Rabu, 21 Maret 2018

Apakah Perdamaian dalam Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Menggugurkan Tuntutan?



Pertanyaan :
Apakah Perdamaian dalam Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Menggugurkan Tuntutan?
Assalamualaikum, mohon informasinya. Jika terjadi kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal, tetapi pihak keluarga korban telah membuat surat kesepakatan tidak akan menuntut baik perdata/pidana, apakah pihak polisi masih berhak melakukan tindakan penyidikan? Apakah kasus ini akan ditindak lanjut ke tingkat pengadilan? Terima kasih atas informasinya.
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Menurut Pasal 1 angka 24 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.
Kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia termasuk kecelakaan lalu lintas berat (Pasal 229 ayat [4] UU LLAJ). Bagi pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas memiliki kewajiban (Pasal 231 ayat [1] UU LLAJ):
a.    menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya;
b.    memberikan pertolongan kepada korban;
c.    melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan
d.    memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan.
Setiap pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban, akan tetapi tanggung jawab ini tidak berlaku apabila (Pasal 234 ayat [3] UULLAJ):

a.    adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi;
   b.    disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau
c.     disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan
Bagaimana jika pengemudi telah bertanggung jawab dan telah terjadi perdamaian dengan keluarga korban, apakah polisi tetap berhak melakukan penyidikan? Mengenai hal ini kita perlu melihat ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi:
“Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.”
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa walaupun pengemudi telah bertanggung jawab atas kematian korban, tuntutan pidana terhadap dirinya tidak menjadi hilang. Oleh karena itu, kepolisian tetap melakukan penyidikan sesuai hukum acara pidana sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 230 UU LLAJ). Jadi, dalam kasus yang Anda ceritakan, pihak kepolisian tetap akan melakukan penyidikan meskipun ada kesepakatan bahwa keluarga korban tidak akan menuntut secara pidana.
Ancaman sanksi pidana untuk pengemudi kendaraan bermotor penyebab kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia adalah pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000 (Pasal 310 ayat [4] UU LLAJ).

Walaupun pelaku telah bertanggung jawab serta adanya perdamaian dengan keluarga korban tidak menghapuskan tuntutan pidana seperti yang terdapat pada Putusan MA No. 1187 K/Pid/2011. Bahkan dalam Putusan MA No. 2174 K/Pid/2009, terdakwa tetap dikenakan hukuman walaupun telah ada perdamaian dan terdakwa sendiri juga mengalami luka (retak tulang tangan kiri dan tak sadarkan diri) dalam kecelakaan tersebut.
Kendati demikian, pelaku tetap perlu mengusahakan perdamaian dengan keluarga korban karena hal itu dapat dipertimbangkan hakim untuk meringankan hukumannya. Sebaliknya, tidak adanya perdamaian antara pelaku dengan keluarga korban bisa menjadi hal yang memberatkan pelaku. Sebagai contoh, dalam Putusan MA No. 403 K/Pid/2011 antara pelaku dan keluarga korban tidak tercapai perdamaian, serta dalam Putusan MA No. 553 K/ Pid/2012 pelaku tidak memiliki iktikad baik untuk melakukan perdamaian kepada keluarga korban, sehingga menurut majelis hakim tidak adanya perdamaian dijadikan sebagai pertimbangan yang memberatkan kesalahan terdakwa.
Jadi, apabila kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan pelaku telah bertanggung jawab kepada keluarga korban serta terjadi perdamaian, hal tersebut tidak menghapus tuntutan pidana kepada pelaku, sehingga polisi tetap berhak melakukan penyidikan.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:

Sumber : hukumonline.com

Sabtu, 10 Maret 2018

Kebumen Mengalami Krisis Multi Dimensi ; Gerakan Bangkit Kebumen (GBK) Menjadi Keharusan

Kejadian menghebohkan Jum'at (9/3) kemarin, dimana seorang anak tega memenggal kepala ibu kandungnya, di Desa Bocor, Buluspesantren, Kebumen, menghentak kesadaran kita bahwa sesungguhnya Kebumen tercinta tidak sedang baik-baik saja.

Ada kondisi kronis yang setiap saat bisa meledak pada "tubuh" Kabupaten Kebumen. Beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa kabupaten di pesisir selatan Jawa Tengah dalam kondisi "waspada" :

1. Tingginya Angka Bunuh Diri

Dari data yang saya dapat dari Humas Polres Kebumen, pada akhir tahun 2017 saja ada 30 kasus bunuh diri yang terjadi di Kebumen. Berbagai sebab dan latar belakang menjadi penyebab seseorang mengakhiri hidupnya dengan cara konyol, yaitu bunuh diri.

Depresi, keputus-asaan, kelemahan iman dan rendahnya solidaritas sosial menjadi penyebab terjadinya bunuh diri. Tekanan ekonomi, sulitnya mendapatkan lapangan kerja, susahnya membuka usaha dan tidak adanya perhatian yang serius dari pemerintah menjadi faktor eksternal tingginya angka bunuh diri.

2. Tingginya Angka Perceraian

Pengadilan Agama Kabupaten Kebumen merilis, ada 2736 kasus perceraian yang terjadi selama tahun 2017. Artinya dalam sebulan lebih dari 200 pasangan yang bercerai, hitung sendiri dalam sehari ada berapa ?

Perceraian adalah indikator rusaknya pranata sosial, keluarga di masyarakat. Berbagai alasan juga menjadi penyebab suatu pasangan bercerai. Dari penelitian sederhana, ada dua alasan utana pasangan bercerai, pertama alasan ekonomi, kedua perselingkuhan.

Perceraian adalah faktor utama terjadinya keluarga broken home, dimana yang selalu menjadi korban adalah anak2. Anak-anak korban perceraian seringkali tidak mendapatkan pendidikan dan kasih sayang semestinya. Mereka berpotensi terjerumus ke dalam pergaulan bebas.

3. Kabupaten dengan Pengidap HIV AIDS tertinggi di Jawa Tengah

Menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kebumen, Tri Anggorowati, hingga tahun 2017 ada 836 kasus ODHA, tertinggi di Jawa Tengah. Ini belum termasuk mereka yang enggan untuk diperiksa.

Apapun argumentasi nya, tingginya ODHA adalah cerminan masyarakat yang rusak, jauh dari nilai-nilai agama, menjauhkan rahmat dan keberkahan, juga  berpotensi mendatangkan murka Yang Maha Kuasa.

4. Tingginya Angka Kriminalitas

Berita perampokan, pencurian, perampasan, pembunuhan hingga pemerkosaan selalu menghiasi surat kabar di Kebumen, termasuk di grup2 media sosial. Beberapa kali bahkan terjadi perampokan dengan pembunuhan sadis, kemudian pemerkosaan dan pencabulan anak di bawah umur.

Ini artinya Kebumen menjadi daerah rawan untuk ditinggali. Kejahatan setiap saat mengintai masyarakat, apakah mereka yang bepergian malam hari dengan sepeda motor, bahkan yang duduk diam di rumah.

5. Banyak Pejabat Terjerat Kasus Korupsi

Mulai dari Bupati, Sekda, ASN, Anggota DPRD dan rekanan pengusaha di Kebumen saat ini menjadi pesakitan KPK. Bahkan diduga kuat masih akan terus bertambah.

Artinya, selama ini terjadi perampokan secara sistematis dan terorganisir terhadap uang negara, yang seharusnya dibelanjakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

6. Konsisten Menjadi Kabupaten Termiskin

Hingga data terakhir yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Jawa Tengah, Kabupaten Kebumen masih menduduki posisi termiskin nomor 2 prosentase penduduk miskin nya. Dan nomor 4 dari sisi jumlah penduduk terkategori miskin.

Kemiskinan adalah akar dari banyak persoalan, mulai dari kriminalitas, perceraian hingga kerusakan iman.

Ke-6 poin diatas bisa jadi bertambah, ini menunjukkan bahwa Kebumen dalam kondisi sangat memprihatikan. Hanya Tuhan dan masyarakat Kebumen sendiri yang sanggup merubah kondisi ini menjadi lebih baik.

Gerakan kesadaran, semangat kebersamaan, tekad perbaikan yang disebut GBK (Gerakan Bangkit Kebumen) menjadi sangat mendesak untuk dilaksanakan.

Semoga dibawah kepemimpinan KH Drs. Yazid Mahfudz, sebagai penerus kepemimpinan Ir. H. Mohammad Yahya Fuad, SE, sebagai Bupati Kebumen, dapat membawa harapan baru, menuju Kebumen yg lebih baik, lebih sejahtera, kuat dan bermartabat.

Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem
( Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik)
Penggagas GBK - Gerakan Bangkit Kebumen

Senin, 05 Maret 2018

Mental Pengemis Berjiwa Miskin



Seorang sahabat yang tinggal di Australia bercerita tentang pengalamannya, "Suatu sore, sesudah menikmati secangkir capucino di Gloria Jeans Café yang capucino-nya paling enak (menurut saya), kami mampir ke toko roti. Membeli sebatang roti kismis dan minta kepada si mbak penjaga toko roti, untuk dipotongkan, sehingga nanti di rumah gampang, tinggal comot dan makan".

Selesai dipotong dan dibungkus rapi, lalu diserahkan kepada saya. Langsung saya berikan uang lembaran 10 dollar.

Tapi ditolak dengan senyum manis, sambil berucap, ”It's free nothing to pay.” 

“Are you sure?” kata saya.

Gadis remaja yang tugas jualan di sana, menjelaskan, bahwa kalau sudah ditutup, roti tidak boleh lagi dijual. Boleh diberikan kepada siapa yang mau atau diantarkan ke Second Hand Shop untuk orang yang membutuhkan.

Agak tercengang juga saya dengar penjelasannya. Terbayang, kalau di Indonesia, "Wah bisa bangkrut ini, karena orang bakalan menunggu toko tutup supaya dapat yang gratis".

Belum selesai ngobrol dengan si mbak, tiba-tiba ada suami istri, yang juga mau belanja roti. Rupanya mereka tanpa saya sadari sudah mendengar percakapan kami. Kelihatan si pria adalah orang Australia, sedangkan istrinya adalah tipe orang Asia. Si wanita juga minta roti di mbak, tapi di cegah oleh suaminya, sambil berkata,

”No darling, please. We have enough money to buy. Why do we have to pick up a free one? Let’s another people who need it more than us take it."

("Jangan sayang. Kita punya cukup uang untuk membeli. Kenapa kita harus mengambil yang gratis ? Biarkan orang lain yang lebih membutuhkan mengambilnnya".)

Wah... wah, merasa tersindir wajah saya panas… Egoisme saya melonjak ke permukaan, merasa tersindir dengan perkataannya. Dalam hati saya bergumam, ”Hmm saya ini dulu pengusaha tau”.

Tapi, syukur cepat sadar diri, gak sampai terucapkan. Karena orang yang bicara suami ke istrinya, "Masa iya saya tiba-tiba nyelak ditengah tengah?"

Hampir saja saya berbuat kesalahan. Karena toh mereka tidak omongin saya… "Kalau saya merasa tersindir, itu salah saya sendiri".

Hingga menjelang tidur, kata-kata si Suami kepada istrinya masih terngiang-ngiang rasanya, "We have enough money to buy... why do we have to pick up a free one."

Setelah saya renungkan, saya merasakan bahwa kata-kata ini benar. Kalau semua orang yang punyai duit, ikut antri dan dapatkan roti gratis, yang biasanya diantarkan ke Second Hand Shop untuk dibagi bagikan gratis, berarti orang yang sungguh-sungguh membutuhkan tidak bakalan kebagian lagi roti gratis.

Walaupun saya sesungguhnya mau membayar, namun si mbak yang nggak mau terima uang saya. Pelajaran hidup ini tidak mungkin akan saya lupakan.

Kalau kita sanggup beli, jangan ambil yang gratis. Biarlah orang lain yang lebih membutuhkan mendapatkannya.

Sungguh sebuah kepedulian akan sesama yang diterapkan dengan kesungguhan hati.

Kini saya baru tahu, kenapa kalau di club ada kopi gratis, tapi jarang ada yang ambil, mereka lebih suka membeli. Bukan karena gengsi, tetapi terlebih karena rasa peduli mereka pada orang lain, yang mungkin lebih membutuhkan.

Pelajaran yang sungguh sungguh memberikan inspirasi bagi diri saya.

Tuhan sudah memberikan berkah yang cukup untuk kita, tidak perlu lagi kita mengambil bagian berkah yang diperuntukkan bagi orang lain.

Ketika kita mendengar ada program pemerintah untuk membantu orang miskin, apa yang ada dalam benak kitat?

Apa kitat akan ikut bersiasat agar mendapat bagian? Ataukah kitat merekayasa data agar kerabat dan saudara kitat dapat bagian juga?

Atau kita sok jadi pahlawan dengan mengajukan diri sebagai pendamping program, tapi dalam pikiran kita tersimpan niat busuk untuk memperkaya diri sendiri?

Sahabat, kemiskinan bukan untuk dipolitisir dan dieksploitasi. Orang miskin dan kemiskinan adalah ladang amal. Keberadaan orang miskin adalah cara Tuhan untuk menguji sejauh mana kepedulian dan keimanan kitat. "Jangan ngaku beriman jika tetangga kanan kirinya masih ada yang kelaparan".

Sementara kemiskinan adalah mental yang mesti dirubah dan diberantas. Mental minta-minta, mental gratisan, mental pemalas, mental potong kompas, termasuk mental jualan data orang miskin, semua itu adalah Mental Pengemis yang membuat bangsa ini rendah dan terhina, itulah kemiskinan kultural.

Sudah saatnya kitat bangkit dan sadar, tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Menjaga harga diri lebih baik dari pada menjatuhkan kehormatan hanya demi sesuap nasi.

"Maka, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?".

Salam GBK (Gerakan Bangkit Kebumen)
Arief Luqman El Hakiem
- Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik, Social Entrepreneur -

Gerakan Bangkit Kebumen ; Pemimpin Baru Harapan Baru (Surat Terbuka untuk Wakil Bupati Kebumen)


Drs. KH. Yazid Mahfudz, Wakil Bupati Kebumen


Kepada,
Yth. Wakil Bupati Kebumen yang Melaksanakan Tugas-Tugas Bupati (KH. Yazid Mahfud)
Di KEBUMEN

Assalamualaikum, semoga rahmat dan kasih sayang Allah SWT tercurah atas pemimpin yang mengikuti petunjuk...

Gus Yazid yang terhormat,

Sebagai pelanjut dan yang mengemban tanggung jawab memimpin Kebumen selanjutnya, ijinkan saya menyampaikan sebuah gagasan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan untuk Program Pengentasan Kemiskinan yang selama ini dijalankan. Gagasan ini adalah salah satu konsep dari program besar Kebumen yang kami sebut Gerakan Bangkit Kebumen disingkat GBK.

Gagasan ini saya beri judul "Telaah Kritis Diskursus Miskin vs Kemiskinan".

Ibnu Abdil Hakam (Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M) kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Abu Ubaid (Al-Amwâl, hlm. 256) mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak saat itu, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, “Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.”

Khalifah Umar memerintahkan, “Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.”

Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, “Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.”

Khalifah memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.”

Abdul Hamid sekali lagi menyurati Khalifah, “Saya sudah menikahkan semua yang ingin menikah. Namun, di Baitul Mal masih juga banyak uang.”

Jauh sebelumnya, yaitu pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umar bin Khathab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). Jika 1 gram emas saat ini seharga Rp 400 ribu saja, berarti masa itu gaji guru mencapai sekitar Rp 25 juta.

Pada masanya pula, setiap tentara berkuda pernah mendapatkan ghanîmah sebesar 6000 dirham (sekitar Rp 75 juta), dan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian sebesar 2000 dirham (sekitar Rp 25 juta). (Ash-Shinnawi, 2006).

Beberapa hari terakhir ini banyak postingan yang membahas soal kemiskinan. Adanya data yang tidak akurat, bantuan yang tidak tepat sasaran, parameter kemiskinan yang tidak tepat, hingga adanya orang-orang yang mengaku-ngaku miskin, tetapi gaya hidupnya kelihatan seperti orang kaya.

Pemda Kebumen juga menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai program unggulan. Bahkan dalam sebuah dialog antara Bupati Kebumen dengan SIMPUL (Silaturahmi Masyarakat Peduli) Kebumen, tanggal 1 Agustus 2016, di pendopo Rumdin Bupati, topik kemiskinan dijadikan sebagai tema, yaitu "Percepatan penanggulangan kemiskinan di kabupaten Kebumen". Dialog tersebut ternyata hanya berkutat pada masalah data dan hal yang sangat teknis.

Sementara menurut saya masih terjadi kerancuan antara orang miskin dan kemiskinan. Hal ini berdampak pada perdebatan yang tidak penting soal data orang miskin dan kemiskinan.

Sebenarnya yang mau ditanggulangi itu apa atau siapa?

Apakah orang miskin atau kemiskinan?

Apakah orang miskin itu sebuah bencana sehingga perlu ditanggulangi?

Atau kemiskinannya yang perlu ditanggulangi?

Kesalahan konsep dari awal yang menyebabkan diskusi berjalan monoton dan sangat membosankan. Hanya debat soal data orang miskin antara BPJS, BPS dengan pemerintahan desa. Sementara topik utama dialog tidak disinggung sama sekali.

Perlu dilihat secara jernih tentang definisi kemiskinan. Beda antara kemiskinan dengan miskin. Miskin adalah kata sifat sehingga disebut orang miskin. Sedangkan kemiskinan adalah kata benda abstrak, karena ada imbuhan ke-an, yang berarti perihal miskin, atau keadaan/situasi miskin.

Di dalam literatur Islam, ada istilah faqir dan miskin ; adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak memiliki harta atau usaha sama sekali, atau memiliki harta dan usaha tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada tingkat dasar/primer.

Sementara kemiskinan memiliki definisi sendiri. Ada kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, ada juga kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Jika dikaji dari defnisi, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh satu golongan masyarkat karena struktur sosial masyarakat tersebut tidak mampu memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Alfian, Mely G. Tan, Selo Sumardjan, Kemiskinan Struktural Satu Bunga Rampai, 1980, hal 5).

Sedangkan menurut Edi Suharto, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmamuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.

Sedangkan definisi kemiskinan kultural adalah suatu adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata kelas, individualis dan berciri kapitalis. Kultur tersebut mencerminkan satu upaya mengatasi putus asa dan tanpa harapan yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa musthail dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas .

Sedangkan Oscar Lewis mendefinisikan kemiskinan budaya sebagai kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti masalas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.

Pandangan lain mengenai kemiskinan budaya menurut Mudjahirin Thohir adalah ada kaitannya dengan pandangan keliru dalam dimensi keagamaan, yaitu cara pandang jabariyah, di mana keberadaan diri (jatuh miskin) dililihat sebagai takdir bukan karena belum mengoptimalkan usaha. Dari segi sosial, mereka menjustifikasi diri sebagai orang yang trah wadahnya kecil. Dari segi budaya, mereka “menikmati kemiskinannya itu”.

Suka menghibur diri seperti: “Luwih becik mikul dawet kanti rengeng-rengeng, tinimbang numpak Mercy nanging mbrebes mili”; atau menyatakan “Dunyo kuwi nerakane wong Islam, surgane wong kafir”. Suatu pensikapan yang berbeda dengan kaum pemenang.

Dari sini nampak kelas bahwa orang miskin dan kemiskinan akan selalu ada. Namun berbeda cara menanggulanginya. Untuk membantu orang miskin adalah dengan mencukupi kebutuhan primernya/dasar (sandang, pangan dan papan). Dalam Islam ada syariat tentang zakat, infaq dan sedekah untuk penyelesaian secara sosial horizontal. Secara struktural, pemerintah berkewajiban menjamin kehidupan yang kayak untuk faqir, miskin, dan anak-anak terlantar. Seperti yang dilakukan pada masa kekhilafan Islam di atas.

Sementara kemiskinan berkaitan erat dengan mental dan sistem. Selama ini, program yang ada bukan untuk mengentaskan kemiskinan tetapi lebih tepat sebagai program membantu orang miskin. Bantuan-bantuan berupa KIS, KIP, pemberian bantuan rumah layak huni, dan sebagainya tidak bisa mengentaskan kemiskinan tapi lebih hanya membantu orang miskin.

Masyarakat penerima program tersebut hidupnya tetap dan tidak berubah. Program kemiskinan yang efektif harus bisa merubah orang miskin menjadi tidak miskin, yang tidak punya penghasilan menjadi punya penghasilan, yang tidak bisa mencukupi kebutuhan menjadi bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.

Saya mencoba merumuskan Postulat Pengentasan Kemiskinan dalam 5 poin sebagai tahapan langkah.

1. Revolusi Mental

Untuk menanggulangi kemiskinan, pemerintah harus melakukan revolusi mental terlebih dahulu pada masyarakatnya. Masyarakat harus diubah pola pikirnya, ditingkatkan etos kerjanya, digali kreatifitasnya dan diperkuat daya juangnya. Tanamkan keyakinan pada masyarakat bahwa mereka mampu menciptakan lapangan kerja dan mandiri. Ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan soft skill /motivasi yang bersifat mencerahkan.

2. Pelatihan Life Skill

Membekali mereka dengan ketrampilan dan kecakapan hidup. Kemampuan menggali potensi-potensi bisnis, kemampuan manajerial, pemasaran dan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien.

Termasuk di dalamnya adalah membekali para pemuda agar siap memasuki dunia kerja dengan menggairahkan BLK (Balai Latihan Kerja) dan lembaga-lembaga kursus.

3. Modal, Alat Produksi dan Akses Pasar

Memberi akses permodalan yang memadai dan terjangkau bagi masyarakat yang tergerak untuk memulai membuka usaha atau ingin mengembangkan usahanya.

Strategi pemasaran dengan membuka sentra-sentra atau ruang publik juga sangat penting, disamping membantu penetrasi pasar hingga luar daerah bahkan luar negeri.

4. Advokasi dan Perlindungan UKM

Advokasi dan perlindungan terhadap usaha-usaha kecil menengah dari sisi pasar dan regulasi. Kemudahan perijinan, kelengkapan dokumen dan pembinaan dari sisi aspek hukum.

5. Proyek Padat Karya ( Swa-Kelola)

Membuka sebanyak-banyaknya lapangan kerja dengan program-program padat karya dan memperbanyak proyek swa-kelola dengan mengutamakan tenaga kerja lokal.

Kesimpulannya, pemerintah daerah kabupaten Kebumen perlu merancang satu sistem yeng memungkinkan orang-orang miskin mengubah keadaan hidupnya dengan kemampuan nya sendiri. Perlu ada program yang nyata dan efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Salam Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem
(Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik, Social Entrepreneur)

Penggagas GBK (Gerakan Bangkit Kebumen)