Cari Blog Ini

Jumat, 07 Juli 2017

Kasus Jam Tangan dan Arogansi Masyarakat Sipil

Jakarta -(7/7/2017) Publik tanah air tengah diramaikan dengan berita seorang penumpang pesawat yang menampar petugas keamanan bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara.

Kejadian bermula saat seorang penumpang wanita dengan inisial JOW mengamuk diduga karena tak terima diingatkan petugas untuk melepaskan jam tangan ketika melewati gate X-ray di terminal, Rabu (5/7).

Mulanya JOW memarahi petugas bandara berinisial AM yang meminta dirinya memasukkan jam tangan ke mesin X-ray . JOW lantas menamparnya. Setelah penamparan terhadap AM, petugas bandara berinisial EW datang melerai. Tetapi pelaku memarahi dan menampar perempuan EW menggunakan tangan.

Atas kejadian tersebut, petugas bandara AM dan EW melaporkan JOW ke Polsek Bandara Sam Ratulangi atas sangkaan penganiayaan. Pada saat bersamaan JOW juga melaporkan balik petugas bandara dengan sangkaan perbuatan tidak menyenangkan. Dua laporan ini ditarik ke Polresta Manado setelah pemeriksaan awal di Polsek Bandara Sam Ratulangi.

Ada 2 catatan yang bisa saya ambil atas kejadian tersebut. Pertama adalah fenomena arogansi masyarakat sipil. Kedua, framing media untuk melemahkan institusi negara.

Pertama, arogansi masyarakat sipil. Si penumpang mungkin salah karena tidak mengikuti aturan keselamatan penerbangan dengan tidak mau mencopot jam tangan, bahkan kemudian melakukan tindak kekerasan dengan menampar petugas. Tindakan kekerasan oleh JOW jelas salah dan menunjukkan sikap arogan.

Sikap petugas bandara yang memerintahkan mencopot jam tangan JOW, kemudian melaporkan ke polisi juga menurut saya tidak sepenuhnya benar. Dari video yang beredar, hanya memuat potongan pendek pada saat JOW menampar petugas, tidak terlihat pembicaraan yang melatarbelakangi kejadian tersebut.

Sikap emosi dan tersinggung adalah manusiawi. Bukan berarti saya membenarkan tindakan JOW, sekali lagi saya tidak membenarkan tindakan JOW. Saya sebagai masyarakat seringkali juga merasa emosi dan tersinggung dengan pelayanan dan petugas di bandara dan beberapa fasilitas umum (fasum) lainnya.

Beberapa petugas di bandara dan fasum lainnya nampak arogan dengan dalih SOP, padahal aturan tersebut jika dikomunikasikan dengan bahasa dan sikap yang ramah barangkali berbeda responnya.

Khusus petugas dan bagian keamanan di Bandara Sam Ratulangi Manado, juga mestinya bercermin dan mawas diri. Beberapa bulan yang lalu tepatnya, Sabtu, 13 Mei 2017 juga terjadi tragedi, dimana sekelompok orang dibiarkan saja menerobos kawasan steril dengan membawa pedang dan senjata tajam lainnya.

Kelompok orang tersebut tidak hanya menerobos masuk landasan pesawat, mereka juga merusak beberapa fasilitas bandara.

Kemana petugas keamanan bandara pada saat itu ? Kemana SOP yang selalu mereka pegang dan diagung-agungkan ? Mengapa pihak Angkasa Pura tidak membuat laporan polisi ?

Kejadian yang berujung saling melaporkan juga bentuk arogansi masyarakat sipil. Ini bukan tindak pidana berat sebagaimana korupsi, pembunuhan atau terorisme. Jika kedua belah pihak menyadari, diselesaikan secara damai dan musyawarah, dimana si penumpang meminta maaf atas kesalahannya, kemudian pihak bandara memaafkan, maka keduanya akan menang secara bersama. Itulah jati diri bangsa Indonesia sebagai budaya timur.

Sikap saling maaf memaafkan rupanya telah hilang dari bangsa ini. Bahkan spirit agama pun telah dilupakan, jika di Manado sebagian besar adalah pemeluk Kristiani, maka Kristus mengajarkan, jika engkau ditampar pipi kanan, serahkan pipi yang kiri.

Kedua, framing berita untuk melemahkan institusi negara. Keberadaan JOW sebagai istri seorang jenderal polisi adalah sisi lain kasus ini, yang justru lebih menarik dibahas dan disorot media. Seolah-olah tindakan JOW adalah cerminan suaminya dan gambaran umum aparat kepolisian.

Menurut saya, ini tidak adil dan media telah mengambil framing (sudut pandang pembahasan) yang salah dan tendensius. Sangat berbahaya bagi kehormatan dan kredibilitas lembaga negara yang mestinya kita junjung tinggi dan kita jaga.

Kejadian serupa seringkali terjadi kepada siapapun, dimana seorang penumpang marah-marah bahkan berlaku anarkis ketika merasa tidak puas dan dipermainkan. Kasus pesawat delay, layanan refound yang tidak memuaskan sering menyebabkan penumpang emosi. Mereka memiliki latar belakang yang berbeda-beda, namun tidak harus dibawa-bawa institusi tempat suaminya atau dirinya bekerja.

Kejadian ini tidak ada hubungannya secara langsung dengan institusi polri dimana suami JOW mengabdi. Namun media terlanjur menggoreng kasus ini dengan memilih framing yang menurut saya melemahkan institusi polri.

Judul-judul yang tendensius, misalnya Istri Jenderal Polisi Tampar Petugas Bandara dan yang semisalnya, adalah contoh negatif perilaku media. Mestinya, media, baik cetak, elektronik maupun online lebih bijak dan proporsional dalam menyajikan berita dan informasi.

Akhirnya, semoga saja kasus ini tidak menutupi kasus-kasus besar yang terjadi di negeri ini, yang justru lebih membutuhkan penanganan dan perhatian serius. Jangan sampai energi bangsa ini tersedot untuk membahas dan mendiskusikan kasus remeh temeh dengan​mengabaikan kasus yang lebih besar.

Bangkit dan bersatulah bangsaku, damailah negeriku, jayalah Indonesiaku... (Arief Luqman El Hakiem /Maspolin /Bhayangkara Indonesia News).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar