Jumat, 23 November 2018

Kapolres Kebumen Resmikan Keposan Sebagai Kampung Anti Miras, Narkoba dan Judi


KEBUMEN - (23/11/2018) Kapolres Kebumen, AKBP Arief Bahtiar, SIK, MM bersama Forkompimda meresmikan Keposan, Kebumen sebagai Kampung Anti Miras, Narkoba dan Judi, hari ini, Jumat (23/11).

Keposan adalah sebuah pedukuhan di Kelurahan Kebumen, Kacamatan Kebumen, Kabupaten Kebumen yang berada di tengah kota. Keposan pada masa lalu adalah Chinese Camp (Kampung Pecinan) kemudian pada masa Hindia Belanda didirikan pos atau markas KNIL (Koninklijke Nederlands-Indische Leger).

Dari adanya pos tentara itulah asal nama Keposan, hingga sekarang. Sejak dulu Keposan dikenal sebagai pusatnya miras, narkoba, perjudian bahkan prostitusi. Singkatnya, Keposan ibarat Macau-nya Kebumen.

Seiring berjalannya waktu, Keposan mulai dihuni orang Jawa dan muslim. Berdirilah masjid dan mushala. Polres Kebumen dan jajaran Pemda memberikan perhatian lebih pada wilayah Keposan.

Pertama wilayah Keposan dijadikan sebagai Kampung Kuliner dengan anggaran sekitar 1 miliar rupiah. Jajaran Polres melalui Satuan Pembinaan Masyarakat (Sat Binmas) melakukan pendekatan secara intens untuk mengubah image Keposan.

Muaranya adalah acara pada hari ini, dimana Keposan diresmikan sebagai Kampung Anti Miras, Narkoba dan Judi.

Dalam sambutannya, Kapolres Kebumen, AKBP Arief Bahtiar, SIK, MM menegaskan bahwa peresmian ini adalah puncak dari perjuangan rekan-rekan Binmas bersama jajaran Polsek Kota dalam membina warga Keposan.

"Ini adalah keberhasilan Sat Binmas dibantu tokoh masyarakat Keposan untuk mengubah image Keposan, dari pusat miras, narkoba dan judi menjadi kawsan sehat dan religius" kata Arief.

Arief Bahtiar berharap keberhasilan Keposan mentransformasi diri, menjadi contoh dan model bagi daerah-daerah lain, sehingga Kebumen menjadi Kabupaten yang terbebas dari miras, narkoba dan perjudian.

Wakil Bupati Kebumen, dalam sambutan yang dibacakan oleh Sekda, Ahmad Ujang Sugiono, mengapresiasi keberhasilan Polres Kebumen dalam membina dan menyadarkan masyarakat Keposan.

"Peredaran miras dan narkoba di Kebumen juga Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Indonesia bukan hanya sebagai transit, tapi menjadi tujuan penjualan narkoba, bahkan kepolisian pernah mengungkap adanya pabrik narkoba di Jakarta dan beberapa lokasi, "kata Wakil Bupati.

Para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda di sekitar Keposan juga mendukung penuh antusias pencanangan Keposan sebagai Kampung Anti Miras, Narkoba dan Judi. Dalam kesempatan tersebut, Kapolres juga menyerahkan bantuan alat olahraga kepada pemuda-pemuda Keposan.

Acara peresmian ini ditandai dengan pemecahan kendi dan pelepasan balon oleh Kapolres bersama Forkompimda dan tokoh masyarakat setempat.

Semoga peresmian Keposan sebagai Kampung Anti Miras, Narkoba dan Judi menjadi awal yang positif perubahan dan kebangkitan Kebumen.

Kebumen Kudu Tambah Maen

Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem



Jumat, 09 November 2018

PATUNG GAJAH MADA DI MABES POLRI TERNYATA WAJAH KOMJEN MOEHAMMAD JASIN


Wajah sosok Mahapatih Majapahit Gajah Mada sampai sekarang tidak jelas rupanya. Literatur peninggalan Majapahit juga tidak ada jejak bagaimana wajah Gajah Mada. Sejauh ini wajah Gajah Mada yang ada hasil penafsiran M Yamin.

Nah, cerita soal wajah Gajah Mada ini menyambung juga dengan kisah patung di depan Mabes Polri. Apabila melintas di Jl Trunojoyo, kita akan melihat patung setinggi 17 meter. Patung itu adalah patung Gajah Mada panglima pasukan Bhayangkara Majapahit.

Rengga Sancaya


Tapi yang baru terkuak adalah soal wajah patung Gajah Mada itu. Kepala Brimob saat itu tahun 1959, M Jasin ternyata menjadi inspirasi dari wajah di patung itu. Kisah itu tertuang dalam pembuatan wajah patung Gajah Mada tertuang dalam buku 'Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang', yang terbit pada 2010 lalu.

Mengutip buku tersebut, tertulis di halaman 270 di bab VII Kedekatan dengan Pendiri Bangsa, bagaimana Jasin mengungkapkan perihal wajah patung Gajah Mada itu.

(Baca juga: Komjen Moehammad Jasin, Pejuang Rakyat dan Polisi Jujur di Jawa Timur).

Berawal dari audiensi di era sebelum reformasi dengan Menhan Edi Sudrajat. Jasin menuturkan, dia juga tak tahu dari mana, tiba-tiba Edi Sudrajat berseloroh soal wajah Gajah Mada di depan Mabes Polri yang menurutnya bukan wajah Gajah Mada tetapi wajah Jasin.

Gurauan soal patung itu yang kemudian membuat Jasin berbagi cerita. Menurut Jasin pada 1959, ketika dia masih menjabat sebagai Korps Brigade Mobile Brigade Indonesia, dan saat bersamaan Kepala Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) Komisaris Besar R Umargatab ditugaskan Menteri Muda/Kepala Kepolisian Negara RS Soekanto untuk mencari seorang pematung guna membuat monumen patung Gajah Mada.

Patung itu nantinya akan ditempatkan di depan Mabes Polri. Soekanto juga berpesan agar patung itu bisa selesai pada 1 Juli 1959. Patung itu dikerjakan dengan cepat dan badan patung selesai sebelum tenggat waktu. Tapi yang menjadi soal yakni wajah Gajah Mada.

"Masalahnya, baik Pak Umar maupun pematung sama-sama tidak tahu pasti bagaimana wajah Gajah Mada, sedangkan peresmian tinggal satu minggu lagi. Sebagai penanggung jawab, supaya tidak ditegur oleh Kepala Kepolisian R.S Soekanto, tanpa menjelaskan tujuannya, Pak Umar meminta foto saya. Saya kira foto saya itu akan digunakan untuk dokumentasi PAM ternyata tidak begitu," urai Jasin di bukunya.

Jasin menuturkan, foto itu kemudian diberikan kepada pematung monumen Gajah Mada dengan permintaan jangan sekali-kali membocorkannya kepada RS Soekanto.

"Maka jadilah patung Gajah Mada berdiri megah di halaman Markas Besar kepolisian yang wajahnya konon mirip dengan wajah Panglima Korps Mobiele Brigade Indonesia," tulis Jasin.

Setelah semua acara selesai, patung diresmikan. Jasin kemudian menyampaikan, Umargatab menemuinya dan meminta maaf karena terpaksa mencuri wajahnya untuk menyelesaikan patung.

Rengga Sancaya


"Beliau juga meminta agar hal ini dirahasiakan," terang Jasin.

Yang lucu juga, ketika peresmian patung itu, Umargatab dan Jasin saling curi pandang. Khawatir kalau RS Soekanto akan marah dengan wajah patung itu yang disebut 'mencuri' wajah Jasin.

"Syukurlah Tuhan mengabulkan doa kami. Upacara berjalan lancar dari awal sampai selesai tidak ada halangan. Bahkan pada akhir upacara, Pak Soekanto datang menemui Pak Umargatab dan pematung untuk menyampaikan selamat dan terima kasihnya atas jasa mereka," tutup Jasin di bukunya.

(idh/dra)

Sumber : detik 

Minggu, 04 November 2018

KEBUMEN, MISKIN KARENA KORUPSI DAN BOBROKNYA BIROKRASI


Kebumen, sebuah kabupaten di tepi selatan Jawa Tengah, punya semboyan "Kebumen Beriman", akronim dari "Bersih, Indah, Manfaat, Aman, Nyaman". Setidaknya beberapa tahun terakhir, "Kebumen Beriman" terdengar muluk-muluk. Apa lagi kalau bukan karena bupatinya, Mohammad Yahya Fuad, terlibat kasus korupsi?


Masalahnya, Mohammad Yahya Fuad hanyalah satu dari sekian tokoh yang tersangkut korupsi. Pada 15 Oktober 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di beberapa tempat di Kebumen. Setelahnya, secara bertahap, KPK menduga ada gratifikasi dalam proyek di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kebumen dalam APBD-P Tahun Anggaran 2017.


Tak lama setelahnya, KPK menetapkan sejumlah tersangka, mulai dari Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Kebumen Sigit Widodo, Ketua Komisi A DPRD Kebumen dari fraksi PDIP Yudhi TH, Anggota Komisi A DPRD Kebumen Dian Lestari, Sekretaris Daerah Kabupaten Kebumen Adi Pandoyo, Direktur Utama PT Otoda Sukses Mandiri Abadi (OSMA) Grup Hartoyo, hingga pengusaha swasta bernama Basikun Suwandin Atmojo.


Hukuman kepada Sigit, Yudhi, Adi, Basikun, dan Hartoyo dijatuhkan pada 2017. Yang terakhir divonis, yakni pada September 2017, adalah Yudhi dan Adi.


Tiga bulan kemudian, Januari 2018, Fuad yang telah diduga terlibat sejak awal kasus bergulir, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi oleh KPK. Pada saat bersamaan, KPK juga menetapkan Direktur PT. KAK Hojin Anshori dan Komisaris PT. KAK Khayub Muhammad Lutfi sebagai tersangka.


Pada September 2018, Dian Lestari divonis 4 tahun 6 bulan penjara plus denda Rp200 juta subsidair 2 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Semarang. Dian terbukti menerima uang Rp10 juta dari Direktur CV. Family Arif Ainudin dan Direktur PT. KAK Masori, Rp60 juta dari Basikun, dan Rp75 juta dari Hartoyo. Sebulan sebelumnya, Khayub menerima vonis 2 tahun penjara.


Pada Oktober 2018, giliran Fuad dan Anshori yang dijatuhi vonis. Pengadilan Tipikor Semarang menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara plus denda Rp300 juta subsidair 4 bulan kurungan. Hakim juga mencabut hak politik Fuad selama 3 tahun terhitung setelah dia selesai menjalani hukuman.


Namun, sebelum vonis jatuh kepadanya, kesaksian Fuad mengungkap bahwa korupsi yang membelitnya juga melibatkan mereka yang duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Artinya, korupsi ini sudah sangat terstruktur melibatkan kepala daerah, DPRD, dan swasta; serta masif karena turut menyeret politikus tingkat nasional.


Pada 4 Juli 2018, Fuad menjadi saksi dalam persidangan Khayub. Saat itu, Fuad mengaku bertemu dua kali dengan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan untuk membahas Dana Alokasi Khusus (DAK). 


"Dua kali bertemu, di Semarang dan Jakarta," ujar Yahya kala itu.


Kata Yahya, ada uang 5 persen yang harus diberikan apabila DAK sebesar Rp100 miliar itu cair. Fuad mengatakan sudah memberikannya kepada orang suruhan Taufik. Totalnya sebanyak Rp3,7 miliar.


KPK menetapkan Taufik, seorang politikus PAN, sebagai tersangka pada 30 Oktober 2018. Hari itu, KPK juga menetapkan status tersangka pada Ketua DPRD Kebumen Cipto Waluyo.


Kiprah Fuad: Bisnis dan Muhammadiyah


Fuad sebenarnya lahir di Purwokerto, 15 Mei 1965. Namun, masa kecilnya dihabiskan di Gombong. Setelah lulus dari SDN 1 Selokerto, ia meneruskan pendidikan dasar di SMPN 1 Gombong dan SMAN 1 Gombong. Rustriningsih, bupati Kebumen dua periode (2000-2008), juga bersekolah di SMA yang sama. Kemudian, Rustriningsih menjadi kader PDIP yang pada Pemilihan Presiden 2014 mendukung Prabowo-Hatta.


Keberadaan Pasar Wonokriyo dan Stasiun Gombong menjadikan Gombong pusat ekonomi urban di bagian barat Kebumen.


Jarak dari gerbang "Kebumen Beriman" ke Pasar Wonokriyo berkisar 13 menit perjalanan menggunakan mobil ke arah timur. Dari Pasar Wonokriyo belok ke arah utara sekitar 750 meter, Anda akan menemukan SMAN 1 Gombong. Dari SMA itu ke arah timur sekitar 500 meter, Anda akan menemukan SMPN 1 Gombong.


Dari Gombong, Fuad merantau ke Bandung dan kelak memboyong gelar insinyur teknik sipil di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan sarjana ekonomi di Universitas Padjajaran.


Sekembalinya ke Gombong, dia mengembangkan bisnis pengembang perumahan, pabrik pupuk organik, stasiun pengisian bahan elpiji, stasiun pengisian bahan bakar umum, hingga biro travel. Pada Mei 2015, Fuad mendirikan PT. Trada, sebuah perusahaan yang akhirnya ia gunakan untuk menggasak uang rakyat. Fuad juga pernah menduduki posisi Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kebumen. Sebelum mencalonkan diri sebagai bupati pada 2015, Fuad adalah ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Gombong.


Di Kebumen, Muhammadiyah mengelola sejumlah lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar, panti asuhan, hingga perguruan tinggi. Kebumen punya Sekolah Tinggi Teknik (STT) Muhammadiyah, sementara Sekolah Tinggi Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah didirikan di Gombong. Muhammadiyah juga mengelola dua rumah sakit, yakni PKU Muhammadiyah Sruweng dan PKU Muhammadiyah Gombong.


Ketika maju di Pemilihan Bupati (Pilbup) Kebumen 2015, Fuad berpasangan dengan Yazid Mahfudz, kiai Nahdlatul Ulama sekaligus politikus PKB. Mereka diusung PKB, PAN, Gerindra, Demokrat, dan PPP. Lima partai itu menguasai 24 dari 50 kursi DPRD Kebumen. Tim Relawan Fuad-Yazid diketuai Direktur Utama PKU Muhammadiyah Gombong Ibnu Nasser Arrochimi, yang pernah dijuluki "aktivis petarung" oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah 2000-2005 Achmad Syafii Maarif dalam kolomnya yang bertajuk "RS PKU Muhammadiyah Gombong yang Fenomenal".


Kombinasi Muhammadiyah-NU itu menang telak. Fuad-Yazid meraup 51,14 persen suara, mengalahkan Khayub (orang yang kemudian menyuapnya) yang berpasangan dengan Ahmad Bahrun dan Bambang-Sunarto.


Namun, baru dua tahun menjabat bupati, Fuad sudah dicokok KPK. Fuad belum sempat mewujudkan apa yang disebutnya sebagai "visi keumatan".


Kasus korupsi berjamaah bupati dan DPRD Kebumen hingga Anggota DPR Daerah Pemilihan Jawa Tengah VII (Kebumen, Purbalingga, Banjarnegar) yang diselimuti suap pihak swasta menunjukkan ketiadaan keberpihakan terhadap masyarakat Kebumen, khususnya mereka berkubang dalam kemiskinan.

Sejak 2010 hingga 2017, Kebumen selalu masuk lima kabupaten dengan persentase penduduk miskin tertinggi di Jawa Tengah.


Badan Pusat Statistika mendefinisikan penduduk miskin sebagai kelompok sosial dengan pengeluaran yang berada di bawah Garis Kemiskinan. Di Kebumen, Garis Kemiskinan mencapai Rp292.177 pada 2015 atau Rp325.819 pada 2017.


Persentase penduduk miskin di Kebumen memang cenderung menurun. Angkanya sebesar 22,7 persen pada 2010, lalu 19,6 persen pada 2017. Namun, penurunan itu tidak istimewa. Kecenderungan menurunnya persentase penduduk miskin juga terjadi di seluruh kabupaten lain di Jawa Tengah.


Selain itu, kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan Kebumen termasuk yang tertinggi di Jawa Tengah. Indeks Kedalaman Kemiskinan Kebumen sempat turun dari 3,68 (2010) ke 2,78 (2014). Lalu, naik lagi ke 4,08 (2015) dan turun ke 3,62 (2017).


Ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin Kebumen termasuk yang tertinggi di Jawa Tengah. Ini tercermin dari Indeks Keparahan Kemiskinan Kebumen senilai 0,99 pada 2017. Angka itu mendudukkan Kebumen di posisi ketiga kabupaten/kota dengan Indeks Keparahan Kemiskinan terbesar di Jawa Tengah. 




Sumber : tirto

Selasa, 30 Oktober 2018

Sumpah Pemuda dan Disrupsi Bangsa




Sumpah Pemuda adalah kisah konektivitas dan inklusivitas keragaman identitas di awal pembentukan bangsa Indonesia. Ini adalah kisah spektakuler dari perjuangan anak-anak muda dalam mengarungi jalan terjal multi-seleksi, dalam proses adaptasi terhadap tantangan kehidupan hingga tampil sebagai penyintas.

Untuk menggambarkan jalan panjang dan berliku yang dilalui manusia (muda) Indonesia, dari seorang individu menjadi warga bangsa, kita bisa meminjam deskripsi Jonathan Haidt dalam bukunya yang memukau The Righteous Mind : Why Good People are Devided by Politics and Religion (1202).

Kisah ini bermula dari anak-anak jajahan, dengan watak alamiah menyerupai simpanse yang mengutamakan kepentingan pribadi, harus berlomba untuk bisa menjadi “piyayi baru” (bangsawan fikiran) dalam sistem kompetisi masyarakat kolonial yang tidak fair. Pada etape selanjutnya, aneka diskriminasi yang dialami di sepanjang perlintasan menjadi “priyayi baru” mempersambungkan “kepekaan naluriah” (gut feeling) sesama serumpun menjadi semacam lebah yang berkerumun dalam “sarang” komunitas moral primordial (berbasis kesukuan-kedaerahan dan keagamaan). Pada tahap ini, terjadi pula proses perlombaan antara kelompok-kelompok komunal baru. Kemunculan organisasi pemuda-pelajar atas dasar solidaritas kejawaan, Jong Java, membangkitkan reaksi pembentukan organisasi-organisasi “tandingan” seperti Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun (pemuda Sunda), Pemuda Kaum Betawi, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond.

Kebangsaan-kewargaan
Dalam perkembangannya, proses seleksi dalam perlombaan antara kelompok- kelompok komunal ini mengalami proses transendensi karena adanya persamaan kepentingan dalam menghadapi kompetisi dengan musuh bersama yang lebih besar, yakni negara kolonial (“asing”) yang represif dan diskriminatif. Persepsi tentang adanya kepentingan bersama inilah yang mendorong terjadinya proses peleburan aneka komunitas primordial ke dalam suatu “sarang” komunitas moral dalam skala yang lebih luas. Maka, terbentuklah superorgnisme yang sangat gigantis, bernama “kebangsaan-kewargaan” (civic nation).

Jalan Indonesia menuju “kebangsaan-kewargaan” itu berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh kecenderungan masyarakat Eropa. Dalam pengalaman Eropa, munculnya nasionalisme dilalui lewat proses sekularisasi dengan memudarnya pengaruh agama dan ikatan primordial lainnya (Rupert Emerson, 1960). Di sini, ketika nasionalisme bangkit, agama dan komunitas kultural lainnya memainkan peran penting. Kemunculan masyarakat sipil dan politik utamanya terlahir dari komunitas agama-budaya, bukan dari komunitas pasar. Jalan menuju nasionalisme kewargaan ditempuh dengan cara pengadaban masyarakat keagamaan dan kesukuan untuk bisa memasuki komunitas moral publik secara damai dan toleran.

Oleh karena itu, di negeri ini, jangan pernah mempertentangkan “kebangsaan” dan “keagamaan”. Komunitas-komunitas keagamaan bisa menjadi tulang punggung integrasi nasional karena kemampuannya mempertautkan keragaman suku dan kelas sosial secara vertikal oleh kesamaan aliran-aliran keagamaan. Dengan satu sentuhan lagi, berupa proses “sipilisasi” (lewat konektivitas dan inklusivitas aneka ormas keagamaan) dalam mengusung moral publik, Indonesia memiliki modal sosial dan modal moral yang bisa diandalkan.

Tentang pentingnya komunitas agama sebagai modal sosial ini mendekati gambaran Robert Putnam (2000) dalam konteks kebangsaan-kewargaan Amerika Serikat. Dalam pandangannya, keterpautan pada kelompok kecil, seperti sesama anggota gereja dan perkumpulan agama yang melibatkan aneka individu dan latar sosial, merupakan modal awal bagi afeksi publik. “Agama-agama membuat orang-orang Amerika menjadi tetangga dan warga negara yang lebih baik”. Bahwa “ramuan aktif yang membuat masyarakat Amerika lebih bajik adalah keterpautan mereka dalam relasinya dengan sesama komunitas agama. Segala hal yang mengikat masyarakat secara bersama ke dalam kerapatan jaringan rasa saling percaya membuat orang-orang kurang mementingkan diri sendiri”. Dan itu merupakan modal sosial yang amat penting bagi integrasi nasional.

Dalam kisah Sumpah Pemuda, proses peleburan ragam komunitas etno-religius ke dalam kesamaan komunitas kebangsaan-kewargaan yang lebih luas dimungkinkan oleh kesanggupan para pemuda untuk melakukan konektivitas dan inklusivitas.

Kemampuan konektivitas bisa dilihat dari keragaman latar sosiogragfis dari peserta Kongres Pemuda II ini. Keragaman kesukuan dan kedaerahan selain tercemin dari kehadiran organisasi-organisasi yang telah disebutkan, turut juga 2 perwakilan dari Papua (Aitai Karubaba dan Poreu Ohee) dan beberapa orang Tionghoa sebagai peninjau (Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie) serta satu orang sebagai wakil dari Jong Sumatranen Bond (Kwee Thiam Hiong). Representasi golongan keagamaan diwakili oleh Jong Islamieten Bond.

Kedatangan peserta dari berbagai wilayah di Tanah Air ini sungguh mengagumkan dalam kondisi ketersediaan infrastruktur perhubungan yang masih sangat terbatas. Sarana transportasi umum yang tersedia baru kapal laut dan kereta api. Meski demikian, keterbatasan konektivitas teknis ini bisa diatasi dengan kerapatan konektivitas mental-kejiwaan. Konektivitas mental-kejiwaan dimungkinkan oleh tersedianya ruang-ruang publik modern yang memfasilitasi perjumpaan antaridentitas. Ruang-ruang publik modern ini terentang mulai dari jaringan persekolahan dan klub-klub sosial bergaya Eropa, terutama di Bandung, Batavia, Surabaya dan kota-kota besar lainnya, yang memungkinkan para pemuda-pelajar dari beragam latar wilayah dan golangan bisa berinteraksi. Kedua, dalam kehadiran jaringan industri pers vernakuler yang memungkinkan diseminasi informasi, pertukaran pikiran, dan promosi agenda bersama.

Konektivitas mental-kejiwaan juga dimungkinkan oleh minat baca dan tingkat erudisi yang tinggi. Keluasan dan kedalaman bacaan memungkinkan para pemuda-pelajar bisa memahami dan menghayati persoalan yang berlangsung di tempat jauh, meski tanpa kehadirannya secara fisik, karena pengetahuan yang diperolehnya dari bahan bacaan. Dengan itu, para pemuda-pelajar bisa mengembangkan sikap empati terhadap nasib mereka yang berbeda identitas, yang memberi kemampuan mencari substansi bersama melampaui perbedaan garis identitas.

Konektivitas dan Inklusivitas
Dimensi inklusivitas dari Sumpah Pemuda tampak dari kesetaraan kesempatan bagi segenap peserta dari berlatar golongan untuk mengeskspresikan diri dan mengambil peran, dengan sama-sama terlibat dan menyepakati agenda dan keputusan bersama. Dalam perjalanannya nanti, semangat inklusivitas yang diwarisi dari jiwa Sumpah Pemuda ini, memungkinkan figur-figur utama Kongres ini memainkan peran besar dalam sejarah Republik. Sugondo Djojopuspito (Ketua Kongres), Muhammad Yamin (Sekretaris), Amir Sjarifudin (Bendahara), Johannes Leimena (Pembantu) menempati posisi-posisi penting seperti di BPUPK, KNIP, dan pos-pos kementerian negara atas dasar prinsip meritokrasi yang non-diskriminatif.

Bahkan Amir Sjarifudin, dengan latar Kristen, bisa menjadi Perdana Menteri. Johannes Leimena dengan latar minoritas ganda (Kristen dan Melanesia) menjadi orang dengan menduduki jabatan menteri (wakil menteri) terpanjang dalam sejarah republik (21 tahun), bahkan beberapa kali menjadi pejabat kepala negara.

Konektivitas dan inklusivitas bukan saja penting bagi integrasi nasional tapi juga prasyarat bagi kemajuan bangsa. Hal ini bahkan berlaku bagi kemajuan di bidang olah raga. Sebuah studi yang dilakukan oleh Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomics (2018) menengarai mengapa tim sepakbola Inggris untuk masa yang panjang miskin prestasi di tingkat internasional, meski merupakan tanah leluhur sepak bola. Jawabannya bisa dinisbatkan pada miskinnya konektivitas dan inklusivitas dalam sepak bola di negeri tersebut.

Di Eropa kontinental, jarak antara satu negara dengan negara lain bisa ditempuh dalam 2 jam, yang memudahkan interkoneksi dan rangsangan saling belajar antarnegara. Kehebatan gaya sepakbola suatu negara dengan cepat dipelajari oleh negara lain dalam usaha mencari cara bermain yang lebih unggul. Dari sini muncullah pelatih-pelatih hebat seperti Arrigo Sacchi, Arsene Wenger, dan Pep Guardiola yang mampu meracik resep sepakbola secara sintesis-kreatif hingga melahirkan sepakbola yang efektif, atraktif dan sarat prestasi. Adapun Inggris, sebagai negara kepulauan yang terpisah, kurang terkoneksi dengan perkembangan sepakbola di negara-negara seberang. Untuk masa yang panjang, Ingris terus mempertahankan gaya sepakbola “hit and run” yang sudah kadaluarsa. Baru belakangan, setelah tim-tim Premier League menyewa pelatih-pelatih dari Eropa kontinental, gaya permainan tim sepak bola negeri tersebut mengalami perubahan berarti.

Selain itu, di banyak negara Eropa kontinental, tim sepakbola nasional dikembangkan secara lebih inklusif, dengan merekrut talenta-talenta terbaik dari berbagai lapisan sosial. Di Inggris, tim sepakbola nasionalnya cenderung eksklusif, diisi oleh para pemain dari latar kelas sosial yang sama, yakni “kelas buruh”. Kebanyakan pemain berhenti sekolah pada usia 16 tahun; nyaris tak ada yang pernah mengenyam bangku pendidikan tinggi. Dengan demikian, potensi talenta terbaik dari kelas-kelas sosial lain tidak terengkuh. Dengan alasan yang sama, kita bisa menjelaskan bahwa salah satu faktor yang membuat bulu tangkis menjadi cabang olah raga yang paling berprestasi di Indonesia adalah karena basis inklusivitasnya yang kuat.

Untuk menjadi kekuatan kolektif yang kohesif, konektivitas dan inklusivitas ini harus dihela oleh kesamaan basis moralitas (shared values). Dalam konteks moral publik, kesamaan itu bisa ditemukan dalam 6 nilai inti dalam matriks moral. Care (peduli terhadap bahaya yang mengancam keselamatan bersama), fairness (keadilan dan kepantasan), liberty (bebas dari penindasan dan pengekangan), loyalty (kesetiaan pada institusi dan tradisi), authority (otoritas yang dihormati bersama), sanctity (hal-hal yang disucikan bersama).

Generasi Sumpah Pemuda memiliki titik-temu nyaris di semua butir matriks moral itu. Mereka sama-sama peduli terhadap bahaya penjajahan. Mereka sama-sama memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Mereka sama-sama mendambakan kemerdekaan dari penindasan dan represi. Mereka sama-sama punya kesetiaan pada bangsa dan tanah air. Mereka sama-sama memimpikan otoritas baru yang berbeda dari otoritas feodal dan kolonial. Mereka juga sama-sama menyucikan satu nilai yang dijunjung bersama, yakni nilai-nilai spiritualitas kegotong-royongan; bahwa persatuan harus diutamakan di atas perbedaan.

Keterpautan pada komunitas moral bersama ini dikukuhkan oleh keterpaduan simbol dan identitas kolektif kebangsaan. Dalam masyarakat mejemuk, memang diperlukan adanya rekonignisi politik dan politik rekognisi yang menjamin kesetaraan hak bagi setiap kelompok etnis, budaya dan agama. Meski demikian, kehadiran aneka kelompok komunal itu tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut untuk memiliki komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi keyakinan, nilai, norma, simbol dan institusi bersama. Karen Stenner (2005) mengingatkan bahwa politik dan pendidikan multikultural yang terlalu menekankan perbedaan membuat orang tambah rasis, bukan menguranginya.

Bagi generasi Sumpah Pemuda, usaha mempertautkan kebinekaan ke dalam persatuan itu dilakukan lewat pengakuan akan aspek-aspek kesamaan (similarity): kesamaan tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan. Persatuan juga ditumbuhkan dengan mengupayakan keterpaduan (synchrony), dengan jalan menumbuhkan afeksi publik lewat pengibaran bendera dan lagu kebangsaan yang sama.

Lagu Indonesia Raya yang semula disepelekan pemerintahan kolonial sebagai lagu keroncong yang tak menggugah, terus-menerus dinyanyikan di berbagai kesempatan, sehingga lambat laun menjadi pembangkit emosi kebangsaan yang sama. Semua kerangka kesamaan dan keterpaduan itu makin solid manaka kebijakan kolonial makin represif yang menumbuhkan kesamaan blok nasional. Dengan pekikan yel bersama, “merdeka atau mati”, energi persatuan berhasil merebut kemerdekaan, yang melambungkan anak-anak jajahan sebagai penyintas.

Ancaman disrupsi
Jalan panjang proses menjadi bangsa itu harus kita hayati manakala Indonesia hari ini menunjukkan tanda menghadapi ancaman disrupsi kebangsaan. Meski konektivitas fisik mengalami kemajuan dengan pembangunan infrastruktur perhubungan dan penggunaan sosial media yang sangat intens, namun konektivitas mental-kejiwaan mengalami kemunduran. Dunia persekolahan dan media yang dulu menjadi jendela keterbukaan bagi pergaulan lintas-kultural dan pertukaran pikiran, saat ini mengalami gejala pengerdilan. Pelemahan minat baca dan erudisi menyempitkan daya jelejah pemahaman, yang menumpulkan sikap empati terhadap yang berbeda. Gejala eksklusivitas meluas dengan tumbuhnya pusat-pusat pemukiman, sekolah dan dunia kerja dengan segregasi sosial yang curam.

Komunitas moral bersama mengalami retakan karena memudarnya komitmen untuk menetapkan dan memelihara moral publik. Basis moral organisasi-organisasi sosial-politik tidak begitu jelas. Dari enam nilai dalam matriks moral publik, satu-satunya yang relatif terus diagungkan adalah nilai kebebasan (liberty). Selebihnya, tidak tampak keseriusan mempedulikan apa yang mengancam keselamatan bersama. Sulit menemukan basis sosial yang gigih memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan umum. Terjadi peluluhan loyalitas terhadap institusi-institusi dan tradisi kebangsaan. Penghormatan terhadap otoritas hukum dan kepemimpinan merosot. Keluhuran budi untuk merawat hal-hal yang “disucikan” bersama pudar.

Narasi publik tidak mendorong konvergensi, malah menyulut divergensi. Polarisasi politik yang kian meruncing mengeraskan perbedaan yang menyulitkan perjumpaan. Harus lebih banyak usaha sepacam peristiwa Asian Games yang menumbukan similaritas dan keterpaduan dari keragaman Indonesia. Kompetisi dengan bangsa bangsa lain bukan saja bisa memacu prestasi, tapi juga bisa mentransformasikan konflik-konflik persaingan internal menuju kontestasi dengan “lawan” bersama dari luar. Persepsi tentang kepentingan bersama memang tidak hanya bisa ditumbuhkan lewat nasionalisme negatif-defensif (melawan musuh dari luar), bisa juga dihidupkan lewat nasionalisme positif-progresif (membangun agenda kemajuan, keunggulan dan persemakmuran bersama).

Selain itu, harus lebih banyak ruang-ruang perjumpaan yang memungkinkan warga bisa melintasi batas-batas identitas. Institusi-institusi demokrasi harus ditata ulang dalam kerangka memperkuat persatuan dan keadilan. Kebebasan sebagai hak negatif (bebas dari) harus ditransformasikan menjadi kebebasan sebagai hak positif (bebas untuk), agar segala keragaman dan potensi bisa diolah menjadi sumber kemajuan dan kebahagiaan hidup bersama. Peringatan Sumpah Pemuda harus bisa menangkap apinya, bukan abunya!

Yudi Latif
Pengurus Aliansi Kebangsaan

Kompas, Sabtu, 27 Oktober 2018

Senin, 29 Oktober 2018

PEKIK TAKBIR MENGINSPIRASI BUNG KARNO SATUKAN PEJUANG KEMERDEKAAN


DALAM pertempuran Surabaya, pekik takbir terdengar di dua kubu. Des Alwi, anggota Pemuda Republik Indonesia (PRI), menceritakannya kepada Sukarno yang datang ke Surabaya pada 29 Oktober 1945. 
“Terdapat pasukan Inggris yang selalu meneriakkan Allah Akbar ketika sedang bertempur. Tetapi kita tidak pernah tahu apakah mereka itu Muslim atau bukan,” kata Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.
Sukarno memerintahkan Des Alwi untuk menjelaskan kepada rakyat Surabaya bahwa Inggris membawa orang-orang Islam dari India bagian timur. “Sebagai sesama Muslim kita semua bersaudara, tidak boleh saling bunuh-membunuh dan diadu domba oleh kekuatan kolonial,” Sukarno mengingatkan. “Usahakan, ajak mereka bergabung dan membantu perjuangan kemerdekaan kita.”
Dengan ucapannya, Sukarno mengirimkan dua pesan sekaligus: memanfaatkan sentimen agama dan perjuangan melawan kolonialisme. Maka, berbagai cara dilakukan untuk membujuk tentara India, baik Muslim maupun bukan.
Di Bandung, pesan disampaikan dengan cara ditempelkan dan dililitkan pada batu kemudian dilemparkan ke arah Bandung bagian utara, tempat pasukan Inggris berada. Pesan itu berbunyi: “Penakluk Jerman dan Jepang dll pulanglah dan jangan berjuang untuk Belanda.” 
Propaganda juga disiarkan melalui radio di Bandung Selatan. “Kapten Rashid”, diyakini Inggris sebagai pembelot India Muslim, mengudara setiap malam dalam bahasa Inggris dan Hindustani.
“Siaran-siaran penerangan kita melalui studio RRI Bandung ditujukan kepada serdadu-serdadu Gurkha, Sikh, dan Muslim dengan bahasa Urdu dan Hindi pada 23 November 1945 menghasilkan 19 orang serdadu India ‘menyeberang’ ke pihak kita, lengkap dengan persenjataannya dan dua buah truk,” demikian dimuat Siliwangi dari Masa ke Masa.
Di Surakarta, dua tentara India yang membelot menyerukan rekan-rekannya dalam bahasa Urdu melalui corong radio agar meninggalkan tentara Inggris. Pembelot itu, tulis Soeloeh Merdeka, 21 November 1945, juga mengingatkan bahwa perjuangan Indonesia sejalan dengan perjuangan India.
Menurut McMillan, 60 persen pembelot adalah tentara India Muslim. Di Jawa, di mana sebagian besar desersi terjadi, pembelot Muslim dua kali lebih banyak dari pembelot Hindu.
P.R.S. Mani, perwira penerangan tentara Inggris, mencatat sekitar 600 tentara Muslim India membelot karena dibujuk. “Pihak Inggris juga mengakui bahwa beberapa di antaranya karena tidak suka memerangi bangsa Indonesia,” tulis Mani dalam Jejak Revolusi 1945.
Kebanyakan desersi terjadi pada malam hari dengan cara meninggalkan barak, kendati ada juga yang dilakukan ketika sedang operasi militer. Laporan Divisi India Ke-26 di Sumatra menunjukkan pembelotan meningkat tajam selama bulan Ramadan pada Agustus 1946.
Beberapa unit memiliki tingkat desersi lebih buruk daripada yang lain. Dua batalion yang sama, yaitu 8/8 Punjab di Sumatra dan 6/8 Punjab di Jawa, kehilangan banyak pasukan yang semuanya Muslim. Mereka membawa senjata dan amunisi 50-90 butir, pistol dan granat. Desersi terus terjadi bahkan ketika Inggris akan meninggalkan Indonesia pada November 1946.

Dari berbagai sumber.

Kamis, 25 Oktober 2018

SETELAH VONIS YAHYA FUAD, SIAPA LAGI BAKAL DIJERAT ?


Kebumen - (25/10/2018) M Yahya Fuad, Bupati Kebumen non-aktif, dijatuhi hukuman penjara 4 tahun dan dicabut hak politiknya. Vonis tersebut dijatuhkan dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang pada  Senin (22/10/2018).

Yahya terjerat kasus suap dari berbagai proyek di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kebumen pada tahun 2016 lalu.

Berikut ini fakta lengkapnya.

1. 4 tahun penjara dan hak politik dicabut

Tersangka Bupati Kebumen (nonaktif) Mohammad Yahya Fuad tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/3). Mohammad Yahya Fuad menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka pasca ditahan KPK terkait kasus pengadaan barang dan jasa menggunakan dana APBD Kabupaten Kebumen tahun 2016. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/18.

"Menghukum oleh karena itu dengan pidana penjara 4 tahun," kata ketua majelis hakim Antonius Widijantono, pada hari Senin (22/10/2018) dalam agenda sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang Bupati Kebumen nonaktif, M Yahya Fuad.

Vonis tersebut lebih ringan 1 tahun dari tuntutan jaksa KPK yang meminta hukuman 5 tahun dan denda Rp 600 juta.

Meski demikian, hakim sependapat dengan jaksa soal pencabutan hak politik untuk Yahya untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik. Pencabutan hak politik berlaku selama 3 tahun.

"Mencabut hak politik terhadap terdakwa selama 3 tahun terhitung setelah masa hukumannya selesai dijalani," tambah hakim.

Dalam perkara ini, Yahya dinyatakan terbukti melanggar ketentuan pasal 12 huruf a Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambahkan dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Selama menjadi bupati, Yahya terbukti menerima suap yang totalnya mencapai Rp 12,03 miliar.

2. Yahya mengundurkan diri dari jabatan Bupati

Tersangka Bupati Kebumen (nonaktif) Mohammad Yahya Fuad (kanan) tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Kamis (8/3). Mohammad Yahya Fuad menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka pasca ditahan KPK terkait kasus pengadaan barang dan jasa menggunakan dana APBD Kabupaten Kebumen tahun 2016. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/ama/18.

Sebelum vonis dijatuhkan, Yahya menelepon Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan menyatakan diri mundur sebagai Bupati Kebumen. Hal tersebut dibenarkan oleh Ganjar.

"Sudah telepon saya, dia mau mengundurkan diri," kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat ditemui di kantornya, Rabu (24/1/2018).

Ganjar menyebut, permintaan pengunduran diri telah disampaikan secara lisan pada Senin (22/1/2018) kemarin. Sebelumnya, Ganjar mengaku telah mendapati informasi soal penetapan tersangka bupati Kebumen.

Pihak Pemprov Jateng pun berniat menyiapkan pelaksana tugas untuk menjalankan roda pemerintahan Kabupaten Kebumen.

"Kalau sudah mau mundur, kami siapkan penggantinya. Wakilnya nanti naik," tambahnya.

3. KPK menolak tawaran terdakwa untuk justice collaborator 

Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (18/10/2018) Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) menolak permohonan Bupati Kebumen non aktif M Yahya Fuad untuk menjadi justice collabolator (JC) atau pihak yang bekerja sama membantu pengungkapan kasus tersebut.

Penolakan permohonan itu disampaikan jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Rabu (3/10/2018).

"Permohonan JC kami tolak karena terdakwa dinyatakan sebagai pelaku utama," kata Joko Hermawan, jaksa KPK.

Meski ditolak, jaksa menyatakan, Yahya ikut serta membantu mengungkap tindak pidana lainnya.

"Terdakwa membantu mengungkap tindak pidana lain, tapi JC tidak dikabulkan," tandasnya.

Baca Juga: KPK Tolak Permohonan "Justice Collabolator" untuk Bupati Kebumen

4. Kasus suap yang menjerat Bupati Kebumen

Bupati Kebumen M Yahya Fuad  (kiri) didampingi Kapolres Kebumen AKBP Titi Hastuti (kanan) saat menjumpai awak media di Pendapa Pemkab Kebumen, Rabu (6/9/2017) Bupati Kebumen non aktif M Yahya Fuad menerima suap dari berbagai pihak ternyata melibatkan pihak lain, termasuk tim sukses pemenangan calon pada Pilbup 2015 lalu.

Salah satu tim sukses pemenangan M Yahya Fuad, yaitu Hojin Ansori, telah disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang, Senin (2/7/2018).

Bupati Yahya dalam melakukan upaya suap dilakukan dengan mengumpulkan tim pemenangannya saat pilkada, salah satunya Hojin.

Hojin pula yang bertugas menarik upeti atau uang "ijon" dari para calon rekanan pelaksana proyek di daerah tersebut.

"Terdakwa laporkan ke Yahya dan oleh Yahya diserahkan ke pihak lain sebesar sebesar Rp 2,03 miliar. Lalu Rp 400 juta diserahkan ke pihak lain," kata Jaksa KPK Fitroh Rocahyanto, Senin (2/7/2018).

Sumber : KOMPAS.com (Nazar Nurdin)

Jumat, 19 Oktober 2018

PERS RELEASE TERKAIT PEMBERITAAN PENGHARGAAN PBB UNTUK IPDA. ROCHMAT TRI MARWOTO, SH



Terkait pemberitaan simpang siur tentang pemberian penghargaan dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk anggota Brimob Polri atas nama Ipda. Rochmat Tri Marwoto, SH yang bersamaan dengan acara Peresmian Mushala Ar Razi dan Asrama Yatim Ginaris di Madiun, Senin 15 Oktober 2018, maka kami dari BINs (Bhayangkara Indonesia News) memberikan klarifikasi dan penjelasan sebagai berikut :

1. Ipda. Rochmat Tri Marwoto, SH adalah benar-benar anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Kesatuan Brimob Polda Jawa Timur yang inspiratif dan humanis dengan aktivitas sosialnya menampung, merawat dan mendidik anak-anak yatim di sekitar tempat tinggalnya dalam Asrama Yatim Ginaris.

2. Acara utama Hari Senin, 15 Oktober 2018 di kediaman Ipda. Rochmat, Desa Klagenserut, Jiwan, Madiun adalah peresmian Mushala Ar Razi dan Asrama Yatim Ginaris yang dikelola oleh Ipda. Rochmat. Diresmikan oleh Kapolda Jawa Timur, Irjen. Pol. Drs. Luki Hermawan, M.Si didampingi Ketua Bhayangkari, Nyonya Atik Luki Hermawan.

3. Kehadiran Bapak Lodewyk Pasulatan dan pemberian plakat berlogo United Nations yang menimbulkan polemik di media adalah atas inisiatif BINs dan tanggung BINs sepenuhnya, dengan kronologi sebagai berikut :

a)  BINs adalah salah satu media yang concern mengangkat berita aktivitas Ipda. Rochmat dan mendampinginya dalam beberapa wawancara di stasiun televisi nasional, Jakarta.

b) Melihat dan memperhatikan aktivitas Ipda. Rochmat yang peduli dengan anak-anak, BINs berinisiatif mengontak PBB agar ada perhatian dan support, karena selama ini Ipda. Rochmat mengeluarkan dana sendiri untuk mengurus puluhan anak yatim.

c) Awalnya kami menghubungi Bp Lodewyk Pasulatan yang bekerja di UNIC (United Nations Information Center), lembaga PBB yang menurut BINs sebagai penghubung dengan dunia media atau pers baik lokal maupun internasional.

d) Oleh Bapak Lodewyk, BINs diarahkan untuk kirim surat ke UNICEF (United Nations Childrens Fund), badan dunia PBB yang mengurusi anak-anak.

e) BINs mengirim surat resmi kepada UNICEF yang ada di Jakarta, untuk hadir melihat dan memberi support pada kegiatan Ipda. Rochmat di kediamannya. Perlu dicatat : untuk hadir, bukan memberi penghargaan.

f) Secara lisan dalam pertemuan dengan BINs, pihak UNICEF siap mengirimkan dua orang perwakilan untuk mengunjungi kediaman Ipda. Rochmat, bersamaan dengan acara Peresmian Mushala dan Asrama Yatim Ginaris, Senin 15 Oktober 2018.

g) Konfirmasi kehadiran utusan UNICEF pada acara peresmian Mushala dan Asrama Yatim, BINs sampaikan ke Ipda. Rochmat dan Kasat Brimob kemudian diteruskan ke Kapolda Jatim.

h) Hari Jumat, tanggal 12 Oktober, UNICEF mengirim surat kepada BINs, memberitahukan bahwa mereka meminta maaf karena situasi darurat di Palu, gempa dan tsunami, mereka tidak bisa mengirimkan orang untuk menghadiri acara tersebut (peresmian mushala dan asrama yatim di Madiun).

i) BINs memang sempat kecewa dan panik atas pembatalan tersebut, karena sudah ada persiapan penyambutan dari panitia di Madiun (Sat Brimob dan Polda Jatim).

j) BINs berkonsultasi kembali dengan Bapak Lodewyk untuk mencari solusi. Akhirnya untuk menjaga nama baik BINs, PBB dan Polri, beliau bersedia hadir atas nama pribadi untuk mengobati kekecewaan.

k) BINs berinisiatif membuat plakat ucapan selamat (bukan penghargaan /award), dengan logo dan tulisan UNIC tempat Pak Lodewyk bekerja, untuk diserahkan kepada Ipda. Rochmat.

l) Memang benar, kehadiran Lodewyk Pasulatan ke acara tersebut adalah dalam kapasitas pribadi sebagai salah satu pegawai di UNIC, bukan atas nama UNIC atau PBB. Biaya perjalanan Lodewyk dari BINs, bukan dari kantor UNIC.

m) Jadi, penempatan logo PBB pada plakat ucapan selamat adalah murni inisiatif BINs dan segala resikonya adalah tanggung jawab BINs.

n) Atas ketidaknyamanan dan polemik yang terjadi di media massa, BINs meminta maaf kepada semua pihak yang telah dibuat repot, yaitu UNIC Perwakilan Indonesia, UNICEF, PBB, Polda Jawa Timur, Sat Brimob, dan keluarga besar Ipda. Rochmat.

o) BINs akan mengirim surat permintaan maaf resmi kepada semua pihak yang telah direpotkan dan dibuat tidak nyaman.

p) Terkait keberadaan Lodewyk Pasulatan sebagai pegawai UNIC yang sudah berhenti sebagaimana dalam rilis resmi UNIC adalah masalah internal antara Lodewyk dan UNIC.

q) Kepada semua pihak, BINs berharap untuk menyudahi semua polemik yang terjadi, tidak memelintir berita dan statemen apapun.

Demikian pers release ini kami buat, agar ada kejelasan berita simpang siur terkait penghargaan PBB untuk Ipda. Rochmat Tri Marwoto, SH.

Terimakasih
Jumat, 19 Oktober 2018


Arif Yuswandono
(Kabid. Brand Image Polri & Partnership pada BINs)




Rabu, 10 Oktober 2018

INDONESIALEAKS DAN HILANGNYA "PUBLIC ETHICS" Oleh : Arief Luqman El Hakiem *)



Beberapa hari ini publik tanah air khususnya kalangan netizens disuguhi berita heboh dengan judul "Buku Merah Yang Disobek". Indonesialeaks merilis hasil investigasi mengenai perkara dugaan suap yang menjerat mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar dan pengusaha impor daging Basuki Hariman.

Dalam kasus itu ada dugaan aliran dana ke petinggi Polri, yang tercatat dalam buku bank bersampul warna merah. Termasuk aliran ke Kapolri, Jenderal Polisi Tito Karnavian yang waktu itu tahun 2016 menjabat sebagai Kapolda Metro Jaya.

Tak lama berselang, Bambang Widjojanto, mantan komisioner KPK mengeluarkan 11 satemen dramatis dalam sebuah pers release untuk mengomentari hasil investigasi Indonesialeaks. Secara bersamaan, Dewan Kehormatan PAN, Amien Rais juga mengeluarkan ancaman akan membongkar dua kasus besar, ketika dirinya dipanggil penyidik Polda Metro Jaya sebagai saksi kasus Ratna Sarompaet.

Secara pribadi saya melihat kasus ini lebih bernuansa politis dari pada aspek hukum. Ini adalah kasus lama yang hendak dikorek kembali untuk kepentingan Pemilu dan Pilpres 2019. Ambisi politik dan kekuasaan menjadikan beberapa pihak menghalalkan segala cara, meski harus melanggar etika dan moral.

Indonesialeaks dan perilaku yang ditunjukkan beberapa publik figur hari-hari ini membuka kesadaran kita bahwa political ethics dan public ethics telah hilang di negeri ini. Apa yang dilakukan oleh Bambang Widjojanto dan Amien Rais adalah fenomena puncak gunung es hancurnya etika dan moral para politisi Indonesia saat ini.

Secara spesifik Collins Cobuild (1990:480) mendefinisikan etika sebagai “an idea or moral belief that influences the behaviour, attitudes and philosophy of life of a group of people”. Oleh karena itu konsep etika sering digunakan sinonim dengan moral.

Ricocur (1990) mendefinisikan etika sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil.

Dengan demikian etika lebih difahami sebagai refleksi atas baik/buruk, benar/salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan.

Etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia, atau cabang filsafat yang membahas prinsip-prinsip moralitas politik. Etika politik sebagai ilmu dan cabang filsafat lahir di Yunani pada saat struktur-struktur politik tradisional mulai ambruk.

Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Ethes” atau "Ethos" yang berarti kesediaan jiwa akan kesusilaan, atau dapat diartikan kumpulan peraturan tentang kesusilaan. Dengan kata lain, etika politik merupakan prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku dalam berpolitik.

Etika politik juga dapat diartikan sebagai tata susila (kesusilaan), tata sopan santun (kesopanan) dalam pergaulan politik. Dalam praktiknya, etika politik menuntut agar segala klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada prinsip-prinsip moral dasar. Untuk itu, etika politik berusaha membantu masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata.

Karena ideologi bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka etika politik yang dibangun harus bersumber dari nilai-nilai ajaran Pancasila. Prinsip-prinsip dasar seperti tepo seliro, tenggang rasa, gotong royong, musyawarah mufakat, keadilan, hingga persatuan dan kesatuan dalam bingkai ketuhanan tidak boleh dipisahkan dari etika politik Indonesia.

Dalam kasus buku bank bersampul warna merah, kita melihat betapa rendahnya etika publik dicampakkan oleh Indonesialeaks dan Bambang Widjojantopara yang notabene sebagai pernah memimpin lembaga anti rasuah, KPK.

Indonesialeaks sendiri merupakan platform bersama untuk menghubungkan pembocor informasi/whistle blower dengan media. Platform dengan alamat Indonesialeaks.id itu digagas empat lembaga, yaitu Free Press Unlimited (FPU), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Tempo Institute dan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN).

Alur kerja dari Indonesialeaks ini kurang lebih mengadopsi alur kerja dari pembuatan Panama Papers dan Wikileaks (yang sekarang). Publik dapat mengirimkan dokumen-dokumen penting nan rahasia ke platform ini. Di negara asalnya Belanda, platform ini bernama Publeaks, sedang di Meksiko bernama Mexicoleaks, dan di Nigeria bernama Leaks.ng.

FPU adalah organisasi non-pemerintah yang berpusat di Amsterdam, Belanda. Organisasi ini dibentuk pada 28 April 2011 dari penggabungan antara Free Voice dan Press Now. Pada 1 Juni 2011, departemen Proyek Internasional RNTC bergabung dengan organisasi baru ini.

Ada tiga argumen fundamental hingga membuat saya berani menyimpulkan bahwa Indonesialeaks, Bambang Widjojanto dan Amien Rais telah merusak etika publik dan melanggar etika politik Pancasila.

1. Memvonis Sebelum Mengadili

Apa yang dilakukan oleh Indonesialeaks dan media kompatriotnya adalah bentuk pembunuhan karakter, negative campaign dan tidak bermoral. Sebagai gabungan beberapa media dan LSM, mestinya Indonesialeaks menjunjung tinggi azas obyektivitas dan proporsionalitas.

Tanpa menghiraukan pihak lain, rilis Indonesialeaks sudah terkesan memvonis dan menggiring opini publik bahwa yang disebutkan benar-benar bersalah dan korup. Ini sangat berbahaya dan menyulut kegaduhan, memunculkan kecurigaan dan saling tuduh.

3. Serangan Brutal Bambang Widjojanto dan Amien Rais

Bambang Widjojanto dan Amin Rais adalah tokoh dan profesional pada bidangnya masing-masing. Secara pribadi saya respek dan menaruh hormat. Namun dalam kasus ini, saya mohon maaf harus mengkritik dan berbeda pandangan. Keduanya bukan lagi dan rasul yang maksum, terbebas dari salah dan khilaf.

Pers rilis yang dikeluarkan Bambang sangat kasar dan brutal. Lebih merupakan provokasi dari pada bentuk upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Sebagai aktivis yang pernah memimpin KPK, Bambang tentu sangat mengerti cara kerja, prinsip dan SOP di KPK. Lembaga ini bekerja tidak berdasar tekenan publik dan intervensi politik.

Jika memang benar Bambang dan Amien Rais punya bukti kasus korupsi, datang san lapor saja langsung ke KPK. Tidak perlu teriak-teriak di media, seolah-olah sedang berkampanye dan mencari dukungan.

Bekerjalah dalam senyap dengan hasil mantap, sebagaimana falsafah luhur "nggrudug tanpa bala, menang tanpa ngasorake". Apa yang dilakukan Bambang dan Amien Rais adalah cara aktivis jalanan, bukan cara elegan layaknya tokoh panutan.

3. Adu Domba dan Kegaduhan di Tahun Politik

Tahun ini bangsa Indonesia menghadapi tahun politik, yakni Pileg dan Pilpres 2019, yang 23 Agustus kemarin telah memasuki masa kampanye. Suhu politik mulai memanas, persaingan antar kandidat caleg maupun capres tidak jarang menjadi gesekan sosial.

Apa yang dilakukan Bambang Widjojanto dan Amien Rais tentu menambah panas suhu politik dan memperuncing friksi di tengah masyarakat. Publik seharusnya disuguhi diskusi dan perilaku politik yang berkelas, bukan diajak untuk saling curiga, menebar kebencian dan hoax.

Yang lebih parah, pers rilis yang dikeluarkan Bambang berpotensi memecah belah dan mengadu domba antar lembaga penegak hukum. Institusi Polri dan KPK punya pengalaman pahit ketika dibenturkan dalam episode yang dikenal istilah Cicak versus Buaya.

Seharusnya itu jadi pengalaman yang diambil pelajaran, bukan malah menguak luka lama dengan statemen provokatif dan agitatif ala demonstran jalanan. Bambang harusnya tahu betul dampak dari statemen yang dia keluarkan bisa berpotensi munculnya Cicak vs Buaya jilid III.

Sebagai publik figur seharusnya Bambang Widjojanto dan Amien Rais memberi teladan dalam bersikap, menjunjung tinggi public ethics, berpikir wise dan selektif. Namun kenyataannya sekarang, kita dapati sebuah  perilaku politik yang kurang etis dan kurang bermoral, jauh dari kata berkelas dan berkualitas.

Kita akan malu jika membandingkan dengan etika politik yang ditunjukkan para tokoh dan pemimpin dunia seperti Presiden Barack Obama, Recep Tayip Erdogan, Vladimir Putin, termasuk Sang Proklamator Presiden Soekarno serta para politisi pendiri bangsa Indonesia.

Pemilu 2019 bukan ajang menebar kebencian dan hoax. Pilpres 2019 adalah momentum untuk memilih pemimpin yang berkelas dan berkualitas, yang tegas dan berwibawa, yang memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam mengambil keputusan, yang mencintai dan melindungi rakyatnya dengan tulus ikhlas. 

Pemimpin yang mampu membawa rakyat negeri ini menjadi bangsa yang terhormat dan berdaulat, dihormati dan disegani, negara yang adil dan makmur sebagimana cita-cita seluruh rakyat Indonesia, mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

MARI WUJUDKAN PEMILU 2019 AMAN DAMAI DAN SEJUK

Salam Indonesia Raya

*) Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Jumat, 27 Juli 2018

KEBUMEN YANG MAKIN MENUA (Refleksi 389 Tahun Kebumen, 21 Agustus 1629 - 2018)

Plt Bupati Kebumen, KH Drs Yazid Mahfudz

Tahun ini, 2018, Kabupaten Kebumen akan memperingati hari jadinya yang ke 389. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang diperingati tiap tanggal 1 Januari, hari jadi kota yang berjuluk Kebumen Beriman ini untuk pertama kalinya diperingati pada tanggal 21 Agustus.
Setelah melalui proses yang cukup panjang, dikaji dari aspek sejarah, sosial budaya hingga pertimbangan politik, akhirnya kalangan eksekutif dan legislatif Kebumen menyepakati perubahan hari jadi, dari sebelumnya 1 Januari 1936 menjadi 21 Agustus 1629. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah tentang Penetapan Hari Jadi Kabupaten Kebumen yang diundangkan awal tahun 2018 ini.
Penetapan 21 Agustus 1629 sebagai Hari Jadi Kebumen didasari atas peristiwa besar dan bersejarah dimana Sultan Agung Mataram melakukan penyerbuan besar-besaran kepada VOC belanda di Batavia (Jakarta). Kebumen yang waktu itu bernama Pandjer menjadi basis strategis untuk penggalangan tentara dan dukungan logistik.
Adalah Ki Ageng Bagus Bodronolo yang menjadi tokoh penting dalam perekrutan ribuan tentara asal Pandjer dan sekitarnya untuk memperkuat pasukan Mataram. Ki Brodronolo juga berjasa besar menghimpun logistik dari rakyat Pandjer sebagai bekal para prajurit.
Dalam barisan tentara Mataram, Ki Bodronolo lantas diangkat sebagai Senopati yang bertanggung jawab atas logistik. Di kemudian hari, Ki Bodronolo diangkat sebagai Ki Gede Pandjer Roma I berkat jasa-jasanya terhadap Mataram.
Pertimbangan utama Pemkab Kebumen mengambil momen heroik tersebut tentu untuk membangkitkan jiwa patriotisme dan nasionalisme masyarakat Kebumen, terutama generasi mudanya. Di tengah kondisi sosial politik Kebumen yang memprihatinkan, momen hari jadi ini menjadi sangat penting dan strategis.
Ada dua isu besar yang menonjol di Kebumen tahun 2018 ini. Pertama adalah krisis kepemimpinan, dimana jajaran pejabat tinggi Kebumen banyak yang terjerat kasus korupsi dan menjadi tahanan KPK. kedua adalah rencana Pembangunan Kawasan Industri Kebumen (KIK) sebagai solusi mengejar ketertinggalan dari kabupaten lain di Jawa Tengah.
Korupsi menjadi penyakit kronis yang menjangkiti sebagian besar pejabat birokrasi Kebumen, baik kalangan eksekutif maupun legislatif. Ini menjadi salah satu akar masalah kemiskinan dan keterbelakangan Kebumen.
Rencana pembangunan KIK juga bukan tanpa hambatan. Kekurangsigapan jajaran birokrasi Kebumen menyiapkan infrastruktur regulasi keberadaan KIK, akan menjadi batu sandungan serius terwujudnya mimpi besar ini.
Belum lagi aspek sejarah, sosial budaya, dampak lingkungan dan ancaman pertahanan keamanan tidak dikaji secara matang. Pesisir selatan Kecamatan Petanahan yang diproyeksikan sebagai kawasan industri adalah daerah bumper yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia.
Pada masa penjajahan, pantai Petanahan pernah dijadikan tempat pendaratan kapal-kapal VOC yang mengangkut tentara Belanda untuk menghancurkan lumbung pangan dan gudang logistik prajurit Mataram.
Namun berkat kegigihan tentara Pandjer yang dipimpin oleh Ki Ageng Bodronolo, pasukan VOC dapat dihalau dan dipukul mundur dari pesisir Petanahan dan Urut Sewu. Momen hebat tersebut terjadi pada tanggal 17 Mei 1643. Tanggal tersebut juga sempat dipertimbangkan sebagai hari jadi Kebumen.
Jadi, kawasan pesisir selatan Kebumen yang membentang dari Kecamatan Ayah di barat sampai Kecamatan Mirit di timur sangat rawan untuk pendaratan kapal-kapal asing termasuk para penjajah.
Namun apapun itu, semua kembali pada para penguasa Kebumen yang memiliki kewenangan memutuskan. Kami masyarakat hanya berkewajiban mengingatkan dan meluruskan.
Semoga dengan momentum Hari Jadi Kebumen yang ke 389 dan meneladani patriotisme para prajurit Pandjer dibawah Ki Ageng Bodronolo, masyarakat Kebumen terutama para pejabatnya lebih bijak dan kesatria.
Salam Bhumi Tirta Praja Mukti
Salam GBK - Gerakan Bangkit Kebumen
Arief Luqman El Hakiem 
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Minggu, 22 Juli 2018

Logika Hukum Asas Praduga Tak Bersalah: Reaksi Atas Paradigma Individualistik

Praduga tersebut selanjutnya berhenti ketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian?

Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah

Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke-11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.

Di dalam sistem peradilan pidana ( criminal justice system /cjs) [1] berdasarkan sistem hukum Common Law (sistem adversarial/ sistem kontest), asas hukum ini merupakan prasyarat utama untuk menetapkan bahwa suatu proses telah berlangsung jujur, adil, dan tidak memihak (due process of law).

Asas praduga tak bersalah merupakan bagian yg tidak terpisahkan dari prinsip due process of law. Friedman(1994) menegaskan, prinsip ”due process” yang telah melembaga dalam proses peradilan sejak dua ratus tahun yang lampau, [2] kini telah melembaga di dalam seluruh bidang kehidupan sosial. Di sektor kesehatan dan ketenagakerjaan, jika distribusi hak rakyat atau buruh tidak dilakukan sesuai dengan kewajibannya maka akan disebut sebagai melanggar prinsip ”due process of law”.

Bahkan, prinsip tersebut telah menjadi bagian dari ”budaya (masyarakat) Amerika”, yang telah mengalami perubahan cepat sesuai dengan perubahan masyarakatnya dan perkembangan internasional yang terjadi sejak pertengahan abad 19 sampai saat ini. Konsekuensi logis dari asas praduga tak bersalah ini maka kepada tersangka atau terdakwa diberikan hak oleh hukum untuk tidak memberikan keterangan yang akan memberatkan/merugikan dirinya di muka persidangan ( the right of non-self incrimination ), dan untuk tidak memberikan jawaban baik dalam proses penyidikan maupun dalam proses persidangan ( the right to remain silent ).

Di dalam hukum acara pidana Belanda (1996), kepada tersangka/terdakwa hak seperti itu dijamin dan dilindungi sedemikian rupa sehingga jika penyidik memaksa keterangan dari tersangka/terdakwa, maka tersangka/terdakwa diberikan hak untuk mengajukan ”review” kepada ”examining judges” untuk memeriksa kebenaran ”review” dari tersangka/terdakwa. [3] Kita apresiasi tim perancang RUU KUHAP (2007), di bawah pimpinan Prof.Andi Hamzah telah memasukan ketentuan mengenai ”hakim komisaris” atau semacam ”examining judges” di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, yang bertugas mengawasi dan memeriksa penyalahgunaan wewenang ( abuse of power ) penyidik dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula, dimasukkan ketentuan di mana penuntut umum memiliki wewenang koordinatif dan supervisi terhadap proses penyidikan oleh penyidik kepolisian.

Akan tetapi, di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, juga pihak penuntut umum, wajib meminta pertimbangan ”examining judges” untuk memeriksa apakah kasus pidana tertentu yang bersifat berat, sudah memenuhi persyaratan bukti yang kuat untuk diajukan ke muka persidangan. [4] Bertolak dari KUHAP Belanda tersebut, jelas bahwa, sistem peradilan pidana yang berlaku telah mengadopsi sistem organisasi piramidal dengan sistem pengawasan berlapis. Hal tersebut dimungkinkan karena di dalam sistem hukum acara pidana Belanda, penuntut umum berada di dalam satu sistem organisasi kementrian kehakiman, dan kepolisian berada di bawah pengawasan penuntut umum.

Sistem hukum Acara Pidana Perancis (2000), kurang lebih sama dengan sistem hukum acara pidana di Belanda.

Menilik perkembangan ketiga sistem hukum acara pidana sebagaimana diuraikan di atas, tampak persamaan yang mencolok, yaitu lebih mengutamakan perlindungan atas hak individu, bukan hak kolektif (masyarakat), sekalipun anggota masyarakat atau masyarakat sebagai suatu kolektivitas, telah dirugikan oleh perbuatan tersangka.

Tafsir hukum atas Asas Praduga tak bersalah

Hak seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah) sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil maupun sisi materiel. Karena hak ini tidak termasuk ” non-derogable rights ” seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (non-retroaktif). Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak, praduga tak bersalah ; asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan Umum UU Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP.

Rumusan kalimat dalam Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004) dan Penjelasan Umum KUHAP, adalah: ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Rumusan kalimat di atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga tak bersalah di dalam Pasal 14 paragraf 2 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law”.

Kovenan tersebut tidak hanya menegaskan, harus dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan berdasarkan undang-undang; bahkan, tidak menegaskan juga masalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang tetap, sebagai batas toleransi seseorang dapat dinyatakan bersalah. Pembuktian kesalahan seseorang berdasarkan berdasarkan sistem hukum Common Law sering ditegaskan dengan bunyi kalimat, ” proven guilty beyond reasonable doubt”, yang berarti, ”(Dinyatakan) Bersalah berdasarkan bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali”; bandingkan dengan rumusan kalimat,” (Dinyatakan) Bersalah atas dasar putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Untuk mencegah tafsir hukum yang berbeda-beda di atas, tampaknya solusi realistik telah diberikan oleh Kovenan, yaitu dengan merinci luas lingkup atas tafsir hukum ”hak untuk dianggap tidak bersalah”, yang meliputi delapan hak, yaitu hak untuk diberitahukan jenis kejahatan yang didakwakan, hak untuk disediakan waktu yang cukup dalam mempersiapkan pembelaannya dan berkomunikasi dengan penasehat hukum; hak untuk diadili tanpa ditunda-tunda; hak untuk diadili yang dihadiri oleh yang bersangkutan; hak untuk didampingi penasehat hukum jika yang bersangkutan tidak mampu; hak untuk diperiksa dan memeriksa saksi-saksi yang berlawan dengan yang bersangkutan; hak untuk memperoleh penerjemah jika diperlukan; hak untuk tidak memberikan keterangan yang merugikan dirinya atau hak untuk tidak dipaksa mengakui perbuatannya.

Sejalan dengan Kovenan tersebut, asas praduga tak bersalah harus diartikan, selama terhadap seorang tersangka/terdakwa diberikan secara penuh hak-hak hukum sebagaimana dirinci dalam konvenan tersebut, maka selama itu pula perlindungan atas asas praduga tak bersalah telah selesai dipenuhi. Putusan pengadilan yang menyatakan seorang terdakwa bersalah yang didasarkan bukti-bukti yang tidak meragukan majelis hakim (akan kesalahan terdakwa), harus diartikan sebagai akhir dari perlindungan hukum atas hak terdakwa untuk dianggap tidak bersalah.

Perkembangan tafsir di Belanda dan Perancis

Di dalam menyikapi asas praduga tak bersalah dan prinsip ”due process of law”, paradigma yang menjiwai penyusunan KUHAPerancis (UU tahun 2000, tertanggal 31 Mei) ternyata lebih progresif dari KUHAP Belanda (UU tahun 1996, tertanggal 7 Oktober), dan KUHAP Indonesia (UU Nomor 8 tahun 1981). HAP Perancis telah memperkuat hak-hak tersangka/terdakwa dan hak-hak korban sekaligus.

Pasal 1. butir II HAP Perancis menegaskan sebagai berikut: ” The judicial authorities watches over the investigation and guarantee of the victim’s rights during the whole of the criminal procedure”. [5] Bahkan di dalam Butir III, HAP Perancis menegaskan: ” Any person suspected or prosecuted is presumed innocent as long as their guilt has not been established.” (perhatikan rumusan berbeda dengan UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2004, dan penjelasan umum KUHAP).

Namun pada rumusan berikutnya KUHAP Perancis menegaskan beberapa pembatasan atas asas hukum tersebut, sebagaimana disebutkan: “Measures of constraint that this person can be subjected to are taken by a decision, or under the effective control, of the judicial authority. They must be strictly limited to the needs of the procedure, proportionate to the gravity of the offence reproached and not attack the dignity of the person”.

Perbedaan perumusan konsep praduga tak bersalah antara HAP Indonesia, Perancis dan Belanda, sekalipun berbeda secara gradual, akan tetapi secara substansi memiliki makna yang sangat dalam terutama terhadap seseorang yang memiliki status tersangka/terdakwa. Apalagi dengan munculnya reaksi masyarakat yang penuh dengan proses stigmatisasi (Braithwaite, 1989). [6]

Berkaitan dengan pemaknaan tersebut, sering timbul diskursus mengenai sejauh mana konsep praduga tak bersalah dapat diterima atau dilimitasi sehingga dapat memenuhi ekspektasi keadilan baik oleh tersangka/terdakwa maupun oleh masyarakat (korban) tanpa harus ada salah satu pihak yang merasa diperlakukan tidak adil.

Jika dirunut kepada asal mula lahirnya konsep praduga tidak bersalah, maka konsep tersebut menganut paradigma individualistik [7] yang melindungi hak dan kepentingan pelaku kejahatan ( offender-based protection ) dan mengabaikan perlindungan atas hak dan kepentingan kolektif (masyarakat) yang menderita kerugian karena kejahatan itu. [8]

Konsep praduga tak bersalah dalam Deklarasi PBB tersebut tidak menempatkan kesetaraan perlindungan antara kedua subjek hukum di atas, sehingga memunculkan reaksi berkelanjutan mengenai pentingnya konsep tentang ”Hak dan Kewajiban Asasi”.

Sesungguhnya, Pasal 28 J UUD 1945 dan Perubahannya, telah menegaskan bahwa dalam pelaksanaan hak asasi tersebut, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Begitu pula, di Pasal yang sama, telah ditegaskan bahwa, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang, dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu –masyarakat demokratis.

Jika pemikiran di atas dihubungkan dengan prinsip ” due process of law ”, yang telah lahir dua ratus tahun yang lampau di Inggris dan dikembangkan secara pesat di dalam sistem hukum Amerika Serikat (Anglo-saxon), justru konsep prinsip praduga tak bersalah sejak awal kelahirannya tidak cocok dengan sistem kehidupan sosial bangsa Indonesia.

Bahkan secara implisit, dari sudut pandang UUD 1945, prinsip itu mengandung sifat "contradictio in terminis" karena selain mengandung prinsip ” fair and impartial trial ” bagi pihak tersangka/terdakwa, akan tetapi sekaligus juga mengandung prinsip , ” unfair dan partial trial ” terhadap pihak korban kejahatan.

Prinsip ”praduga tak bersalah” sedemikian itu sangat sulit diterima secara logika hukum terutama menghadapi kejahatan yang berdampak luas dan sistematik dengan korban fisik dan immateril yang luar biasa secara kuantitatif, seperti kasus kejahatan lingkungan, kejahatan terorisme, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, atau kasus illegal loging serta kasus kejahatan transnasional.

Rekonseptualisasi tafsir Asas praduga tak bersalah

Merujuk kepada filosofi dan substansi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945, justru konsep HAM Indonesia tidak murni menganut paham individualistik melainkan paham ”individualistik plus”, dalam arti hak dan kebebasan setiap orang dalam bingkai UUD 1945 harus diwujudkan untuk menciptakan harmonisasi kehidupan sosial, selain semata-mata demi dan hanya untuk kepentingan melindungi hak-hak individu. Dalam konteks UUD 1945, di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terminologi ”aku” dan ”engaku”, harus disublimasi menjadi, ”Aku dan Kita”. Kesemua itu harus ditujukan semata-mata untuk menciptakan kesejahteraan sosial bersama atau kesejahteraan sosial kolektif, bukan semata-mata individual.

Analisis tersebut di atas mendesak agar diperlukan re-konseptualisasi terhadap landasan pemikiran asas praduga tak bersalah, dan prinsip ” due process of law ” di dalam bingkai Negara Hukum Kesatuan RI. Berangkat dari analisis hukum atas konsep pemikiran tentang prinsip ”praduga tak bersalah” tersebut, maka sepatutnya asas ”praduga tak bersalah”, dalam konteks kehidupan hukum masyarakat Indonesia, ditafsirkan secara proporsional dan selaras dengan perubahan paradigma mengenai karakter sistem hukum pidana modern, yang telah bergeser dari paradigma lama, ”Daad-Dader Strafrecht” [9] kepada paradigma baru, ”Daad-Dader-Victim Strafrecht”.

Tafsir terhadap prinsip praduga tak bersalah, yang sejalan dengan perubahan paradigma tersebut di atas adalah, negara wajib memberikan dan memfasilitasi hak-hak seseorang yang di duga telah melakukan suatu tindak pidana sejak ditangkap, ditahan dan selama menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan baik pada tingkat pertama dan pada tingkat banding.

Praduga tersebut selanjutnya berhenti seketika pengadilan memutuskan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dihukum pidana sementara waktu dan atau pidana denda. Mengapa demikian? Karena proses pemeriksaan pengadilan yang ”fair and impartial” telah dilalui terdakwa dan dibuka seluas-luasnya terhadap terdakwa oleh pengadilan sehingga kemudian majelis hakim atas dasar alat-alat bukti yang disampaikan di persidangan dan keterangan saksi-saksi (a charge dan a de-charge) telah memunculkan keyakinan hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang telah mengakibatkan timbulnya korban baik kerugian materiel maupun imateriel. Status terdakwa yang dilindungi oleh asas praduga tak bersalah selesai setelah putusan pengadilan telah menyatakan terdakwa bersalah, sekalipun terdakwa mengajukan upaya hukum, banding atau kasasi.

Asas praduga tak bersalah seharusnya berbunyi: ”seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai dapat dibuktikan sebaliknya”
Penegasan asas praduga tak bersalah ini juga terkait dengan pendapat Cooter dan Ulen, yang membandingkan bagaimana sistem hukum ”Common Law” dengan sistem hukum ”Civil Law” menempatkan standar pembuktian. Dikatakannya bahwa, sistem hukum yang pertama menempatkan standar yang tinggi untuk pembuktian, sedangkan sistem hukum kedua tampak moderat dalam hal tersebut.

Standar yang tinggi dimaksud tampak jelas dari pandangan, menuntut seseorang yang tidak bersalah sangat buruk tampaknya dibandingkan dengan kegagalan menuntut seseorang yang bersalah; atau dengan adagium yang terkenal, ”lebih baik seratus orang yang bersalah dibebaskan dari pada seseorang yang tidak bersalah dihukum”.

Standar tinggi sistem pembuktian tersebut justru untuk menempatkan keseimbangan bagi kepentingan tersangka/terdakwa.

Sebaliknya sistem hukum kedua (Civil Law), berpandangan prinsipnya tersangka/terdakwa sudah dinyatakan bersalah kecuali dibuktikan sebaliknya. Rasio dari pandangan tersebut adalah negara (jaksa penuntut umum) tidak akan membawa seseorang tersangka/terdakwa ke hadapan pengadilan kecuali telah yakin akan kesalahan mereka.

Secara lebih jelas, dikatakannya, ” The rationale for the presumption of guilt is that the state would not bring charges unless it were certain of the defendant’s guilt. In this approach, the prosecutor helps strike the balance between convicting the innocent and failing to convict the guilty. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa, ”The Court acknowledge its confidence in the prosecutor by proceeding under the a presumption that the prosecutor was right unless the defendant prove otherwise”. [10]

Berangkat dari pendapat dan pandangan kedua sistem hukum tersebut di atas, maka rekonseptualisasi prinsip praduga tak bersalah yang disarankan penulis di atas masuk akal, proporsional, serta sesuai dengan prinsip keadilan yang bersifat distributif dan komutatif serta sejalan dengan perkembangan sistem hukum pidana modern saat ini. [11]

Di Belanda, perhatian terhadap korban kejahatan, selain kepada tersangka/terdakwa; telah diperkuat dengan UU tentang Kompensasi terhadap Korban Kejahatan tahun 1993 ( Criminal Injuries Compensation Act) yang menetapkan bahwa korban kejahatan dapat menuntut ganti rugi termasuk ahli warisnya di dalam proses peradilan pidana. UU tersebut sekaligus melindungi saksi-saksi pelapor dari ancaman pihak lain. [12]

Perubahan kebijakan hukum pidana Belanda (1996) dalam menghadapi kejahatan, yaitu, antara lain, telah mencantumkan ketentuan mengenai ”transactie” (transaksi) di dalam Pasal 74 KUHP Belanda (1996). Di dalam ketentuan itu, kepada penuntut umum telah diberikan diskresi untuk mencegah seseorang tersangka kejahatan serius didakwa di muka sidang pengadilan, kecuali untuk kejahatan yang diancam lebih dari 6 (enam) tahun. Persyaratan untuk memasuki tahap ini antara lain, tersangka telah membayar sejumlah uang kepada negara; mencabut hak kepemilikan tersangka atas harta benda tertentu; telah menyerahkan barang-barang yang menjadi objek penyitaan atau membayar sejumlah nilai barang tersebut kepada negara, atau telah memberikan kompensasi penuh atau sebagian kerugian yang disebabkan kejahatan yang telah dilakukannya. [13]

Perubahan konsep keadilan dari retributif kepada komutatif dan terakhir kepada keadilan restoratif, telah dianut dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan mengenai ”ganti rugi” bagi pihak yang dirugikan karena tindakan penangkapan atau penahanan oleh penyidik (Pasal 98 KUHAP) melalui mekanisme pra-peradilan. Selain itu juga terdapat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Ketentuan mengenai kompensasi dan restitusi dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Prof. Romli Atmasasmita,
Pakar Hukum Pidana dan Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran

[1] Konsep Sistem Peradilan Pidana atau “ Criminal Justice System”, yang terkenal dari Packer(1968), yaitu, model “Crime Control”, dan “Due Process” yang merupakan model antinomy normative. Selain itu, diakui, model rehabilitatif (Rehabilitative model), dari Griffith(1970); model birokratik (bureaucratic model) dari Reine (1993), dan model resotratif (restorative justice) dari Wright(1996),Fenwick(1997) [dikutip dari Clive Walker dan Keir Steimer, “Miscarriage of Justice; Blackstone Press Ltd, 1999;p.40].

[2] Lawrence M.Friedman, “Total Justice”; Russel-Sage Foundation; 1994: p.80-81

[3] P.J.P.Tak, “The Dutch Criminal Justice System”;Boom Juridische Uitgever; 2003; p.30

[4] ibid
[5] Catherine Elliot, “The French Criminal Law.; 2001;p.11-12

[6] John Braithwaite,di dalam karyanya, ”Crime, Shame and Reintegration” (1989) menyebutkan antara lain: “stigmatization is disintegrative shaming in which no effort is made to reconcile the offender with the community. The offender is outcast, her deviance is allowed to become a master status, degradation ceremonies are not followed by ceremonies to decertify deviance”(page 101).

[7] Perhatikan dan baca, Dekalarasi Universal Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia(1948); bandingkan dengan

[8] Perhatikan dan bacan, Bab XA UUD 1945, substansi Bab 28 A sd 28 I, dan Bab 28 J.

[9] J.Remmelink, “Hukum Pidana”:Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonsia”; Gramedia, 2003:dan Sudarto, “Hukum dan Hukum Pidana; 1963.

[10] Robert Cooter & Thomas Ulen, ”An Introduction of Law and Economics; Third Edition, Addison-Wesley; 2000; page 431

[11] Konsep Keadilan Aristoteles, yang menerangkan kesetaraan absolut, antara “damage” dan “compensation”, yang disebut olehnya sebagai “Commutative Justice”; dan kesetaraan relatif antara ”reward and punishment”, sebagai ”Distributive Justice”.(Dikutip dari, The Legal Philosophies of Lask, Radbruch,and Dabin”; Harvard University Press; 1950; page 74).

[12] P.J.P.Tak, op.cit, p.21
[13] The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar & Stafford Wadsworth; Rothman & Co, Coloradi, 1997 p.87.