Jumat, 27 Juli 2018

KEBUMEN YANG MAKIN MENUA (Refleksi 389 Tahun Kebumen, 21 Agustus 1629 - 2018)

Plt Bupati Kebumen, KH Drs Yazid Mahfudz

Tahun ini, 2018, Kabupaten Kebumen akan memperingati hari jadinya yang ke 389. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang diperingati tiap tanggal 1 Januari, hari jadi kota yang berjuluk Kebumen Beriman ini untuk pertama kalinya diperingati pada tanggal 21 Agustus.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, dikaji dari aspek sejarah, sosial budaya hingga pertimbangan politik, akhirnya kalangan eksekutif dan legislatif Kebumen menyepakati perubahan hari jadi, dari sebelumnya 1 Januari 1936 menjadi 21 Agustus 1629. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Kebumen yang diundangkan awal tahun 2018 ini.
Penetapan 21 Agustus 1629 sebagai Hari Jadi Kebumen didasari atas peristiwa besar dan bersejarah dimana Sultan Agung Mataram melakukan penyerbuan besar-besaran kepada VOC belanda di Batavia (Jakarta). Kebumen yang waktu itu bernama Pandjer menjadi basis strategis untuk penggalangan tentara dan dukungan logistik.
Adalah Ki Ageng Bagus Bodronolo yang menjadi tokoh penting dalam perekrutan ribuan tentara asal Pandjer dan sekitarnya untuk memperkuat pasukan Mataram. Ki Brodronolo juga berjasa besar menghimpun logistik dari rakyat Pandjer sebagai bekal para prajurit.
Dalam barisan tentara Mataram, Ki Bodronolo lantas diangkat sebagai Senopati yang bertanggung jawab atas logistik. Di kemudian hari, Ki Bodronolo diangkat sebagai Ki Gede Pandjer Roma I berkat jasa-jasanya terhadap Mataram.
Pertimbangan utama Pemkab Kebumen mengambil momen heroik tersebut tentu untuk membangkitkan jiwa patriotisme dan nasionalisme masyarakat Kebumen, terutama generasi mudanya. Di tengah kondisi sosial politik Kebumen yang memprihatinkan, momen hari jadi ini menjadi sangat penting dan strategis.
Ada dua isu besar yang menonjol di Kebumen tahun 2018 ini. Pertama adalah krisis kepemimpinan, dimana jajaran pejabat tinggi Kebumen banyak yang terjerat kasus korupsi dan menjadi tahanan KPK. kedua adalah rencana Pembangunan Kawasan Industri Kebumen (KIK) sebagai solusi mengejar ketertinggalan dari kabupaten lain di Jawa Tengah.
Korupsi menjadi penyakit kronis yang menjangkiti sebagian besar pejabat birokrasi Kebumen, baik kalangan eksekutif maupun legislatif. Ini menjadi salah satu akar masalah kemiskinan dan keterbelakangan Kebumen.
Rencana pembangunan KIK juga bukan tanpa hambatan. Kekurangsigapan jajaran birokrasi Kebumen menyiapkan infrastruktur regulasi keberadaan KIK, akan menjadi batu sandungan serius terwujudnya mimpi besar ini.
Belum lagi aspek sejarah, sosial budaya, dampak lingkungan dan ancaman pertahanan keamanan tidak dikaji secara matang. Pesisir selatan Kecamatan Petanahan yang diproyeksikan sebagai kawasan industri adalah daerah bumper yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.
Pada masa penjajahan, pantai Petanahan pernah dijadikan tempat pendaratan kapal-kapal VOC yang mengangkut tentara Belanda untuk menghancurkan lumbung pangan dan gudang logistik prajurit Mataram.
Namun berkat kegigihan tentara Pandjer yang dipimpin oleh Ki Ageng Bodronolo, pasukan VOC dapat dihalau dan dipukul mundur dari pesisir Petanahan dan Urut Sewu. Momen hebat tersebut terjadi pada tanggal 17 Mei 1643. Tanggal tersebut juga sempat dipertimbangkan sebagai hari jadi Kebumen.
Jadi, kawasan pesisir selatan Kebumen yang membentang dari Kecamatan Ayah di barat sampai Kecamatan Mirit di timur sangat rawan untuk pendaratan kapal-kapal asing termasuk para penjajah.
Namun apapun itu, semua kembali pada para penguasa Kebumen yang memiliki kewenangan memutuskan. Kami masyarakat hanya berkewajiban mengingatkan dan meluruskan.
Semoga dengan momentum Hari Jadi Kebumen yang ke 389 dan meneladani patriotisme para prajurit Pandjer dibawah Ki Ageng Bodronolo, masyarakat Kebumen terutama para pejabatnya lebih bijak dan kesatria.
Salam Bhumi Tirta Praja Mukti
Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem 
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Minggu, 22 Juli 2018

Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik

Praduga tersebut selanjutnya berhenti ketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian?

Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah

Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke-11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.

Di dalam sistem peradilan pidana ( criminal justice system /cjs) [1] berdasarkan sistem hukum Common Law (sistem adversarial/ sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).

Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process of law. Friedman(1994) menegaskan, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau, [2] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Di sektor kesehatan dan ketenagakerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”.

Bahkan, prinsip tersebut telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan ( the right of non-self incrimination ), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan ( the right to remain silent ).

Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa. [3] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof.Andi Hamzah telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) penyidik dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian.

Akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat, sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan ke muka persidangan. [4] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.

Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda.

Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif (masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.

Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah

Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel. Karena hak ini tidak termasuk ” non-derogable rights ” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004) dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Rumusan kalimat di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragraf 2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.

Kovenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ” proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi delapan hak, yaitu hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan, hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum; hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda; hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan; hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu; hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan; hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan; hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

Sejalan dengan Kovenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai dipenuhi. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.

Perkembangan tafsir di Belanda dan Perancis

Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000, tertanggal 31 Mei) ternyata lebih progresif dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981). HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.

Pasal 1. butir II HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”. [5] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis menegaskan: ” Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established.” (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).

Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tersebut, sebagaimana disebutkan: “Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.

Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansi memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi (Braithwaite, 1989). [6]

Berkaitan dengan pemaknaan tersebut, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil.

Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tersebut menganut paradigma individualistik [7] yang melindungi hak dan kepentingan pelaku kejahatan ( offender-based protection ) dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan itu. [8]

Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tersebut tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.

Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitu pula, di Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu –masyarakat demokratis.

Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ” due process of law ”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia.

Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip itu mengandung sifat "contradictio in terminis" karena selain mengandung prinsip ” fair and impartial trial ” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ” unfair dan partial trial ” terhadap pihak korban kejahatan.

Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.

Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah

Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak individu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.

Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran asas praduga tak bersalah, dan prinsip ” due process of law ” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tersebut, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht” [9] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.

Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut di atas adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding.

Praduga tersebut selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.

Asas praduga tak bersalah seharusnya berbunyi: ”seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan sebaliknya”
Penegasan asas praduga tak bersalah ini juga terkait dengan pendapat Cooter dan Ulen, yang membandingkan bagaimana sistem hukum ”Common Law” dengan sistem hukum ”Civil Law” menempatkan standar pembuktian. Dikatakannya bahwa, sistem hukum yang pertama menempatkan standar yang tinggi untuk pembuktian, sedangkan sistem hukum kedua tampak moderat dalam hal tersebut.

Standar yang tinggi dimaksud tampak jelas dari pandangan, menuntut seseorang yang tidak bersalah sangat buruk tampaknya dibandingkan dengan kegagalan menuntut seseorang yang bersalah; atau dengan adagium yang terkenal, ”lebih baik seratus orang yang bersalah dibebaskan dari pada seseorang yang tidak bersalah dihukum”.

Standar tinggi sistem pembuktian tersebut justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan tersangka/terdakwa.

Sebaliknya sistem hukum kedua (Civil Law), berpandangan prinsipnya tersangka/terdakwa sudah dinyatakan bersalah kecuali dibuktikan sebaliknya. Rasio dari pandangan tersebut adalah negara (jaksa penuntut umum) tidak akan membawa seseorang tersangka/terdakwa ke hadapan pengadilan kecuali telah yakin akan kesalahan mereka.

Secara lebih jelas, dikatakannya, ” The rationale for the presumption of guilt is that the state would not bring charges unless it were certain of the defendant’s guilt. In this approach, the prosecutor helps strike the balance between convicting the innocent and failing to convict the guilty. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa, ”The Court acknowledge its confidence in the prosecutor by proceeding under the a presumption that the prosecutor was right unless the defendant prove otherwise”. [10]

Berangkat dari pendapat dan pandangan kedua sistem hukum tersebut di atas, maka rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah yang disarankan penulis di atas masuk akal, proporsional, serta sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini. [11]

Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan, selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 ( Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. UU tersebut sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain. [12]

Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan itu, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius didakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6 (enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan tersangka atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tersebut kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya. [13]

Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang dirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Selain itu juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Prof. Romli Atmasasmita,
Pakar Hukum Pidana dan Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran

[1] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “ Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].

[2] Lawrence M.Friedman, “Total Justice”; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81

[3] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003; p.30

[4] ibid
[5] Catherine Elliot, “The French Criminal Law.; 2001;p.11-12

[6] John Braithwaite,di dalam karyanya, ”Crime, Shame and Reintegration” (1989) menyebutkan antara lain: “stigmatization is disintegrative shaming in which no effort is made to reconcile the offender with the community. The offender is outcast, her deviance is allowed to become a master status, degradation ceremonies are not followed by ceremonies to decertify deviance”(page 101).

[7] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan

[8] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.

[9] J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, 2003:dan Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.

[10] Robert Cooter & Thomas Ulen, ”An Introduction of Law and Economics; Third Edition, Addison-Wesley; 2000; page 431

[11] Konsep Keadilan Aristoteles, yang menerangkan kesetaraan absolut, antara “damage” dan “compensation”, yang disebut olehnya sebagai “Commutative Justice”; dan kesetaraan relatif antara ”reward and punishment”, sebagai ”Distributive Justice”.(Dikutip dari, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch,and Dabin”; Harvard University Press; 1950; page 74).

[12] P.J.P.Tak, op.cit, p.21
[13] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87.

Jumat, 20 Juli 2018

AKAR MASALAH KEMISKINAN DI KEBUMEN ADALAH BIROKRASI YANG BOBROK DAN KORUP

Menimbang Kembali Rencana Pembangunan Kawasan Industri Kebumen - KIK (3)
Berbagai argumen normatif seperti kemiskinan dan tingginya angka pengangguran di Kebumen dijadikan alasan pembenaran untuk memaksakan pembangunan Kawasan Industri Kebumen (KIK) di pesisir selatan Petanahan. Menurut saya akar masalah kemiskinan dan keterbelakangan Kabupaten Kebumen bukan tidak adanya industri, namun lebih disebabkan Birokrasi Kebumen yang Bobrok dan Korup.

Bahkan saya berani mengatakan, Pemkab Kebumen hingga saat ini banyak dihuni oknum penjahat dan pengkhianat bermental pengemis yang tega merampok uang negara demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Mereka para pembual dengan program omong kosong yang tidak fundamental dan substansial.
Ada yang mau mendebat, marah atau tersinggung dengan statemen saya. Silakan kita gelar data dan fakta. Saya menulis ini tentu punya argumen, dan siap bertanggung jawab dengan pernyataan saya.
Ada 2 alasan, kenapa saya berani menyimpulkan bahwa akar masalah kemiskinan di Kebumen adalah Birokrasi yang Bobrok, Korup, Pembual dan Omong Kosong.
1. Riset Pribadi
Saya telah melakukan sebuah penelitian investigasi beresiko tinggi yang melibatkan emosi dan reputasi. Saya memilih observasi partisipasi sebagai metode pengumpulan data dimana peneliti terlibat langsung secara fisik dan emosi dalam sebuah kasus yang hendak diungkap.
Sahabat Netizens Kebumen tentu masih ingat kasus Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa Setrojenar, Mei lalu. Apa dikiranya saya mengkuti seleksi tersebut semata-mata karena saya ingin menjadi Sekdes atau Carik ?
Anda salah besar ! Saya menyisipkan sebuah misi pembuktian untuk menguji hipotesa saya bahwa Akar Masalah Kemiskinan di Kebumen adalah Birokrasi yang Bobrok dan Korup dari pucuk pimpinan hingga paling bawah, yaitu birokrasi desa.
Saya mengmbil resiko, jika lolos dan jadi Carik, maka saya harus fokus dan meninggalkan sebagian besar aktifitas dan penghidupan saya yang lain. Termasuk jika ada yang memanggil dengan singkatan jabatan saya, RIKKK !
Selama ini beredar rumor bahwa untuk pengangkatan perangkat desa (termasuk mutasi jabatan di tingkat OPD) penuh kolusi dan konspirasi. Ratusan juta rupiah uang beredar dalam proses seleksi, rotasi, mutasi dan promosi pejabat. Trik dan intrik ikut mewarnai dalam setiap prosesnya.
Ternyata semua itu benar dan valid. Dalam kasus seleksi perangkat Desa Setrojenar, untuk jabatan Carik ada 9 peserta, hampir semua sarjana dan anak kuliahan semester akhir. Namun yang terpilih adalah ibu-ibu lulusan SMK yang jauh dari sebutan berwawasan dan berpengalaman. Tanpa kompetensi.
Jajaran diatasnya juga bobrok dan pembual. Saya meneruskan riset ini dengan mengirim Somasi lengkap tembusan ke Camat, Bagian Hukum, Bagian Tapem, Dispermades, Inspektorat, Bupati hingga Pimpinan DPRD up Komisi A.
Apa hasilnya ? NOL BESAR ! Hanya BUALAN DAN OMONG KOSONG !
Katanya dibentuk Tim Verifikasi, saya juga di-BAP, tapi semua hanya formalitas dan dagelan yang tidak lucu. Jika saya saja diperlakukan seperti ini, bagaimana orang lain dalam kasus yang sama ? Jika sesuatu yang sudah menjadi atensi publik saja mereka masih berani bermain-main, bagaimana untuk kasus yang masih tersimpan rapi.
Kasus seperti saya mungkin banyak terjadi dan dialami teman-teman di daesa lain. Anda semua renungkan, jika sebuah jabatan diraih dengan cara tidak benar, melalui cara kolusi dan konspirasi, maka semua harta yang didapatkan tidak benar juga. Gaji dan rizki yang diberikan kepada anak istri adalah haram dan najis. Seumur Anda menjabat telah memasukan bara api neraka ke dalam perut keluarga Anda.
Tidak berkah. Dampakya pada perilaku Anda sebagai pejabat dan anak keturunan, serta yang lebih luas program pembangunan yang dijalankan tidak akan pernah berhasil. Ujungnya Kebumen tetap miskin dan terbelakang.
2. Keberadaan KPK dan Fakta Persidangan Tipikor
Argumen kedua, kenapa saya bilang Birokrasi Kebumen Bobrok dan Korup adalah keberadaan penyidik KPK yang hampir 2 tahun betah mengobrak-abrik ruang-ruang kantor pemerintahan. Ini adalah rekor, sejak adanya OTT KPK untuk kasus suap proyek Dikpora, 2016 lalu, hingga saat ini sudah ada 3 kloter dengan 9 tersangka. Temuan melebar hingga pada kasus lain yang merupakan puncak unung es dari korupnya briokrasi Kebumen.
Fakta persidangan Tipikor hari-hari terakhir ini membelalakan mata kita, bahwa selama ini Kebumen dikelola oleh para penjahat dan perampok yang berkonspirasi dalam setiap proyek pembangunan di Kebumen.
Setiap lini seolah-olah mengambil kesempatan untuk bisa merebut kue APBD maupun APBN untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Ketegasan dan kemarahan mereka kepada bawahan nampak hanya akting kacangan yang ujung-ujungnya komisi dan berharap dapat bagian.
Ketika pejabat, apakah itu Camat, OPD, wakil rakyat, datang ke satu wilayah dengan dalih pemeriksaan proyek, berkas dokumen atau laporan, semua berakhir dengan amplop dan salaman. Kaya pengemis saja, cuma bedanya penampilan Anda rapi dan wangi.
Mending pengemis, hanya dengan recehan, dia akan tanpa henti membalas kita dengan barisan doa yang dia ucapkan.
Nah, untuk proyek sekelas raskin, BLT, BLSM, KIS, Bedah Rumah, Pasar dan Rumah Sakit saja penuh dengan penyimpangan, bagaimana jadinnya jika Kebumen membangun proyek Kawasan Industri dengan dana triliunan rupiah ?
Ga kebayang deh ! Siapa yang untung besar, siapa yang tetap miskin dan lapar !
Namun, dari semua itu saya percaya, masih ada pejabat hingga perangkat desa yang baik, jujur dan tulus mengabdi. Tapi jumlahnya sedikit dan tidak mampu berbuat banyak. Semoga Allah SWT memberi mereka kekuatan untuk menjadi pelopor gerakan bersih-bersih Kebumen yang sudah dimotori KPK.
Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Jumat, 13 Juli 2018

Video Viral Polisi dan Arogansi Masyarakat Sipil

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa"

Dua hari ini beredar video di medsos  dimana seorang pria memakai kaos oranye bertuliskan polisi pada punggungnya sedang menginterogasi dan menendang seseorang di sebuah minimarket. Seperti biasa, tanpa konfirmasi dan klarifikasi, masyarakat Netizens langsung berkomentar yang sebagian besar mem-bully dan mencaci.

Berbagai situs berita dan media mainstream juga berlomba-lomba menulis berita kejadian tersebut dengan frame dan motif tertentu, sesuai misinya. Rata-rata menyudutkan dan menyalahkan aksi pria tersebut. Menganggap arogan, tidak berprikemanusiaan dan kejam serta julukan-julukan negatif lainnya.

Tidak ada asap tanpa ada api, tidak ada akibat tanpa ada sebab. Cobalah luangkan waktu sejenak barang 5 menit, baca tulisan ini dengan kepala dingin, setelah itu silakan Anda beropini.

Biar adil, baca juga pengakuan dari pria berkaos oranye di dalam rekaman video yang disampaikan melalui komunikasi WhatsApp. Ketika dikonfirmasi, yang bersangkutan secara ksatria mengaku bahwa itu dirinya, seorang perwira polisi berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi, berdinas di Kepolisian Daerah Kepulauan Bangka Belitung.

AKBP YS : Izin Dan video tadi kronologisnya aku lagi di rumah dapat telp dari toko pada pukul 19.00 wib ada orang masuk toko pura2 belanja berombongan berjumlah 7 org. 6  masuk toko dan 1  menunggu dimobil avanzah. 3 ketangkap ( 2 ibu2 dan 1 anak 14 thn. 4 org melarikan diri pakai mobil avanzah. Kasus sdh dilaporkan ke polres pkp.

AKBP YS‬: Aku terpancing emosi ...dia org rame2 maling ditanya yg ktangkap dak tau semua

AKBP YS ‬: Ibu itu ditanya dak tau semua ktp dak ada, tempat tinggal dak ada ditanya 4 temanya yg lari dak tau

AKBP YS‬: Sdh lah saya manusia biasa...masak di maling rame2 masuk toko dan yg ketangkap oleh saya 3 org...ditanya ktp, tempat tnggal, teman yg lari di jawab semua dak tau.
Terus ada org dak punya hati nurani yg disorot salahnya saja. Coba kalau rumahnya kemasukan maling kayak begitu.

Sampai disini kita mulai tahu duduk perkaranya. Bahwa yang menginterogasi perwira polisi, yang ditendang adalah kawanan sindikat pencuri yang terbiasa beraksi ramai-ramai. Yang jadi sasaran pencurian saat itu adalah minimarket milik perwira polisi tersebut.

Sebagai manusia saya bisa memahami apa yang dilakukan AKBP YS, meski tidak membenarkan. Sekali lagi, bisa mengerti tapi tidak membenarkan !

Sekarang saya bertanya, siapa yang di-bully dan siapa yang dibela oleh para Netizen ?

Pantaskah Netizens membela para pelaku kejahatan yang jelas-jelas terbukti melakukan pencurian ?

Jika Netizens menjawab, mestinya dibawa di kantor polisi dan diadili.

Baiklah saya sodorkan kepada Anda semua data dan fakta. Apa yang masyarakat lakukan ketika ada pencuri, begal, jambret yang tertangkap basah melakukan aksinya. Ketik saja di Google "PENCURI DIBAKAR", akan Anda temukan ratusan aksi main hakim sendiri secara sadis terhadap pelaku pencurian.

Di Madura pencuri dibakar, di Probolinggo pencuri motor dibakar, di Pati pencuri di hajar hingga babak belur, bahkan kita semua masih ingat, ketika seorang pria dituduh mencuri amplifier dibakar massa, ternyata ketahui dia tidak mencuri.

Dalam kasus diatas siapa yang akan Anda bully dan siapa yang akan Anda bela ?

Siapa yang lebih sadis dan siapa yang arogan ?

Ketika satu oknum polisi berbuat yang menurut masyarakat tidak pantas langsung beramai-ramai diserang institusi nya. Padahal masih banyak anggota polisi baik dan mengayomi. Lantas apakah kita boleh menyerang bangsa kita sendiri ketika ada sekelompok masyarakat yang main hakim sendiri hingga menyebabkan kematian ?

Polisi itu manusia bukan malaikat bukan robot, dia punya rasa punya hati. Masyarakat jangan berekspektasi terlalu tinggi. Para polisi itu juga anak dari ibu bapaknya, suami dari istrinya dan ayah dari anak-anaknya. Sisi manusianya juga akan muncul ketika keluarga, harta dan kehormatannya diganggu. Sama seperti kebanyakan manusia lainnya.

Dalam kasus AKBP YS, saya berdiri membela Institusi Polri dan siap berada di belakang beliau untuk menjawab semua tuduhan dan bully-an...!

Para kawanan pencuri, pencopet, begal, jambret dan kejahatan jalanan memang harus dihabisi tanpa kompromi.

Siapapun yang membela penjahat adalah penjahat. Wanita dan anak-anak seringkali digunakan dalam modus operandi kejahatan. Mereka adalah korban memang, namun ketika mereka membela penjahat maka mereka juga harus ditumpas. Sindikat narkoba, pencuri dan penipu seringkali memanfaatkan wanita dan anak-anak untuk mengelabuhi kejahatannya.

Jangan lengah dan jangan terlena. Bukankah kita semua setuju ketika Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian menginstruksikan kepada seluruh jajaran untuk membentuk kesatuan pemburu begal dan kejahatan jalanan ?

Kita juga setuju ketika para begal dan jambret tersebut ditembak ditempat jika perlu ?

Jangan pernah mengasihani pencuri dan penjahat meski mereka wanita dan di bawah umur, sebagaimana kita jangan mengasihani koruptor dan pengedar narkoba.

Tuhan juga tidak akan mengasihani pelaku maksiat dan orang-orang musyrik yang menyekutukan Dia. Tuhan siapkan hukuman pedih baik di dunia maupun di akhirat.

Jadilah Netizen cerdas dan adil. Jangan terbawa framing dan agenda setting kelompok yang ingin melemahkan Institusi Polri dan mengacaukan negeri ini.

STOP BULLYING !
STOP FRAMING !

Salam Tribrata
Salam Indonesia Raya

Yogyakarta, 13 Juli 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Senin, 09 Juli 2018

Men-JOKOWI-kan ANIES

Semua orang pasti tahu bahwa Prabowo Subianto adalah salah satu tokoh utama yang mengantarkan Ir. Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta. Berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama yang waktu itu kader Gerindra, Jokowi berhasil mengkandaskan pasangan petahana Fauzi Bowo - Nachrowi Ramli pada Pilgub DKI 2012.

Semua orang pun tahu bahwa Prabowo Subianto dan penduduk ibukota kemudian "dikhianati" oleh Jokowi, karena lebih memilih maju sebagai Calon Presiden dari pada menyelesaikan 5 tahun masa tugasnya memimpin Jakarta. 2 tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi tak kuasa menolak perintah Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, untuk diusung sebagai Capres pada Pilpres 2014 melawan Prabowo Subianto, orang yang paling berjasa memenangkannya pada Pilkada ibukota.

Semua orang pun tahu bahwa Jokowi bukan calon terkuat yang dipersiapkan PDI-P dan Megawati untuk DKI Jakarta maupun Indonesia.

Semua orang tahu jika Jokowi yang bershio Kerbau 1961 (sama seperti shio Bung Karno 1901 dan SBY 1949), akhirnya menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Presiden Republik Indonesia.

Sebagai kader PDI-P, Jokowi "dibajak" oleh kelompok lain dengan kekuatan besar di negeri ini. Itulah mengapa Megawati berkali-kali mengatakan bahwa Jokowi adalah "Petugas Partai (PDI-P)" yang menurut saya sebagai bentuk kegalauan dan kekuatiran.

Hari ini, sebulan menjelang pendaftaran Calon Presiden (4-10 Agustus 2018) untuk Pilpres 2019 kasus Jokowi sepertinya akan terulang kembali.

Adalah Anies Rasyid Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang diantarkan oleh Prabowo Subianto berpasangan dengan kader Gerindra, Sandiaga Salahuddin Uno, didorong-dorong untuk maju sebagai Calon Presiden.

Ada indikasi, "kekuatan besar" yang menjadikan Jokowi sebagai presiden, kali ini hendak menjadikan Anies sebagai presiden juga. Jika ini benar, maka terjadi Deja Vu, dimana terjadi pengulangan, orang yang diantarkan Prabowo sebagai Gubernur DKI Jakarta berhenti di tengah jalan untuk maju sebagai calon presiden. Men-JOKOWI-kan Anies.

Akan menjadi rekor hebat bagi Prabowo jika akhirnya dia harus selalu dikhianati dan melawan orang-orang yang dididiknya. Apalagi jika kemudian Prabowo kalah dari Anies pada Pilpres 2019, it's amazing !

Prabowo yang bershio Kelinci 1951 memang memiliki catatan selalu "dikhianati" orang-orang terdekatnya. Ini seperti menurun dari ayah dan kakeknya. Kakek Prabowo, RM. Margono Djojohadikusumo, juga dikhianati oleh Bung Karno di akhir masa hidupnya. Padahal Margono adalah salah satu tokoh pendiri bangsa, anggota BPUPKI dan pendiri bank pemerintah, BNI.

Ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo juga tokoh yang dikhianati oleh Bung Karno dan dicap sebagai pendukung pemberontak, hingga keluarganya terlunta-lunta hidup di pelarian, mulai dari Singapura, Thailand, China, Amerika dan Inggris. Itulah mengapa Soemitro memiliki nama-nama samaran seperti Abu Bakar, dan Suu Ming Doo, nama Tionghoa.

Sejak masih aktif sebagai prajurit TNI AD, Prabowo sudah terbiasa "dikhianati" koleganya. Pada tragedi Trisakti dan penculikan aktifis 1998 Prabowo dikorbankan oleh atasannya, hingga berhenti di tengah jalan. Pada dunia politik, Prabowo juga dikhianati oleh beberapa tokoh Partai Golkar pada saat konvensi capres 2004.

Setelah pilpres 2009, Prabowo yang cawapres kembali dikhianati oleh PDI-P dan Megawati, yang mengingkari perjanjian Batu Tulis, dimana Prabowo akan bergantian sebagai Capres pada Pilpres 2014.

Prabowo juga punya catatan dikhianati oleh anak-anak didiknya. Selain ditikung oleh Jokowi pada Pilpres 2014, Prabowo juga dikhianati oleh kepala daerah yang diusungnya, seperti Ahok dan Ridwan Kamil.

Prabowo juga dikhianati oleh para pendukungnya di Pilpres 2014 seperti Prof. Mahfud MD, Ali Mochtar Ngabalin, Romahurmuziy, TGB Zainul Majdi yang lebih memilih merapat ke kubu Jokowi.

Kekuatan besar tersebut memanfaatkan kelompok oportunis yang secara genit mendorong-dorong Anies untuk maju sebagai calon presiden. Bahkan telah secara terang-terangan mendeklarasikan Anies for Presiden.

Kelompok-kelompok lain juga memecah kesolidan pendukung Prabowo dengan mendeklarasikan mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo dan Gubernur NTB, TGB Zainul Majdi sebagai capres.

Sebulan ini adalah waktu kritis bagi Prabowo Subianto untuk menentukan sikap dan melakukan konsolidasi serta lobi jika ingin menyelamatkan Indonesia dengan menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Menarik bagi Anies Baswedan, apakah dia akan tetap komitmen menjaga etika politik dengan menuntaskan tugasnya di ibukota, atau juga tergoda untuk maju sebagai capres mengikuti jejak Jokowi.

Mari kita tunggu di Agustus 2018 ini !!!

Salam Indonesia Raya !

Jakarta, 9 Juli 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik