Cari Blog Ini

Senin, 18 Juni 2018

TNI-POLRI DALAM PUSARAN KEKUASAAN

Polemik seputar penunjukkan anggota TNI-Polri aktif sebagai PJ (Penjabat) Kepala Daerah /Gubernur memasuki babak baru. Hari ini, Senin (18/6), Mendagri Tjahjo Kumolo melantik Komjen. Pol. Mohammad Iriawan sebagai PJ Gubernur Jawa Barat dan Irjen. Pol. Carlo Brix Tewu sebagai PJ Gubernur Sulawesi Barat. Keduanya adalah jenderal polisi aktif meski tidak menduduki jabatan struktural di Institusi Polri.

Penunjukkan anggota TNI-Polri aktif sebagai PJ Kepala Daerah sempat menuai pro-kontra pada awal tahun ini. Bahkan pada Februari lalu Presiden Joko Widodo melalui Menkopolhukam, Wiranto, sempat membatalkan rencana tersebut. Namun tiba-tiba, masih dalam suasana Idul Fitri 1439 Hijriah, Jokowi mengeluarkan Keppres penunjukan PJ Gubernur dan mewakilkan Mendagri untuk melantiknya.

Yang perlu dicatat, menurut Kapolri, Jenderal Pol. HM. Tito Karnavian, bahwa dalam hal ini polri bersifat pasif. Dia dalam posisi diminta, tidak mengajukan dan meminta agar anggotanya diangkat sebagai PJ Kepala Daerah. Pemerintah yang punya niat dan punya kewenangan, tentu dengan berbagai pertimbangan daan masukan dri banyak pihak.

Dua pakar hukum tatanegara, Dr. Refly Harun dan Dr. Margarito Kamis, sependapat bahwa secara administratif, penunjukan anggota TNI-Polri aktif sebagai PJ Kepala Daerah adalah sah dan tidak melanggar hukum. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada aspek politis yang tentu saja berbeda. Politik memiliki dimensi yang berbeda, yang lebih menitikberatkan pada moral dan etika.

Jadi, adalah hal yang wajar ketika keputusan tersebut menimbulkan pro-kontra dan menjadi perdebatan politik. Anggota Komisi II DPR yang membidangi Pemerintahan Dalam Negeri, Luthfi Andi Mutty, menjelaskan, paling tidak ada tiga undang-undang yang dilanggar.

Pertama, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Polri. Pada pasal 28 ayat 3 menyebutkan, bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Penjelasan pasal tersebut menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.

"Jika ditafsirkan secara contrario, ketentuan itu berarti seorang anggota Polri yang masih aktif dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian," katanya.

Kedua, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pada pasal 210 ayat 10 mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Luthfi mempertanyakan, apa  yang dimaksud dengan jabatan pimpinan tinggi madya. Menurut dia, dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) menyebutkan, bahwa jabatan pimpinan tinggi madya merupakan salah satu jabatan dalam rumpun ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK.

Prajurit TNI dan anggota Polri, kata dia, pada dasarnya dapat menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tapi berdasarkan ketentuan pasal 104 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2015 menentukan bahwa jabatan pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif, apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.

TNI dan Polri adalah dua organisasi besar di negeri ini yang paling solid dan memiliki sarana prasarana sangat lengkap. Dalam sejarah berdirinya republik ini, keduanya senantiasa menjadi kekuatan yang cukup diperhitungkan dalam pusaran kekuasaan, untuk merebut maupun bertahan.

Pengamat politik dan militer yang juga Guru Besar Ilmu Politik pada Universitas Pertahanan, Prof. Salim Said menyebutkan bahwa sejak era Presiden Soekarno, militer selalu ditarik-tarik dalam pusaran kekuasaan. Pada masa orde lama dan demokrasi terpimpin, Bung Karno menempatkan perwira- perwira TNI AU (Angkatan Udara) pada posisi yang istimewa.

Dilanjutkan pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto yang seorang Jenderal TNI AD (Angkatan Darat) bahkan membuat konsep Dwi Fungsi ABRI, dimana sebagian besar kepala daerah (Gubernur /Bupati) adalah perwira TNI AD, dan ABRI menjadi kekuatan politik dengan adanya fraksi ABRI di lembaga legislatif (DPR/DPRD).

Nampaknya Presiden Jokowi mengulang "kesalahan" dua pendadahulunya dengan menjadikan Instiusi TNI-Polri sebagai "back up" kekuasaan. Hampir empat tahun kekuasaan Jokowi, sangat kelihatan dia begitu mengistimewakan Polri dan berusaha menarik-narik pada pusaran kekuasaan.

Kecurigaan publik yang seperti ini sangat wajar dan masuk akal, karena Jokowi adalah petugas dari partai yang sama dengan Mendagri, Tjahjo Kumolo yang sebelumnya Sekjen PDI-P. Tentu petimbangan politik dan kepentingan partai ikut mewarnai keluarnya keputusan ini.

Secara ketatanegaraan, kondisi ini sangat membahayakan dan merupakan kemunduran. Bertentangan dengan semangat reformasi dan seruan suremasi sipil (civil society). Ketika masyarakat dan mahasiswa berjuang menghapus Dwi Fungsi ABRI pada era 1998, pemerintahan Jokowi justru menghidupkan kembali dengan Dwi Fungsi Polri.

Secara jujur, sebenarnya TNI dan Polri hanya dimanfaatkan sebagai "bamper" kekuasaan oleh segelintir orang. Mantan Panglima Kopkomtib, Jenderal Soemitro, menegaskan bahwa ketika TNI maupun Polri diberi kewenangan politik dan diistimewakan sejatinya dia sedang dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan. TNI-Polri sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan ditransformasikan sebagai alat kekuasaan.

Akhirnya TNI-Polri seringkali disalahgunakan oleh penguasa untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan. Untuk menggebuk dan melemahkan kekuatan politik lawan. Disinilah netralitas dan profesionalitas TNI-Polri dipertaruhkan.

Entah dimana para aktifis dan pejuang gerakan reformasi '98 saat ini berpihak. Orang-orang seperti Fadjroel Rahman, Teten Masduki, Adian Napitulu, Budiman Sudjatmiko, Faizal Assegaf, Ulin Ni'am Yusron yang saat ini berada di lingaran kekuasaan nampaknya sudah hilang kepekaan dan darah juangnya.

Mari, selamatkan Institusi TNI-Polri dari segelintir orang yang haus kekuasaan. Jangan biarkan keduanya dibajak dan diacak-acak demi ambisi pribadi dan golongan !

#SaveTNIPolri
#SaveNKRI
#KamiTidakTakut
#KamiTidakBodoh
#KamiTidakDiam

Yogyakarta, 18 Juni 2018
Arief Luqman El Hakiem
Pegiat Media dan Pemerhati Kebijakan Publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar