Senin, 05 Maret 2018

Gerakan Bangkit Kebumen ; Pemimpin Baru Harapan Baru (Surat Terbuka untuk Wakil Bupati Kebumen)


Drs. KH. Yazid Mahfudz, Wakil Bupati Kebumen


Kepada,
Yth. Wakil Bupati Kebumen yang Melaksanakan Tugas-Tugas Bupati (KH. Yazid Mahfud)
Di KEBUMEN

Assalamualaikum, semoga rahmat dan kasih sayang Allah SWT tercurah atas pemimpin yang mengikuti petunjuk...

Gus Yazid yang terhormat,

Sebagai pelanjut dan yang mengemban tanggung jawab memimpin Kebumen selanjutnya, ijinkan saya menyampaikan sebuah gagasan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan untuk Program Pengentasan Kemiskinan yang selama ini dijalankan. Gagasan ini adalah salah satu konsep dari program besar Kebumen yang kami sebut Gerakan Bangkit Kebumen disingkat GBK.

Gagasan ini saya beri judul "Telaah Kritis Diskursus Miskin vs Kemiskinan".

Ibnu Abdil Hakam (Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat, berkata, “Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Al-Qaradhawi, 1995).

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M) kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Abu Ubaid (Al-Amwâl, hlm. 256) mengisahkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, Gubernur Irak saat itu, agar membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat balasannya, Abdul Hamid berkata, “Saya sudah membayarkan semua gaji dan hak mereka. Namun, di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.”

Khalifah Umar memerintahkan, “Carilah orang yang dililit utang tetapi tidak boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya.”

Abdul Hamid kembali menyurati Khalifah Umar, “Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi di Baitul Mal masih banyak uang.”

Khalifah memerintahkan lagi, “Kalau ada orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah, nikahkan dia dan bayarlah maharnya.”

Abdul Hamid sekali lagi menyurati Khalifah, “Saya sudah menikahkan semua yang ingin menikah. Namun, di Baitul Mal masih juga banyak uang.”

Jauh sebelumnya, yaitu pada masa Khulafaur Rasyidin, Khalifah Umar bin Khathab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). Jika 1 gram emas saat ini seharga Rp 400 ribu saja, berarti masa itu gaji guru mencapai sekitar Rp 25 juta.

Pada masanya pula, setiap tentara berkuda pernah mendapatkan ghanîmah sebesar 6000 dirham (sekitar Rp 75 juta), dan masing-masing tentara infanteri mendapat bagian sebesar 2000 dirham (sekitar Rp 25 juta). (Ash-Shinnawi, 2006).

Beberapa hari terakhir ini banyak postingan yang membahas soal kemiskinan. Adanya data yang tidak akurat, bantuan yang tidak tepat sasaran, parameter kemiskinan yang tidak tepat, hingga adanya orang-orang yang mengaku-ngaku miskin, tetapi gaya hidupnya kelihatan seperti orang kaya.

Pemda Kebumen juga menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai program unggulan. Bahkan dalam sebuah dialog antara Bupati Kebumen dengan SIMPUL (Silaturahmi Masyarakat Peduli) Kebumen, tanggal 1 Agustus 2016, di pendopo Rumdin Bupati, topik kemiskinan dijadikan sebagai tema, yaitu "Percepatan penanggulangan kemiskinan di kabupaten Kebumen". Dialog tersebut ternyata hanya berkutat pada masalah data dan hal yang sangat teknis.

Sementara menurut saya masih terjadi kerancuan antara orang miskin dan kemiskinan. Hal ini berdampak pada perdebatan yang tidak penting soal data orang miskin dan kemiskinan.

Sebenarnya yang mau ditanggulangi itu apa atau siapa?

Apakah orang miskin atau kemiskinan?

Apakah orang miskin itu sebuah bencana sehingga perlu ditanggulangi?

Atau kemiskinannya yang perlu ditanggulangi?

Kesalahan konsep dari awal yang menyebabkan diskusi berjalan monoton dan sangat membosankan. Hanya debat soal data orang miskin antara BPJS, BPS dengan pemerintahan desa. Sementara topik utama dialog tidak disinggung sama sekali.

Perlu dilihat secara jernih tentang definisi kemiskinan. Beda antara kemiskinan dengan miskin. Miskin adalah kata sifat sehingga disebut orang miskin. Sedangkan kemiskinan adalah kata benda abstrak, karena ada imbuhan ke-an, yang berarti perihal miskin, atau keadaan/situasi miskin.

Di dalam literatur Islam, ada istilah faqir dan miskin ; adalah suatu kondisi dimana seseorang tidak memiliki harta atau usaha sama sekali, atau memiliki harta dan usaha tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pada tingkat dasar/primer.

Sementara kemiskinan memiliki definisi sendiri. Ada kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, ada juga kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Jika dikaji dari defnisi, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh satu golongan masyarkat karena struktur sosial masyarakat tersebut tidak mampu memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka (Alfian, Mely G. Tan, Selo Sumardjan, Kemiskinan Struktural Satu Bunga Rampai, 1980, hal 5).

Sedangkan menurut Edi Suharto, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terjadi bukan dikarenakan ketidakmamuan si miskin untuk bekerja (malas), melainkan karena ketidakmampuan sistem dan struktur sosial dalam menyediakan kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin dapat bekerja.

Sedangkan definisi kemiskinan kultural adalah suatu adaptasi atau penyesuaian diri dan sekaligus merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka dalam masyarakat yang berstrata kelas, individualis dan berciri kapitalis. Kultur tersebut mencerminkan satu upaya mengatasi putus asa dan tanpa harapan yang merupakan perwujudan dari kesadaran bahwa mereka merasa musthail dapat meraih sukses dalam kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan masyarakat luas .

Sedangkan Oscar Lewis mendefinisikan kemiskinan budaya sebagai kemiskinan yang muncul sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti masalas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja dan sebagainya.

Pandangan lain mengenai kemiskinan budaya menurut Mudjahirin Thohir adalah ada kaitannya dengan pandangan keliru dalam dimensi keagamaan, yaitu cara pandang jabariyah, di mana keberadaan diri (jatuh miskin) dililihat sebagai takdir bukan karena belum mengoptimalkan usaha. Dari segi sosial, mereka menjustifikasi diri sebagai orang yang trah wadahnya kecil. Dari segi budaya, mereka “menikmati kemiskinannya itu”.

Suka menghibur diri seperti: “Luwih becik mikul dawet kanti rengeng-rengeng, tinimbang numpak Mercy nanging mbrebes mili”; atau menyatakan “Dunyo kuwi nerakane wong Islam, surgane wong kafir”. Suatu pensikapan yang berbeda dengan kaum pemenang.

Dari sini nampak kelas bahwa orang miskin dan kemiskinan akan selalu ada. Namun berbeda cara menanggulanginya. Untuk membantu orang miskin adalah dengan mencukupi kebutuhan primernya/dasar (sandang, pangan dan papan). Dalam Islam ada syariat tentang zakat, infaq dan sedekah untuk penyelesaian secara sosial horizontal. Secara struktural, pemerintah berkewajiban menjamin kehidupan yang kayak untuk faqir, miskin, dan anak-anak terlantar. Seperti yang dilakukan pada masa kekhilafan Islam di atas.

Sementara kemiskinan berkaitan erat dengan mental dan sistem. Selama ini, program yang ada bukan untuk mengentaskan kemiskinan tetapi lebih tepat sebagai program membantu orang miskin. Bantuan-bantuan berupa KIS, KIP, pemberian bantuan rumah layak huni, dan sebagainya tidak bisa mengentaskan kemiskinan tapi lebih hanya membantu orang miskin.

Masyarakat penerima program tersebut hidupnya tetap dan tidak berubah. Program kemiskinan yang efektif harus bisa merubah orang miskin menjadi tidak miskin, yang tidak punya penghasilan menjadi punya penghasilan, yang tidak bisa mencukupi kebutuhan menjadi bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.

Saya mencoba merumuskan Postulat Pengentasan Kemiskinan dalam 5 poin sebagai tahapan langkah.

1. Revolusi Mental

Untuk menanggulangi kemiskinan, pemerintah harus melakukan revolusi mental terlebih dahulu pada masyarakatnya. Masyarakat harus diubah pola pikirnya, ditingkatkan etos kerjanya, digali kreatifitasnya dan diperkuat daya juangnya. Tanamkan keyakinan pada masyarakat bahwa mereka mampu menciptakan lapangan kerja dan mandiri. Ini bisa dilakukan dengan pelatihan-pelatihan soft skill /motivasi yang bersifat mencerahkan.

2. Pelatihan Life Skill

Membekali mereka dengan ketrampilan dan kecakapan hidup. Kemampuan menggali potensi-potensi bisnis, kemampuan manajerial, pemasaran dan pengelolaan keuangan yang efektif dan efisien.

Termasuk di dalamnya adalah membekali para pemuda agar siap memasuki dunia kerja dengan menggairahkan BLK (Balai Latihan Kerja) dan lembaga-lembaga kursus.

3. Modal, Alat Produksi dan Akses Pasar

Memberi akses permodalan yang memadai dan terjangkau bagi masyarakat yang tergerak untuk memulai membuka usaha atau ingin mengembangkan usahanya.

Strategi pemasaran dengan membuka sentra-sentra atau ruang publik juga sangat penting, disamping membantu penetrasi pasar hingga luar daerah bahkan luar negeri.

4. Advokasi dan Perlindungan UKM

Advokasi dan perlindungan terhadap usaha-usaha kecil menengah dari sisi pasar dan regulasi. Kemudahan perijinan, kelengkapan dokumen dan pembinaan dari sisi aspek hukum.

5. Proyek Padat Karya ( Swa-Kelola)

Membuka sebanyak-banyaknya lapangan kerja dengan program-program padat karya dan memperbanyak proyek swa-kelola dengan mengutamakan tenaga kerja lokal.

Kesimpulannya, pemerintah daerah kabupaten Kebumen perlu merancang satu sistem yeng memungkinkan orang-orang miskin mengubah keadaan hidupnya dengan kemampuan nya sendiri. Perlu ada program yang nyata dan efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

Salam Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem
(Pegiat Media dan Pengamat Kebijakan Publik, Social Entrepreneur)

Penggagas GBK (Gerakan Bangkit Kebumen)













Tidak ada komentar:

Posting Komentar