Cari Blog Ini

Kamis, 05 April 2018

Medsos ; Dari Hoax Menuju Konflik Sosial



Di Amerika Serikat, kabar bodong (hoax) dianggap sebagai salah satu unsur paling beracun dalam Pilpres 2016 lalu. Studi tim Universitas Stanford menyebut berita hoax yang dianggap merugikan pencalonan Hillary Clinton ‘dimakan’ pendukung Donald Trump dan menyebar 30 juta kali di medsos. Sebaliknya berita bohong tentang Trump dibagikan belasan juta kali oleh pendukung Clinton. Sirkulasi puluhan juta kali hoax ini diduga mempengaruhi hasil akhir sehingga Trump menang.

Di Kabupaten Indramayu, 10 Januari 2017 lalu, ratusan warga dari Desa Parean Girang, Bulak, dan Illir, Kecamatan Kandanghaur, menyerang Desa Curug karena terprovokasi kabar hoax.

Memang tak ada korban jiwa, tapi peristiwa itu menyebabkan 90 rumah mengalami kerusakan. Dasar penyerangan itu karena adanya provokokasi di media sosial yang mengatakan warga Curug menantang warga Parean.

Adanya fenomena konflik yang bersumber dari hoax dan ujaran kebencian di media sosial merupakan persoalan serius di era digital tanah air. Masyarakat sudah terlanjur menggunakan gawai dan media sosial sementara kemampuan mengunyah informasinya masih sangatlah buruk.

Alhasil, mereka mudah tersulut dengan informasi hoax dan ujaran kebencian tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu. Sekali pencet menggunakan jempol, masyarakat begitu mudahnya menyebarkan informasi ke komunitasnya. Perkara benar atau salah itu urusan nanti.

Saat ini, kita tentu khawatir berita palsu merusak pesta demokrasi  2018 / 2019 dan mengancam keutuhan NKRI, karena sederhananya pola penyebaran. Dalam platform Facebook misalnya, sangat mudah menemukan kabar dengan tingkat kebenaran sumir di sisi kanan layar yang merupakan materi berbayar--baik iklan maupun berita.

Usulan mengenakan denda muncul dari pemikiran: karena fake news merupakan dampak teknologi yang diciptakan Facebook, maka pemilik teknologi yang mesti bertanggung jawab mengatasi. Sejenis logika 'kau yang mulai kau yang mengakhiri.'

Partai Sosial Demokrat Jerman telah mengusulkan denda maksimal 500.000 euro (Rp7 miliar lebih) untuk tiap kabar bohong yang beredar di Facebook lebih dari 24 jam. Usulan itu telah dibahas di parlemen Jerman dan menjadi Undang-Undang yang dikenal dengan nama Facebook Law.

Google juga sudah bertahun-tahun dianggap punya reputasi jelek membiarkan sirkulasi berita palsu dalam gudang datanya. Termasuk di antaranya, Google dianggap berperan menyebar kabar kebencian (hate speech) dengan algoritma yang dipakai pada mesin pencarinya. Kata kunci pencarian ‘Allahu Akbar’ misalnya, akan merujuk pada laman Wikipedia yang menjelaskan arti kata itu, diikuti tiga berita terkait teratas yang seluruhnya mengaitkan seruan takbir itu dengan aksi terorisme.

Bos Apple, Tim Cook, mengakui perusahaan teknologi mestinya bisa menciptakan alat penyaring hoax dan bukan cuma diam membiarkan komplain berdatangan bertubi-tubi. Setelah meraih asset sampai triliunan dollar dari ledakan pengguna medsos (termasuk dari peredaran berita setengah palsu dengan model click bait, raksasa teknologi tidak bisa pura-pura bego membiarkan aplikasinya jadi sumber kebohongan dan kebencian.

Desember lalu Facebook mengumumkan insiatif anti-hoax-nya yang di-posting langsung oleh sang juragan, Mark Zuckerberg. Bermitra dengan pihak ketiga (termasuk FactCheck.Org dan ABC News), Facebook mengklaim mengubah skema pelaporan berita palsu menjadi lebih mudah. Setelah dilaporkan, berita yang dicurigai palsu akan dicek dan bila tak lolos verifikasi akan diberi tanda khusus. Meski masih bisa di-share, pengguna akan diingatkan soal kesahihan berita tersebut sebelum membaginya dalam jaringan Facebook. Berita yang sudah diberi tanda tak bisa masuk kategori promosi maupun iklan.

Sayangnya, proses verifikasi ini bisa bermasalah. Bagimana kita tahu pihak ketiga yang jadi mitra Facebook berlaku lurus dan tak partisan--sebagian dari mitra ini adalah media dan lembaga yang mungkin punya kecondongan politik tertentu. Menyerahkan penyaringan berita pada mereka bisa berarti membiarkan sensor berita dan kebebasan berpendapat di platform Facebook. Alih-alih menyelesaikan persoalan hoax, proses ini bisa jadi membawa persoalan baru. Mirip Dewan Pers yang menetapkan barisan media dengan cap ‘terverifikasi’ dimana beberapa media justru dipertanyakan keabsahannya, sementara media yang selama ini relatif dipercaya publik malah tak muncul namanya.

Dalam beberapa tulisan dan kesempatan diskusi saya pernah mengusulkan agar pemerintah Indonesia menerapkan denda atau sanksi berat kepada perusahaan pengelola media sosial yang terbukti membiarkan beredarnya hoax dalam aplikasi mereka. Perusahaan pengelola media sosial juga wajib megalokasikan dana CSR (Corporate Social Responsiblity) untuk kegiatan literasi dan penanggulangan dampak hoax.

Kali ini, secara tegas saya kembali mengusulkan kepada pemerintah Indonesia untuk mengakomodir materi literasi media masuk dalam kurikulum pendidikan. Pengenalan tentang media, konten hoax, ujaran kebencian dan penggunaan medsos secara sehat dan bijak harus ditanamkan sejak dini kepada para peserta didik. Etika bermedia sosial sama pentingnya dengan etika makan, minum dan bergaul. Kesalahan menggunakan media sosial menjadi titik awal kerusakan yang lebih besar, yaitu konflik sosial dan kehancuran bangsa. (Arief Luqman El Hakiem / Bhayangkara Indonesia News / Maspolin / Blogger Polri).