Cari Blog Ini

Jumat, 29 September 2017

Debt Collector dan Perusahaan Leasing Bisa Dipidana

JAKARTA — (30/9/2017) Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Fidusia dianggap masih belum tersosialisasi dengan baik. Nyatanya, masih banyak perusahaan pembiayaan atau leasing menggunakan jasa pihak ketiga debt collector mengeksekusi.

Kepolisian bakal menindak tegas pihak ketiga bahkan perusahaan bekerja sama dengan Debt Collector bakal diperiksa dan dijerat kasus pidana. Hal itu tertuang dalam seminar bertema “Teknis dan Strategi Dalam Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia” belum lama ini.

“Meskipun aturan ini sudah ada sejak 2011, namun pada praktiknya di lapangan belum sepenuhnya dilaksanakan. Masih banyak perusahaan pembiayaan yang menggunakan jasa pihak ketiga. Dan ini justru menimbulkan masalah baru lagi,” tutur Kanit III Fiskal, Moneter Devisa Ditreskrimsus Polda Metro Jaya, Kompol I Ketut Sudarma.

Kompol Sudarma berharap lembaga leasing melakukan langkah-langkah yang tepat saat nasabah mengalami masalah tunggakan kredit. Menurutnya, sudah ada prosedur yang ditetapkan yang tertuang dalam Perkap.

“Saya kira hanya kurang komunikasi. Perusahaan pembiayaan harusnya berkoordinasi dengan pihak kepolisian ketika melakukan eksekusi, bukan justru menyewa pihak ketiga yang menjalankan prosedur sekehendak mereka, misalnya dengan melakukan intimidasi, perampasan bahkan tindakan penganiayaan ketika melakukan eksekusi fidusia,” tegas Kompol Sudarma.

Sementara itu, Karopenmas Humas Polri Brigjen Pol Rikwanto menambahkan, debt collector (penagih utang) mengeksekusi dengan kekerasan tidak dibenarkan dan bahkan tindakan Pidana.

Brigjen Pol Rikwanto mencontohkan, maraknya aduan mengenai dugaan perampasan dengan kekerasan dikenal oleh Mata Elang justru berujung pada pelanggaran pidana.

“Mereka beroperasi di jalan-jalan, mencari kendaraan yang nunggak angsuran. Kemudian mereka mengejar, mencegat dan mengambil kendaaraan. Jika pemilik kendaraan lakukan perlawanan, tidak jarang ada tindak kekerasan dan debitur membuat laporan ke polisi. Sudah banyak yang kami tangkap dengan pasal perampasan dan kekerasan,” kata Brigjen Pol Rikwanto.

Perusahaan pembiayaan atau leasing menugaskan pihak ketiga itu bisa ikut diperiksa bahkan tidak menutup kemungkinan bisa ikut terjerat pidana.

“Sebaiknya tinggalkan cara-cara seperti itu. Justru bisa jadi panjang masalahnya,” tegas Brigjen Pol Rikwanto.

Menurut Director of Business Kredit Plus Hery Susanto Dermawan berharap terjadi keselarasan pemahaman antara team lapangan Kredit Plus dengan pihak kepolisian.

“Dimana ketika terjadi keselarasan pemahaman antara kami dengan pihak kepolisian dalam pelaksanaan, menjadi lebih efektif sesuai dengan Peraturan Kapolri dan seluruh aturan yang berlaku,” jelasnya.

Ia mengungkapkan, sejauh ini pihaknya dalam melakukan eksekusi fidusia selalu memerhatikan ketentuan yang ada, dengan lebih dulu memberikan surat peringatan pertama hingga ketiga.

“Kami lakukan secara persuasif, dengan memberikan surat peringatan pertama hingga ketiga. Kemudian diwakili lawyer kami juga kirimkan semacam surat somasi yang di situ menjelaskan mengenai dampak-dampak yang akan ditimbulkan apabila debitur tidak melunasi tunggakan kreditnya. Kami juga libatkan aparat kepolisian di setiap daerah,” jelasnya. (Tribun Pos).

Editor : Sandi Pusaka Herman

Kamis, 28 September 2017

Tips Mengenali Hoax

Peredaran berita hoax di media sosial (medsos) semakin marak. Kita sebagai warganet, tentu harus cerdas memilah informasi mana yang asli, serta informasi mana yang dikategorikan berita bohong.

Pasalnya, jika berita hoax dibiarkan 'mewabah', keberadaannya jelas mengancam masyarakat karena menebar informasi yang tidak benar. Mirisnya lagi, kita belum punya cara pasti untuk bisa membedakan jenis informasi mana yang akurat dan yang hoax .

Nah , Tekno Liputan6.com akan kembali memberikan tips khusus bagi kamu supaya bisa membedakan berita asli atau hoax .

Seperti apa caranya?

Berikut tips-nya sebagaimana disampaikan langsung dari Praktisi Anti Hoax dan Alumnus TI ITB Dimaz Fathroen.

Elemen Berita Hoax

Pastikan berita yang kamu baca tidak memiliki kalimat-kalimat yang janggal, seolah persuasif dan memaksa seperti: "Sebarkanlah!", "Viralkanlah!", dan sejenisnya. Artikel penuh huruf besar dan tanda seru pun disinyalir mengandung informasi hoax.

Tak cuma itu, artikel berita hoax biasanya juga merujuk pada kejadian dengan istilah seperti kemarin, dua hari yang lalu, seminggu yang lalu. Tak ada tanggal dan hari yang jelas.

Artikel bahkan tak jarang mengklaim sumbernya berasal dari sumber yang tidak terpercaya. Seringkali juga, artikel hoax biasanya lebih merupakan opini dari seseorang, bukan fakta.

Pastikan kamu verifikasi sumber dan konten berita dengan mencarinya di Google. Cari tema berita secara spesifik dengan kata hoax di belakangnya.

Biasanya, kalau memang benar itu hoax , akan muncul artikel pembahasan terkait.

Kamu dapat memastikan sumber dari foto yang diunggah di artikel berita terkait. Jadi, kamu bisa mengecek kembali apakah foto tersebut asli atau tidak. Caranya cukup mudah, kamu hanya perlu memanfaatkan tool milik Google, yaitu Google Images.

Pertama-tama, buka laman Google Images.

Nah, sekarang coba simpan foto berita hoax yang ingin kamu verifikasi dengan cara melakukan screenshot artikelnya.

Lalu, di laman Google Images, kamu bisa sisipkan foto yang disimpan dengan cara drag foto tersebut ke kolom pencarian.

Setelahnya, akan muncul hasil pencarian yang menampilkan situs pertama yang mengunggah foto tersebut. Situs ini akan muncul pada posisi pencarian paling atas.

Dari sini kamu bisa mengetahui siapa yang menyebarkan gambar tersebut pertama kali. Cari tahu apakah situs web yang menyebarkan gambar itu kredibel atau tidak.

Cek dengan Aplikasi

Kamu pun bisa mengecek artikel hoax dengan aplikasi khusus bernama Hoax Analyzer. Untuk lebih lengkap, kamu bisa ke tautan ini .

Selamat mencoba!
(Jek/Cas)

Sabtu, 16 September 2017

RUMAH SAKIT TIDAK BOLEH MENOLAK PASIEN GAWAT DARURAT !!!!

Sahabat Maspolin terkasih...

Prihatin dan duka mendalam atas meninggalnya bayi Tiara Debora. Sebelum meninggal, bayi Tiara Debora sempat ditolak di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Kalideres, Jakarta.

Semoga ini menjadi pelajaran dan peringatan buat kita semua. Khususnya pemerintah, pengelola rumah sakit dan masyarakat luas.

Buat menambah wawasan sahabat Maspolin semua, kami sajikan artikel seputar rumah sakit dan pasien gawat darurat...

Silakan baca dan share !!!

Apakah rumah sakit boleh menolak atau meminta uang muka kepada pasien saat dalam keadaan darurat/kritis?

TIDAK BOLEH !!!

Dasar hukumnya Pasal 32 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan), berbunyi:

Pasal 32 ayat 1: “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan pencatatan terlebih dahulu.”

Pasal 32 ayat 2: “Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka”

Selain itu Pasal 29 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit) yang mengatur tentangKewajiban Rumah Sakit, dengan tegas menyatakan Rumah sakitwajib memberikan fasilitas pelayanan pasien gawat darurat tanpa uang muka.

Selengkapnya Pasal 29 ayat (1) huruf f: “Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban: melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin,pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;”  

Berdasarkan bunyi pasal di atas, jelas bahwa dalam keadaan darurat rumah sakit seharusnya tidak bolehmenolak pasien dan/atau meminta uang muka, sebab dalam keadaan darurat/kritis yang menjadi tujuan utama adalah penyelamatan nyawa atau pencegahan pencacatan terlebih dahulu.

II. Apa langkah hukum yang bisa diambil pasien, apabila rumah sakit menolak atau atau meminta uang muka kepada pasien padahal sedang dalam keadaan kritis/darurat?

Pasien bisa menuntut Rumah Sakit baik secara perdata maupun secara pidana. Dasar hukumnya, Pasal 32 huruf q Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU Rumah Sakit), berbunyi: “Setiap pasien mempunyai hak: menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana;”.

Secara perdata, Pasien bisa mengajukan gugatan ke pengadilan atau melalui Badan penyelesaian sengketa konsumen terhadap rumah sakit yang akibat tindakannya telah merugikan pasien (lihat juga pasal 1365 KUH Perdata)

Atau bisa juga menempuh jalur pidana dengan melaporkan pimpinan rumah sakit dan/atau tenaga kesehatannya ke polisi.

Dasar hukumnya Pasal 32 ayat 2 jo Pasal 190 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, berbunyi:

Pasal 32 ayat 2:

“Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swastadilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka”

Pasal 190 ayat (1):

“Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Ayat (2):

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Berdasarkan pasal di atas, jelas bahwa pimpinan rumah sakit dan/atau tenaga kesehatan yang menolak pasien dan/atau meminta uang muka, dapat dituntut secara pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak dua ratus juta rupiah. Dan apabila hal tersebut menyebabkan terjadinya kecacatan atau kematian pada pasien, maka ancaman pidananya lebih berat yaitu pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.

Sekian semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

[1] Pasal 1 angka 2 UU Rumah Sakit:“Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.”

[2] Pasal 1 angka 1 UU Rumah Sakit:“Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.”

~ dari berbagai sumber ~