar Nurdin)

Jumat, 19 Oktober 2018

PERS RELEASE TERKAIT PEMBERITAAN PENGHARGAAN PBB UNTUK IPDA. ROCHMAT TRI MARWOTO, SH



Terkait pemberitaan simpang siur tentang pemberian penghargaan dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk anggota Brimob Polri atas nama Ipda. Rochmat Tri Marwoto, SH yang bersamaan dengan acara Peresmian Mushala Ar Razi dan Asrama Yatim Ginaris di Madiun, Senin 15 Oktober 2018, maka kami dari BINs (Bhayangkara Indonesia News) memberikan klarifikasi dan penjelasan sebagai berikut :

1. Ipda. Rochmat Tri Marwoto, SH adalah benar-benar anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Kesatuan Brimob Polda Jawa Timur yang inspiratif dan humanis dengan aktivitas sosialnya menampung, merawat dan mendidik anak-anak yatim di sekitar tempat tinggalnya dalam Asrama Yatim Ginaris.

2. Acara utama Hari Senin, 15 Oktober 2018 di kediaman Ipda. Rochmat, Desa Klagenserut, Jiwan, Madiun adalah peresmian Mushala Ar Razi dan Asrama Yatim Ginaris yang dikelola oleh Ipda. Rochmat. Diresmikan oleh Kapolda Jawa Timur, Irjen. Pol. Drs. Luki Hermawan, M.Si didampingi Ketua Bhayangkari, Nyonya Atik Luki Hermawan.

3. Kehadiran Bapak Lodewyk Pasulatan dan pemberian plakat berlogo United Nations yang menimbulkan polemik di media adalah atas inisiatif BINs dan tanggung BINs sepenuhnya, dengan kronologi sebagai berikut :

a)  BINs adalah salah satu media yang concern mengangkat berita aktivitas Ipda. Rochmat dan mendampinginya dalam beberapa wawancara di stasiun televisi nasional, Jakarta.

b) Melihat dan memperhatikan aktivitas Ipda. Rochmat yang peduli dengan anak-anak, BINs berinisiatif mengontak PBB agar ada perhatian dan support, karena selama ini Ipda. Rochmat mengeluarkan dana sendiri untuk mengurus puluhan anak yatim.

c) Awalnya kami menghubungi Bp Lodewyk Pasulatan yang bekerja di UNIC (United Nations Information Center), lembaga PBB yang menurut BINs sebagai penghubung dengan dunia media atau pers baik lokal maupun internasional.

d) Oleh Bapak Lodewyk, BINs diarahkan untuk kirim surat ke UNICEF (United Nations Childrens Fund), badan dunia PBB yang mengurusi anak-anak.

e) BINs mengirim surat resmi kepada UNICEF yang ada di Jakarta, untuk hadir melihat dan memberi support pada kegiatan Ipda. Rochmat di kediamannya. Perlu dicatat : untuk hadir, bukan memberi penghargaan.

f) Secara lisan dalam pertemuan dengan BINs, pihak UNICEF siap mengirimkan dua orang perwakilan untuk mengunjungi kediaman Ipda. Rochmat, bersamaan dengan acara Peresmian Mushala dan Asrama Yatim Ginaris, Senin 15 Oktober 2018.

g) Konfirmasi kehadiran utusan UNICEF pada acara peresmian Mushala dan Asrama Yatim, BINs sampaikan ke Ipda. Rochmat dan Kasat Brimob kemudian diteruskan ke Kapolda Jatim.

h) Hari Jumat, tanggal 12 Oktober, UNICEF mengirim surat kepada BINs, memberitahukan bahwa mereka meminta maaf karena situasi darurat di Palu, gempa dan tsunami, mereka tidak bisa mengirimkan orang untuk menghadiri acara tersebut (peresmian mushala dan asrama yatim di Madiun).

i) BINs memang sempat kecewa dan panik atas pembatalan tersebut, karena sudah ada persiapan penyambutan dari panitia di Madiun (Sat Brimob dan Polda Jatim).

j) BINs berkonsultasi kembali dengan Bapak Lodewyk untuk mencari solusi. Akhirnya untuk menjaga nama baik BINs, PBB dan Polri, beliau bersedia hadir atas nama pribadi untuk mengobati kekecewaan.

k) BINs berinisiatif membuat plakat ucapan selamat (bukan penghargaan /award), dengan logo dan tulisan UNIC tempat Pak Lodewyk bekerja, untuk diserahkan kepada Ipda. Rochmat.

l) Memang benar, kehadiran Lodewyk Pasulatan ke acara tersebut adalah dalam kapasitas pribadi sebagai salah satu pegawai di UNIC, bukan atas nama UNIC atau PBB. Biaya perjalanan Lodewyk dari BINs, bukan dari kantor UNIC.

m) Jadi, penempatan logo PBB pada plakat ucapan selamat adalah murni inisiatif BINs dan segala resikonya adalah tanggung jawab BINs.

n) Atas ketidaknyamanan dan polemik yang terjadi di media massa, BINs meminta maaf kepada semua pihak yang telah dibuat repot, yaitu UNIC Perwakilan Indonesia, UNICEF, PBB, Polda Jawa Timur, Sat Brimob, dan keluarga besar Ipda. Rochmat.

o) BINs akan mengirim surat permintaan maaf resmi kepada semua pihak yang telah direpotkan dan dibuat tidak nyaman.

p) Terkait keberadaan Lodewyk Pasulatan sebagai pegawai UNIC yang sudah berhenti sebagaimana dalam rilis resmi UNIC adalah masalah internal antara Lodewyk dan UNIC.

q) Kepada semua pihak, BINs berharap untuk menyudahi semua polemik yang terjadi, tidak memelintir berita dan statemen apapun.

Demikian pers release ini kami buat, agar ada kejelasan berita simpang siur terkait penghargaan PBB untuk Ipda. Rochmat Tri Marwoto, SH.

Terimakasih
Jumat, 19 Oktober 2018


Arif Yuswandono
(Kabid. Brand Image Polri & Partnership pada BINs)




Rabu, 10 Oktober 2018

INDONESIALEAKS DAN HILANGNYA "PUBLIC ETHICS" Oleh : Arief Luqman El Hakiem *)



Beberapa hari ini publik tanah air khususnya kalangan netizens disuguhi berita heboh dengan judul "Buku Merah Yang Disobek". Indonesialeaks merilis hasil investigasi mengenai perkara dugaan suap yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar dan pengusaha impor daging Basuki Hariman.

Dalam kasus itu ada dugaan aliran dana ke petinggi Polri, yang tercatat dalam buku bank bersampul warna merah. Termasuk aliran ke Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian yang waktu itu tahun 2016 menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya.

Tak lama berselang, Bambang Widjojanto, mantan komisioner KPK mengeluarkan 11 satemen dramatis dalam sebuah pers release untuk mengomentari hasil investigasi Indonesialeaks. Secara bersamaan, Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais juga mengeluarkan ancaman akan membongkar dua kasus besar, ketika dirinya dipanggil penyidik Polda Metro Jaya sebagai saksi kasus Ratna Sarompaet.

Secara pribadi saya melihat kasus ini lebih bernuansa politis dari pada aspek hukum. Ini adalah kasus lama yang hendak dikorek kembali untuk kepentingan Pemilu dan Pilpres 2019. Ambisi politik dan kekuasaan menjadikan beberapa pihak menghalalkan segala cara, meski harus melanggar etika dan moral.

Indonesialeaks dan perilaku yang ditunjukkan beberapa publik figur hari-hari ini membuka kesadaran kita bahwa political ethics dan public ethics telah hilang di negeri ini. Apa yang dilakukan oleh Bambang Widjojanto dan Amien Rais adalah fenomena puncak gunung es hancurnya etika dan moral para politisi Indonesia saat ini.

Secara spesifik Collins Cobuild (1990:480) mendefinisikan etika sebagai “an idea or moral belief that influences the behaviour, attitudes and philosophy of life of a group of people”. Oleh karena itu konsep etika sering digunakan sinonim dengan moral.

Ricocur (1990) mendefinisikan etika sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil.

Dengan demikian etika lebih difahami sebagai refleksi atas baik/buruk, benar/salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan.

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik. Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk.

Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethes” atau "Ethos" yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau dapat diartikan kumpulan peraturan tentang kesusilaan. Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik.

Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik. Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.

Karena ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka etika politik yang dibangun harus bersumber dari nilai-nilai ajaran Pancasila. Prinsip-prinsip dasar seperti tepo seliro, tenggang rasa, gotong royong, musyawarah mufakat, keadilan, hingga persatuan dan kesatuan dalam bingkai ketuhanan tidak boleh dipisahkan dari etika politik Indonesia.

Dalam kasus buku bank bersampul warna merah, kita melihat betapa rendahnya etika publik dicampakkan oleh Indonesialeaks dan Bambang Widjojantopara yang notabene sebagai pernah memimpin lembaga anti rasuah, KPK.

Indonesialeaks sendiri merupakan platform bersama untuk menghubungkan pembocor informasi/whistle blower dengan media. Platform dengan alamat Indonesialeaks.id itu digagas empat lembaga, yaitu Free Press Unlimited (FPU), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Tempo Institute dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).

Alur kerja dari Indonesialeaks ini kurang lebih mengadopsi alur kerja dari pembuatan Panama Papers dan Wikileaks (yang sekarang). Publik dapat mengirimkan dokumen-dokumen penting nan rahasia ke platform ini. Di negara asalnya Belanda, platform ini bernama Publeaks, sedang di Meksiko bernama Mexicoleaks, dan di Nigeria bernama Leaks.ng.

FPU adalah organisasi non-pemerintah yang berpusat di Amsterdam, Belanda. Organisasi ini dibentuk pada 28 April 2011 dari penggabungan antara Free Voice dan Press Now. Pada 1 Juni 2011, departemen Proyek Internasional RNTC bergabung dengan organisasi baru ini.

Ada tiga argumen fundamental hingga membuat saya berani menyimpulkan bahwa Indonesialeaks, Bambang Widjojanto dan Amien Rais telah merusak etika publik dan melanggar etika politik Pancasila.

1. Memvonis Sebelum Mengadili

Apa yang dilakukan oleh Indonesialeaks dan media kompatriotnya adalah bentuk pembunuhan karakter, negative campaign dan tidak bermoral. Sebagai gabungan beberapa media dan LSM, mestinya Indonesialeaks menjunjung tinggi azas obyektivitas dan proporsionalitas.

Tanpa menghiraukan pihak lain, rilis Indonesialeaks sudah terkesan memvonis dan menggiring opini publik bahwa yang disebutkan benar-benar bersalah dan korup. Ini sangat berbahaya dan menyulut kegaduhan, memunculkan kecurigaan dan saling tuduh.

3. Serangan Brutal Bambang Widjojanto dan Amien Rais

Bambang Widjojanto dan Amin Rais adalah tokoh dan profesional pada bidangnya masing-masing. Secara pribadi saya respek dan menaruh hormat. Namun dalam kasus ini, saya mohon maaf harus mengkritik dan berbeda pandangan. Keduanya bukan lagi dan rasul yang maksum, terbebas dari salah dan khilaf.

Pers rilis yang dikeluarkan Bambang sangat kasar dan brutal. Lebih merupakan provokasi dari pada bentuk upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Sebagai aktivis yang pernah memimpin KPK, Bambang tentu sangat mengerti cara kerja, prinsip dan SOP di KPK. Lembaga ini bekerja tidak berdasar tekenan publik dan intervensi politik.

Jika memang benar Bambang dan Amien Rais punya bukti kasus korupsi, datang san lapor saja langsung ke KPK. Tidak perlu teriak-teriak di media, seolah-olah sedang berkampanye dan mencari dukungan.

Bekerjalah dalam senyap dengan hasil mantap, sebagaimana falsafah luhur "nggrudug tanpa bala, menang tanpa ngasorake". Apa yang dilakukan Bambang dan Amien Rais adalah cara aktivis jalanan, bukan cara elegan layaknya tokoh panutan.

3. Adu Domba dan Kegaduhan di Tahun Politik

Tahun ini bangsa Indonesia menghadapi tahun politik, yakni Pileg dan Pilpres 2019, yang 23 Agustus kemarin telah memasuki masa kampanye. Suhu politik mulai memanas, persaingan antar kandidat caleg maupun capres tidak jarang menjadi gesekan sosial.

Apa yang dilakukan Bambang Widjojanto dan Amien Rais tentu menambah panas suhu politik dan memperuncing friksi di tengah masyarakat. Publik seharusnya disuguhi diskusi dan perilaku politik yang berkelas, bukan diajak untuk saling curiga, menebar kebencian dan hoax.

Yang lebih parah, pers rilis yang dikeluarkan Bambang berpotensi memecah belah dan mengadu domba antar lembaga penegak hukum. Institusi Polri dan KPK punya pengalaman pahit ketika dibenturkan dalam episode yang dikenal istilah Cicak versus Buaya.

Seharusnya itu jadi pengalaman yang diambil pelajaran, bukan malah menguak luka lama dengan statemen provokatif dan agitatif ala demonstran jalanan. Bambang harusnya tahu betul dampak dari statemen yang dia keluarkan bisa berpotensi munculnya Cicak vs Buaya jilid III.

Sebagai publik figur seharusnya Bambang Widjojanto dan Amien Rais memberi teladan dalam bersikap, menjunjung tinggi public ethics, berpikir wise dan selektif. Namun kenyataannya sekarang, kita dapati sebuah  perilaku politik yang kurang etis dan kurang bermoral, jauh dari kata berkelas dan berkualitas.

Kita akan malu jika membandingkan dengan etika politik yang ditunjukkan para tokoh dan pemimpin dunia seperti Presiden Barack Obama, Recep Tayip Erdogan, Vladimir Putin, termasuk Sang Proklamator Presiden Soekarno serta para politisi pendiri bangsa Indonesia.

Pemilu 2019 bukan ajang menebar kebencian dan hoax. Pilpres 2019 adalah momentum untuk memilih pemimpin yang berkelas dan berkualitas, yang tegas dan berwibawa, yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam mengambil keputusan, yang mencintai dan melindungi rakyatnya dengan tulus ikhlas. 

Pemimpin yang mampu membawa rakyat negeri ini menjadi bangsa yang terhormat dan berdaulat, dihormati dan disegani, negara yang adil dan makmur sebagimana cita-cita seluruh rakyat Indonesia, mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

MARI WUJUDKAN PEMILU 2019 AMAN DAMAI DAN SEJUK

Salam Indonesia Raya

*) Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik